Senin, 06 Desember 2010

Identifikasi Permasalahan Keterlambatan Program Pembangunan Rumah Susun

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Abstrak
Pembangunan rumah susun, setelah tahun ke empat, mulai dari tahun 2004 baru mencapai sekitar 30 % dari rencana semula. Pemerintah menargetkan tersedianya 60.000 unit hunian rumah susun sampai tahun 2009. Akan tetapi total rumah susun yang telah terbangun sampai tahun 2008 baru mencapai 15.400 unit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan terlambatnya pelaksanaan program pembangunan rumah susun di Indonesia. Sehingga langkah upaya selanjutnya dapat diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Rekomendasi dari penelitian ini belum merupakan temuan akhir. Dibutuhkan studi lebih lanjut dalam menemukan strategi penyelesaian masalah yang telah dapat teridentifikasi.
Identifikasi permasalahan terlambatnya program pembangunan rumah susun, dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, yaitu dengan melakukan studi kebijakan dan literatur. Baik yang telah dikeluarkan pemerintah maupun swasta, berkaitan dengan pembangunan rumah susun. Studi literatur, berkaitan dengan masalah nyata dan terkini yang menyebabkan terlambatnya program pembangunan rumah susun di Indonesia.
Kesimpulan dari penelitian ini berupa identifikasi permasalahan, yang menyebabkan terlambatnya pelaksanaan program pembangunan rumah susun di Indonesia.
Kata Kunci: rumah susun, permasalahan, identifikasi, terlambat

A. Latar Belakang
Program pembangunan rumah susun secara massal, merupakan salah satu usaha pemerintah untuk dapat memberikan tempat tinggal yang layak bagi warganya. Program ini di latarbelakangi oleh permasalahan umum nasional, berkaitan dengan meluasnya permukiman kumuh yang terletak di kota – kota besar dan metropolitan.

UN Habitat, sebuah lembaga internasional yang menangani masalah permukiman, memperkirakan hampir satu miliar manusia tinggal di permukiman kumuh, di kota-kota dunia. Dimana sebagian besar permukiman kumuh tersebut berada di kota – kota negara berkembang. Mereka memperkirakan, jika masalah permukiman kumuh tidak tertangani dengan baik, maka jumlah penduduk yang tinggal di kawasan kumuh akan meningkat dua kali lipat di tahun 2030.

Melihat kecenderungan itu, program penyediaan perumahan vertikal menjadi salah satu upaya mengurangi, bahkan lebih lagi dalam meredam laju pertumbuhan permukiman kumuh.

Masalah lain yang melatarbelakangi program pembangunan rumah susun adalah keterbatasan dan tingginya harga lahan di perkotaan. Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia, memiliki prosentase pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 % per tahun. Memiliki kebutuhan akan perumahan sebanyak 70.000 unit hunian per tahun. Luas lahan Jakarta sebesar 66.152 hektar, dialokasikan sebesar 39.691 hektar untuk permukiman. Sedangkan harga tanah yang ada di Jakarta sudah sangat tinggi. Seperti contoh harga tanah di wilayah Kemayoran mencapai harga Rp 5.000.000,00 per meter perseginya.
Program rumah susun, walaupun belum bisa secara optimis mengatasi masalah ini akan tetapi merupakan sebuah keinginan baik dari pemerintah menjawab kebutuhan warga akan lahan bermukim.

Program penyediaan perumahan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat, berdasarkan hasil penghitungan mengalami kekurangan (backlog). Pada tahun 2007 tercatat backlog perumahan nasional sebesar 5,8 juta unit. Sehingga pemerintah paling tidak harus dapat menyediakan antara 800.000 sampai 1,2 juta unit hunian per tahunnya. Untuk dapat mengejar backlog tersebut. Adanya backlog penyediaan hunian yang layak, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah, banyak terjadi di kota – kota besar. Pembangunan rumah susun dapat mengurangi backlog perumahan, sebagai langkah yang strategis.

Pembangunan rumah susun, oleh pemerintah juga dipandang sebagai sebuah alat dalam peremajaan kawasan. Seperti contoh rumah susun di Bendungan Hilir Jakarta, dibangun sekaligus sebagai bentuk peremajaan kawasan hunian, karena adanya bencana kebakaran. Peremajaan kawasan merupakan kegiatan dengan tujuan utama meningkatkan potensi sebuah kawasan binaan, banyak dilakukan terpadu dengan pembangunan rumah susun.

Terselenggaranya pembangunan rumah susun di sebuah kawasan, juga merupakan langkah awal, dari kegiatan yang menunjang berbagai program pembangunan kawasan. Hal ini disebabkan dengan terhuninya sebuah rumah susun akan menjadikan berkembangnya sebuah daerah permukiman. seperti banyak terjadi di lingkungan kawasan rumah susun di Batam.

Pembangunan rumah susun, setelah tahun ke empat, mulai dari tahun 2004 baru mencapai sekitar 30 % dari rencana semula. Pemerintah menargetkan tersedianya 60.000 unit hunian rumah susun sampai tahun 2009. Akan tetapi total rumah susun yang telah terbangun sampai tahun 2008 baru mencapai 15.400 unit.

Niat serius Pemerintah Indonesia untuk memacu pembangunan rumah susun, tertuang dalam Keputusan Presiden No. 22 tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan. Yang ditunjuk sebagai koordinator adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dengan melihat susunan keanggotan dalam Keppres tersebut, seharusnya masalah koordinasi bukan lagi merupakan hambatan. Akan tetapi dalam pelaksanaan pembangunan di lapangan, masalah koordinasi institusi masih terjadi.

B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan terlambatnya pelaksanaan program pembangunan rumah susun di Indonesia. Sehingga langkah upaya selanjutnya dapat diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Rekomendasi dari penelitian ini belum merupakan temuan akhir. Dibutuhkan studi lebih lanjut dalam menemukan strategi penyelesaian masalah yang telah dapat teridentifikasi.

C. Metodologi
Identifikasi permasalahan terlambatnya program pembangunan rumah susun, dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, yaitu dengan melakukan studi kebijakan dan literatur. Baik yang telah dikeluarkan pemerintah maupun swasta, berkaitan dengan pembangunan rumah susun. Studi literatur, berkaitan dengan masalah nyata dan terkini yang menyebabkan terlambatnya program pembangunan rumah susun di Indonesia.

Studi secara kuantitatif dilakukan di tiga lokasi penelitian, yaitu di rumah susun Cokrodirjan Yogyakarta, Bendungan Hilir II, Jakarta dan Griya Pelita Mas, Batam. Studi kuantitatif dilakukan untuk meninjau permasalahan keterlambatan dari sudut pandang bangunan rumah susun itu sendiri.   

Total Sampel yang diteliti, diambil secara random dan proporsional adalah 143 dari 986 Kepala Keluarga, dengan pembagian 50/300 KK dari Griya Pelita Mas Batam, 63/614 KK dari Rusun Benhil II Jakarta, 30/72 KK dari Rusun Cokrodirjan Yogyakarta. Responden di rumah susun Cokrodirjan berasal dari Yogyakarta sendiri karena salah satu syarat menghuni Rusunawa Cokrodirjan adalah warga asli Yogyakarta yang dibuktikan dengan kepemilikan KTP Yogyakarta. Sedangkan asal responden di daerah Jakarta setengah berasal dari Jakarta dan setengahnya merupakan perantauan, dari luar Jakarta. Sistem sewa – jual yang ada di rusun Benhil II memunculkan kondisi yang demikian ini. Untuk daerah Batam yang merupakan daerah tujuan pencari kerja terdapat keberagaman asal daerah dari responden penelitian ini. Namun demikian sebagian besar responden berasal dari daerah di Pulau Sumatera.

Sebagian besar responden memiliki pendidikan tamat sekolah menengah atas. Karena target penghunian rusun sederhana memang mengarah ke masyarakat berpenghasilan rendah, maka profil pendidikan pada tingkat ini merupakan suatu hal yang umum. Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, masyarakat yang sudah menyelesaikan pendidikannya sampai tahap menengah atas sudah memiliki kemampuan – kemampuan praktis dalam memenuhi nafkah kehidupan.

Bentuk profesi dari responden berasal dari kalangan swasta dan wiraswasta. Sebagai profil umum dari penduduk Indonesia yang sebagian besar mencari nafkah dalam bidang – bidang kewirausahaan.


D. Landasan Konsepsual
Program pembangunan yang baik adalah program yang memiliki nilai keberlanjutan. Atau sering diistilahkan sebagai sustainable development. Definisi dari pembangunan berkelanjutan, seperti dikutip dari http://id.wikipedia.org adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan". Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

Jika kita melihat aspek dari pembangunan berkelanjutan, maka akan ditemukan tiga aspek mendasar. Yaitu aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

Pembangunan berkelanjutan kemudian dibagi lagi dalam beberapa unsur. Unsur pembangunan berkelanjutan, dengan orientasi pembangunan ekonomi yang menghiraukan keberlanjutan sumber daya alam dan melestarikan kemampuan daya dukung lingkungan meliputi (Soeriaatmadja, 1995) :

1.    Kebangkitan pertumbuhan (ekonomi)
Pembangunan yang berkelanjutan memiliki orientasi pada upaya mengatasi masalah yang dihadapi oleh golongan masyarakat yang tak (belum) berdaya, yaitu masyarakat yang masih terbelenggu oleh kemiskinan. Karena kemiskinan mengurangi kemampuan manusia untuk mampu memanfaatkan sumber daya alam dengan suatu cara yang berkelanjutan; bahkan sebaliknya memiliki kecenderungan untuk memberikan beban terhadap lingkungan.

2.    Perubahan kualitas pertumbuhan (ekonomi)
Pembangunan berkelanjutan harus memiliki perubahan dari pertumbuhan itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi juga harus dapat memperhitungkan biaya ekologi. Hal ini disebabkan karena pembangunan ekonomi tidak akan berkelanjutan, jika membuat ketersediaan sumber daya alam menjadi rentan.

3.    Pemenuhan kebutuhan utama manusia
Pembangunan yang berkelanjutan harus dapat menjamin tersedianya kebutuhan utama manusia. Baik bagi manusia yang berdaya secara ekonomi maupun yang tidak. Kebutuhan utama tersebut adalah mengenai kebutuhan pekerjaan, ketersediaan pangan, produksi dan konsumsi energi, penyediaan perumahan, air bersih, kesehatan lingkungan serta sarana pendidikan dan kesehatan.

4.    Jaminan tingkat keberlanjutan kependudukan
Pembangunan berkelanjutan berkepentingan untuk menjaga ukuran populasi penduduk, maupun kebutuhannya akan materi dan energi itu tidak melebihi kapasitas produktivitas ekosistem tempat populasi itu bertumbuh kembang. Pertumbuhan populasi di negara berkembang ditemui melampaui kemampuan Pemerintah untuk mengendalikan berbagai kebutuhan akan sarana dan prasarana pendukung, sehingga muncul permukiman kumuh dan liar yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup.

5.    Pelestarian dan pembinaan sumber daya alam mendasar
Sumber daya alam terutama berkaitan dengan pertanian menjadi salah satu konsentrasi pembangunan berkelanjutan. Hal ini terutama berkaitan dengan ketersediaan sumber daya alam bagi generasi mendatang.

6.    Reorientasi teknologi dan pengendalian resiko
Teknologi yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan, adalah teknologi yang ramah lingkungan dan bersumber atau dapat dikembangkan

7.    Perpaduan antara pertimbangan ekologi dan pertimbangan ekonomi dalam proses pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan dalam pembangunan berkelanjutan, menempatkan pertimbangan ekonomi dengan ekologi dalam prosesnya. Terutama bagi kebijaksanaan dan strategi, perencanaan atau rancang bangun suatu kegiatan pembangunan.

E. Analisa
1. Pihak yang Berperan
Dalam penyelenggaraan pembangunan rumah susun terdapat tiga pihak yang berperan. yaitu pertama pihak pembangun, bangunan dan lingkungan rumah susun itu sendiri serta penghuni rumah susun. Ketiga pihak ini memiliki unsur dan faktor – faktor penghambat dalam penyelenggaraan program pembangunan rumah susun.

Pihak pembangun rumah susun secara garis besar dibagi menjadi dua. Yaitu dari pemerintah dan swasta. Dari pihak pemerintah, dibagi menjadi dua yaitu instansi pusat yang dibiayai oleh APBN. Seperti Kementrian Negara Perumahan Rakyat dan Departemen Pekerjaan Umum. Instansi daerah yang menggunakan APBD baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pihak pembangun yang berasal dari swasta, dapat dibagi juga menjadi dua. Yaitu dari pihak semi pemerintah (BUMN/Badan/Perum) dan pengembang. Instansi semi pemerintah seperti PT Jamsostek, Perum Perumnas, Badan Otorita Batam. Dari Pihak Swasta seperti PT Perdana Gapura Prima Tbk, PT Primaland Internusa, PT Anggana, PT Rajawali Core Indonesia, dsb.

Rumah Susun mempunyai arti yang sama dengan apartemen. Akan tetapi bagi masyarakat indonesia pemaknaan rumah susun seringkali lebih mengarah kepada unit hunian yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sedangkan apartemen lebih ditujukan kepada hunian susun bagi masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi.

Rumah susun berdasarkan kepemilikan dibagi menjadi tiga jenis yaitu dengan sistem sewa, milik dan sewa – milik. Berdasarkan tinggi atau jumlah lantai dibagi menjadi rumah susun bertingkat rendah, sedang dan tinggi. Berdasarkan peruntukan penghuninya dibagi menjadi rumah susun sederhana, menengah dan mewah (apartemen menengah dan mewah).

Definisi Rumah Susun menurut UU No 16 tahun 1985 Tentang Rumah susun, adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun veritikal dan merupakan satuan satuan yang masing- masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama, benda bersama dan tanah-bersama.

Penghuni rumah susun, khususnya rusun sederhana, memiliki beberapa karakteristik. Penghuni dapat berasal dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang berasal dari lokasi pemindahan penduduk (relokasi). Kelompok penghuni yang berasal dari pekerja/pegawai suatu perusahaan/ instansi. Kelompok lain penghuni rumah susun adalah mahasiswa.  


2. Masalah yang Muncul
Permasalahan keterlambatan, program pembangunan rumah susun yang sudah dicanangkan oleh pemerintah, merupakan gabungan kendala dari ketiga unsur utama.

Dari unsur pembangun, faktor utama keterlambatan pembangunan rumah susun adalah masalah keterbatasan anggaran. Program pembangunan 1.000 rusun diperkirakan oleh menpera menghabiskan biaya sebesar 50 triliun rupiah. Jika program tersebut direncanakan dilaksanakan dalam kurun waktu 5 tahun, maka besar dana yang diperlukan untuk membangun 1.000 menara itu adalah 10 triliun rupiah per tahun. Proyek pembangunan rusun sangat berat jika hanya mengandalkan APBN dan APBD.    

Sebagai gambaran alokasi anggaran melalui APBN yang dikelola oleh Dirjen Cipta Karya pada tahun 2007 adalah sebesar 427 miliar rupiah. Yang digunakan untuk membangun 45 twinblok Rusunawa. Alokasi anggaran ini baru mencapai kurang dari 5 % untuk dapat mencapai target pembangunan 200 tower dalam setahun. Sedangkan anggaran dari daerah, kita ambil contoh DKI, pada tahun 2006 menganggarkan 246,12 miliar rupiah.

Masalah pihak pembangun berkaitan dengan serah terima, adalah koordinasi antara pihak pusat dan daerah. Atau dari pihak pembangun ke pihak penerima atau pengelola. Seperti diungkapkan Asisten Deputi Penyediaan Rumah Susun Kemenpera Paul Marpaung (Kompas Jumat, 5 September 2008) keterlambatan serah terima dipicu tumpang tindih aturan antara pemerintah pusat dan daerah. Permasalahan koordinasi yang belum baik merupakan masalah yang muncul dalam pembangunan rumah susun.

Dengan mahalnya harga lahan di perkotaan, dan juga penyediaan rusun sederhana yang lebih diarahkan kepada MBR, maka penyediaan lahan menjadi kewajiban bagi pemerintah sebagai pelayan rakyat. Pemakaian lahan untuk membangun rusun, membutuhkan komitmen yang kuat dari pemilik lahan. Bahkan diperlukan adanya ikatan yang lebih kuat untuk mendorong penyediaan lahan. Keterlambatan program pembangunan rusun salah satu faktor utamanya adalah karena kesulitan dalam mencari lahan yang representatif.

Masalah lain yang menghambat dalam pembangunan rusun adalah perizinan. Izin yang terlambat keluar akan menunda proses pembangunan yang mengakibatkan kerugian bagi pengembang. Masalah ini bisa berasal dari institusi yang mengeluarkan izin, dari sistem aturannya atau oknum yang bermain didalamnya.

Keterlambatan program pembangunan rusun, juga sedikit banyak dipengaruhi dengan tidak terhuninya bangunan rusun yang telah ada. Masalah yang sering menjadi kendala dari bangunan rusun adalah sarana prasarana yang terbengkelai akibat tersendatnya proses serah terima dari pembangun ke pengelola.

Dari hasil penelitian mengenai Prasarana rusun di tiga lokasi mengenai kebersihan ruang publik, ditemukan hal sebagai berikut. Tingkat kebersihan dari ruang publik menurut pengelola di Griya Pelita Mas dan Rusun Cokrodirjan cukup. Dengan alasan penghuni dan pengelola bekerja sama menjaga kebersihan lingkungan. Sedangkan di Rusun Benhil II mengaku bersih, dengan alasan yang sama.
    

Berdasarkan pengumpulan data melalui kuesioner maka ketiga lokasi penelitian menganggap bahwa kualitas lingkungan rumah susun mereka tergolong bersih. Walau ditemukan kasus ketidak puasan pada beberapa individu terhadap kualitas kebersihan lingkungan mereka. Di Rusun Benhil II misalnya, terdapat kotoran – kotoran sampah, yang ternyata bagi masyarakat penduduk rumah susun masih dianggap dalam batas kewajaran.          
Penyediaan air bersih dalam rumah susun, masih merupakan sebuah persoalan yang perlu untuk dicarikan alternatif dalam penyediaannya. Dari hasil penelitian ditemukan kecenderungan bahwa kualitas air minum kurang baik. Sebanyak 30 % warga rusun merasa kurang dengan pelayanan air bersih di lingkungan rusun.  Sedangkan warga yang merasa puas dengan pelayanan air bersih rusun adalah sebesar 17 %.

Kondisi Rusun Cokrodirjan, penyediaan air bersihnya masih memprihatinkan. Penghuni mengungkapkan pendapatnya bahwa air sangat kotor, berasa kurang enak bila dimasak, air kuning, karena tidak bisa dikonsumsi atau kurang baik untuk kesehatan, dan hal kurang baik lainnya. Di Rusun Benhil II penghuni mengungkapkan supaya tarif airnya jangan terlalu mahal, terkadang mati apabila sedang diperlukan, kurang bersih dan kadang tidak ada air, kadang air keruh, hingga perlu disaring dulu.

Demikian juga dengan pengolahan air kotor, ternyata masih belum dapat memuaskan penghuni rusun. Responden yang merasa masih terganggu dengan pengolahan air kotor ada sebanyak 28 % sedangkan yang merasa cukup puas dengan pelayanan pengolahan air kotor yaitu hanya sebesar 12% saja. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa ternyata baik air bersih maupun kotor menjadi bagian dari masalah penyediaan rusun. Hal – hal yang dikeluhkan oleh penghuni rumah susun berkaitan dengan bau yang menyengat, kebocoran, dan mampet karena sampah.

Kegiatan sosial yang biasa digunakan penghuni bersosialisasi dengan penghuni rumah susun lainnya, di Rusun Cokrodirjan adalah di  Arisan ibu – ibu, pertemuan rutin tiap bulan, paguyuban, puskesmas, posyandu, arisan,  mengambil jimpitan. Kegiatan dilakukan di gedung yang bisa digunakan bersama masyarakat lain dan Kantor rusun. Warga Benhil II menggunakan Aula Rusun, Ruang Serba Guna & Taman, Lapangan Olah Raga, Mesjid Kompleks Rumah Susun sebagai tempat sosialisasi mereka. Sedangkan Warga Griya Pelita Mas menggunakan lapangan olah raga, rumah, jalan, dan tempat ibadah.

Kebutuhan akan tempat peribadatan masih belum memuaskan penghuni rusun. Sebagai salah satu fasilitas sosial, rumah peribadatan menjadi bagian yang sebaiknya disediakan untuk menjamin kualitas lingkungan rusun. Dari hasil penelitian masih terdapat warga rusun yang belum menemukan kepuasan dalam menjalankan ibadahnya di lingkungan rusun, walaupun terdapat juga warga yang sudah merasakan terpenuhinya kebutuhan akan tempat ibadah. Perbandingan puas dan tidak puasnya adalah 2 dibanding 3

Kurangnya penyediaan klinik untuk menjamin kesehatan warga rusun juga merupakan salah satu bagian dari masalah penyediaan rusun. Penghuni menggambarkan kondisi fasilitas kesehatan dengan tidak adanya praktek dokter dan layanan kesehatan, mengandalkan puskesmas yang dekat. Walau demikian diadakannya posyandu di rusun membantu warga.

Fasilitas ruang pertemuan yang menjadi ruang utama adanya pertemuan antar warga ternyata masih dirasakan kurang. Kecenderungan yang merasakan kurangnya fasilitas pertemuan dirasakan di ketiga lokasi penelitian, hal ini cukup memprihatinkan mengingat pentingnya fasilitas ini.

Fasilitas untuk tempat bermain anak – anak juga masih kurang dengan hanya menempatkan 10% penghuni yang merasa bahwa penyediaan tempat bermain baik dan 41% merasakan kurang. Hal ini membuat kita dapat melihat bahwa perhatian untuk anak – anak warga rusun belum menjadi prioritas pengembangan dan pengelolaan rumah susun.

Kondisi yang lebih parah adalah masalah penyediaan perpustakaan, sebagai bagian dari pelayanan kepada masyarakat mengenai informasi dan data, keberadaan perpustakaan di lingkungan rusun dalam kondisi memprihatinkan. 72 % warga merasakan perlunya keberadaan perpustakaan bagi mereka.

Ruang terbuka dan atau taman juga menjadi kebutuhan fasilitas umum. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kebutuhan akan ruang terbuka atau taman dirasakan kurang bagi warga rusun yaitu sebesar 34%. Sementara yang menganggap bahwa kebutuhan itu sudah terpenuhi hanya 7 % saja.

Sedangkan untuk penyediaan fasilitas olahraga ternyata sudah dirasakan cukup memadai keberadaannya, penghuni yang menyukai berolahraga sudah dapat memanfaatkan fasilitas yang ada di sekitar hunian rusun mereka. Walau tidak semua bentuk permainan olahraga terwadahi, tetapi fasilitas yang ada sudah dapat dipergunakan.


Fasilitas perbelanjaan yang sudah terdapat di lingkungan rusun, cukup mewadai bagi kebutuhan warga rusun untuk membeli kebutuhan mereka sehari – hari.

Penyediaan fasilitas untuk antisipasi adanya kebakaran ternyata juga belum disediakan dengan sebaiknya, dari pengamatan di lapangan dan hasil penghitungan kuesioner, ditemukan kurang siapnya rumah susun terhadap bahaya kebakaran.

Dari hasil penelitian mengenai Identifikasi Kemampuan dan Kemauan Membayar Masyarakat Berpenghasilan Menengah Rendah (Widaningrum, 2007), ditemukan bahwa hanya pada rumah susun tipe 21 saja masyarakat berpenghasilan rendah memiliki kemampuan terjangkau untuk membayar. Yaitu sebesar 77 % responden, dengan kemauan membayar sebesar 30 %. Sedangkan untuk unit tipe 36 prosentase kemampuan membayar menurun drastis menjadi 43% dengan kemauan membayar yang hanya 5 %.   

Masih dari penelitian yang sama yang dilakukan di Rusunawa Tamansari Bandung, disebutkan bahwa kemampuan membayar penghuni berada pada kisaran Rp. 75.000,00 – Rp. 450.000,00 per bulan. Padahal jika dibandingkan dengan Permenpera no. 07 tahun 2007 untuk kelompok sasaran III biaya bulanan terendah dihitung sebesar Rp. 393.750,00 pada dua bulan pertama dan naik menjadi Rp. 559.196,00 pada bulan ketiga. Sehingga subsidi yang sudah diberikan pemerintah, belum mencapai kemampuan membayar penduduk yang termasuk MBR.

Untuk membangun satu rumah susun berdasarkan perhitungan Permenpera no. 07 tahun 2007 ada pada kisaran harga perunit Rp.125.009.359,00. Hal ini yang kemudian oleh pemerintah diupayakan dengan membuat pola subsidi silang. Subsidi silang dilakukan dengan membagi menjadi tiga kelompok sasaran dengan hitungan membayar per unit yaitu sebesar Rp 75.000.000,00; Rp 110.000.000,00 dan Rp. 144.000.000,00.

Kendala yang muncul dari penghuni rusun, yang menyebabkan keterlambatan program pembangunan rumah susun yaitu berkaitan dengan kewajiban penghuni untuk membayar biaya rutin bulanan (sewa jika ada). Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa biaya atau uang yang harus dibayarkan rutin ke pengelola cenderung dirasakan mahal oleh penghuni yang berada di Griya Pelita Mas, Batam. ±40 % dari responden  menjawab biaya rutin bulanan mahal.


Alasan penghuni rusun, yang menganggap biaya rutin bulanan yang harus dibayarkan ke pengelola mahal, adalah antara lain: Biaya tidak sebanding dengan penghasilan perbulan; yang bisa sewa hanya orang-orang yang berpendapatan tinggi; Tidak sesuai dengan fasilitas kamar yang terbuka dengan lantai semen; kurang pas untuk warga miskin ekonomi ke bawah; susah untuk mencari uang sedangkan harga kebutuhan mahal; gaji yang diterima tidak bisa ditabung lagi; tidak sesuai dengan kehidupan sekarang yang lagi krisis; kecil tapi mahal.

Sedangkan untuk alasan kurang mahal adalah: Dibanding yang lain (hunian sewa lain) rusun lebih bagus fasilitasnya; dibanding tempat lain kurang tinggi; dibanding dengan menyewa rumah pribadi lebih murah.
Sedangkan yang menganggap wajar memiliki alasan bahwa biaya masih terjangkau; memang kemampuan dari semua penghuni rumah susun; masih terjangkau bagi ekonomi lemah; wajar untuk rakyat yang miskin; karena sesuai pendapatan dan sesuai pasaran

Biaya yang dibayarkan rutin bulanan selain uang sewa adalah: untuk Rusun Cokrodirjan Yogyakarta listrik, air, sampah, administrasi, jimpitan/ronda, denda. Untuk benhil II Jakarta perawatan perlengkapan Rumah Susun, pengelolaan di Rumah Susun, PAM, Listrik, Kebersihan dan Pelayanan Umum. Di Griya Pelita Mas Batam, biaya dipergunakan untuk keamanan, kebersihan pembayaran kos, biaya darurat anak kos, dan air bersih.

Masalah lain yang menjadikan program pembangunan tidak mencapai tujuannya disebabkan adanya Pemindahan Kepemilikan. Sebagai contoh kasus diungkapkan pada paparan hasil penelitian berikut.

Di Griya Pelita Mas pengembang tidak dan tidak perlu mengetahui adanya pemindahan hak kepemilikan kepada orang lain. Sedangkan di Rusun Cokrodirjan karena sistem hanya sewa dan dengan harga yang murah, maka minim pengalihan hak menghuni, ditambah lagi masa sewa yang singkat hanya 3 tahun. Di Rusun Benhil II hunian yang sudah terbeli, pemindahan kepemilikan sulit terpantau. Di mana pengelola mengetahui adanya pemindahan kepemilikan.    

Di Rusun Cokrodirjan dan Griya Pelita Mas, pengelola merasa tidak mengetahui adanya pemindahan hak kepemilikan kepada orang lain. Pemindahan hak kepemilikan banyak terjadi di Griya Pelita Mas dan rusun Benhil II, hal ini disebabkan oleh status hunian dan atau harga atas hunian yang relatif tinggi. Warga Rusun Benhil II sebagian besar mengetahui adanya  pemindahan kepemilikan.

Budaya tinggal yang berubah juga merupakan faktor keengganan bagi (calon) penghuni untuk tinggal di rusun. MBR yang memiliki kekuatan sosial lebih kuat dibanding kelas masyarakat lain, membutuhkan ruang komunal yang lebih. Pola ini yang agak kurang dapat ditemukan di rusun. Selain itu kecenderungan untuk menambah ruang sesuai kebutuhan, sulit untuk diakomodasi struktur bangunan rusun yang masif. Misal keinginan penghuni untuk memelihara binatang sebagai hiburan kurang dapat diakomodasi.

Walau demikian penghuni tetap dapat melakukan adaptasi di lingkungan rusun. Dari penelitian mengenai pengaturan antar hunian, di dapati bahwa penghuni merasakan kondisi yang cukup baik. Akan tetapi kondisi yang dikeluhkan adalah tentang penghuni yang mementingkan diri sendiri, munculnya sikap individualis, ruang jemuran kurang cahaya,

Didalam kehidupan tinggal di rusun juga ditemui adanya kasus benturan sosial antar sesama penghuni. Namun taraf benturan yang dialami masih berada dalam batas yang wajar. Terdapat 21 % warga rusun yang pernah mengalami benturan sosial. Tetapi secara umum masih berada dalam situasi yang harmonis.

Walau kondisi sosial dalam keadaan harmonis tetapi warga rusun ternyata merasakan kebutuhan adanya pengawasan dalam kehidupan keseharian mereka. Hal ini menimbulkan sebuah pemikiran munculnya gejala akan adanya kebutuhan suasana yang lebih baik dalam hal tinggal bersama di rumah susun. Kecenderungan kekuatiran muncul konflik sosial dalam warga rusun dapat dilihat dari kisaran jumlah besarnya jawaban warga yang membutuhkan pengawasan dalam kehidupan mereka di rumah susun yaitu sebesar 61% responden.

Selain itu masih ada satu masalah lagi, yaitu pembangunan rusun yang berada di pinggir kota menyebabkan adanya perasaan dijauhkan dari tempat bekerja bagi MBR. Terutama bagi penghuni rusun yang merupakan masyarakat terkena relokasi. Keengganan dengan alasan ini banyak muncul.

Peta masalah keterlambatan program pembangunan rusun secara nasional, dari pihak yang berperan dalam penyelenggaraan rusun tergambar dalam tabel sebagai berikut.


Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan dari penelitian ini berupa identifikasi permasalahan, yang menyebabkan terlambatnya pelaksanaan program pembangunan rumah susun di Indonesia. Masalah tersebut seperti dituangkan dalam Tabel 6. Merupakan gabungan masalah yang dihadapi dari tiga pihak yang berperan dalam penyelenggaraan rusun.

Jika masalah ini ditinjau menggunakan kacamata teori penyelenggaraan program berkelanjutan, maka dapat dibuat sebuah skema pembangunan sebagai berikut.

Pihak pembangun harus mengedepankan perubahan kualitas pertumbuhan. Dengan membangun rusun yang hemat materi dan energi, dengan demikian permasalahan berkaitan dengan keterbatasan anggaran akan dapat lebih ditekan. Demikian juga dengan biaya untuk pemeliharaan prasarana dan sarananya. Selain itu dengan mengedepankan materi terbarukan akan menjadikan proyek pembangunan rusun secara nasional ramah lingkungan. Hal tersebut dapat diaplikasikan dalam pemilihan struktur bangunan, bangunan pelapis dinding, kusen pintu dan jendela serta material yang lain.

Pemerintah sebagai inisiator pembangunan rusun perlu melakukan tindakan, untuk menjamin tingkat keberlanjutan kependudukan. Hal ini menyangkut kepastian pemenuhan kebutuhan pokok, sandang – pangan – papan – kesehatan – pendidikan. Dengan menetapkan anggaran yang pro pada pemenuhan kebutuhan pokok, maka kemungkinan MBR untuk menghuni daerah ilegal akan berkurang dan dapat diatasi. Sehingga daerah – daerah yang dihuni secara ilegal oleh MBR dapat dipergunakan untuk mengembangkan rusun.

Rendahnya koordinasi dan kendala perizinan, merupakan masalah yang dapat diatasi dengan memberikan pemahaman bersama berkaitan dengan kebijakan pembangunan yang ideal. Dengan mengutamakan prinsip pertimbangan ekologi – ekonomi dalam pengambilan keputusan, maka diharapkan ada persamaan prinsip dalam mengambil keputusan. Pemilik wilayah, pembangun rusun, pemberi ijin yang berperan akan sepaham dalam membangun rusun, sesuai dengan prinsip kelestarian alam, penyelamatan kualitas dan kemampuan lingkungan. Maka program pembangunan rusun memiliki nilai keberlanjutan.

Permasalahan yang dihadapi bangunan dan lingkungan rusun berkaitan dengan kerusakan sarana prasarana, kurang adanya sinkronisasi sarana prasarana lingkungan dan bangunan dan harga jual rumah yang mahal, memerlukan solusi berkaitan dengan Pelestarian dan pembinaan sumber daya alam mendasar dan reorientasi teknologi serta pengendalian resiko. Solusi ini berkaitan dengan penggunaan potensi lokal dimana rusun dibangun. Dengan menghitung beban ekologi-ekonomi-sosial akibat pembangunan rusun, pemilihan teknologi yang digunakan dan antisipasi terhadap kerusakan bangunan.

Permasalahan yang dihadapi penghuni (atau calon) berkaitan dengan biaya rutin yang harus dikeluarkan, budaya tinggal dan perasaan dijauhkan dari tempat kerja (sumber pendapatan) dapat dicoba diselesaikan dengan model kebangkitan pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan utama manusia. Solusi ini diterapkan dengan melibatkan MBR sebagai calon penghuni sejak proses awal. Membuka lapangan kerja dengan keberadaan rusun. Misalnya dengan memberikan sarana perbelanjaan untuk tempat usaha. Atau membuka kesempatan dan peluang usaha dari sektor yang lain.

Langkah upaya yang diusulkan di atas, dalam menyelesaikan masalah keterlambatan program pembangunan rusun, masih perlu diteliti lebih lanjut, sehingga ditemukan solusi yang benar dan teruji.







DAFTAR PUSTAKA


Artikel

Balai Pemberdayaan Bidang Ke-PU-an. 2007. Laporan Akhir Kajian Sosial Penghunian dan Pengelolaan Rumah Susun. Yogyakarta

Deputi Menpera Bidang Perumahan Formal, Asisten Deputi Pengembangan Sistem. Paparan, 18 Desember 2007. Percepatan Pembangunan Rumah Susun Sederhana (Apartemen Rakyat)Di Kawasan Perkotaan. Jakarta.

Julianery BE. Kompas. Senin, 19 September 2005 Persoalan Bersusun-susun di Rumah Susun.

Harian Umum Sore Sinar Harapan. Jumat, 22 Desember  2006. Permukiman Kumuh Belum Tertangani

Kompas. Jumat, 5 September 2008. Program Rusunawa Gagal - Pemerintah Tidak Akan Menaikkan Harga Rusunami. Jakarta

Kusumawati, M.A. dkk. Buletin Cipta Karya Edisi No.09/V/ September 2007. Rusunawa Solusi Permukiman Aman untuk MBR. Jakarta

Soeriaatmadja, R.E. 1995. Prosiding Seminar, Arsitektur Berkelanjutan Tantangan Abad XXI. Pola Pikir Strategi Pembangunan Berkelanjutan. Institut Teknologi Bandung.

Widaningrum, D.I. 2007. Identifikasi Kemampuan dan Kemauan Membayar Masyarakat Berpenghasilan Menengah Rendah. Institut Teknologi Bandung.


Produk Hukum

Keputusan Presiden No. 22 tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan.

Undang Undang No. 16 tahun 1985 Tentang Rumah susun.


Website


Tidak ada komentar:

Cepat Merespons Pandemi, Platform Manajemen Kota Perlu Disiapkan untuk Hadapi Situasi Disrupsi

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...