Kamis, 16 Januari 2014

Pengembangan Instrumen Pengukuran Kapasitas dan Modal Sosial Organisasi, Mewujudkan Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan. (Studi Kasus Penyediaan Air Bersih di Karangrejek, Wonosari, Gunungkidul)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1.      Abstrak

Satu dari delapan sasaran MDGs adalah mengurangi hingga setengahnya jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman dan sanitasi dasar, dengan indikator: Proporsi dari populasi yang menggunakan sumber air minum berkualitas. Pemanfaatan program pembangunan air minum di tiap wilayah, dapat lebih dioptimalisasi layanan programnya. penelitian terkait kebutuhan instrumen pengembangan kapasitas dan modal sosial organisasi, dalam upaya mewujudkan pembangunan infrastruktur berkelanjutan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Menggunakan alat metode statistik deskriptif. Analisis yang digunakan adalah dengan alat audit kapasitas organisasi. Penelitian dilakukan di wilayah layanan PAB Tirta Kencana, Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan di tahun 2012. Dari ketiga variabel modal sosial yang diteliti dengan menggunakan studi kasus penyediaan air bersih di Karangrejek, Wonosari, Gunungkidul, ditemukan bahwa modal sosial berupa trust yang paling besar nilainya. Social network yang rendah perlu ditingkatkan dengan memberikan informasi terkait pengembangan pengelolaan air. Kondisi aktual di lokasi penelitian yang menunjukkan adanya gejala pelemahan norma sosial, terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan dan ketersediaan air untuk masyarakat.

Kata Kunci: air minum, organisasi, modal, sosial

 

2.      Latar Belakang

Tujuan Pembangunan Milenium atau MDGs mempunyai delapan sasaran sebagai sebuah tanggapan atas permasalahan global. MDGs termuat di dalam Deklarasi Milenium, yang kemudian diadaptasi oleh 189 negara dan ditandatangi oleh 147 Kepala Negara/Pemerintahan pada acara UN Millennium Summit September 2000. Delapan sasaran MGDs diuraikan menjadi 21 target dan 60 indikator yang diamanatkan untuk tercapai pada tahun 2015. Satu dari delapan sasaran MDGs adalah mengurangi hingga setengahnya jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman dan sanitasi dasar, dengan indikator: Proporsi dari populasi yang menggunakan sumber air minum berkualitas.
Berdasarkan status MDGs Indonesia 2009, Pemerintah memiliki target pada 2015 sebanyak 77,2% penduduk telah memiliki akses air minum yang layak. Secara nasional, Indonesia telah dapat mencapai target ini, akan tetapi cakupan ini belum merata dan belum menggambarkan kondisi nyata dari kualitas fasilitas pelayanan. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi ini, adalah terkait lemahnya perencanaan pembangunan, yang ditandai dengan program pembangunan kurang terpadu, salah sasaran, tidak sesuai kebutuhan, dan tidak berkelanjutan, serta kurangnya perhatian masyarakat pada perilaku hidup bersih dan sehat (Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul, 2010).
Pemanfaatan program pembangunan air minum di tiap wilayah, dapat lebih dioptimalisasi layanan programnya. Layanan program air minum terkait dengan dimensi kontinuitas-waktu, ruang wilayah, kualitas dan kuantitas. Optimalisasi layanan program pembangunan dapat dilakukan dengan cara (Soetomo, 2011 dalam Warih, 2012) melakukan sinergi otoritas dan sumberdaya dengan potensi dan partisipasi masyarakat, dalam program pemberdayaan masyarakat (community development). Program pembangunan yang menerapkan prinsip community development (Warih, 2012) dapat memunculkan modal sosial berupa solidaritas sosial yang memiliki dampak positif terhadap pembangunan ekonomi.
Optimalisasi output pembangunan secara sosial dan ekonomi, juga perlu ditambah nilai ekologis, sehingga ada kemampuan manfaat yang berkelanjutan. Berdasarkan penelitian (WRI, 2000 dalam Cahyandito, 2006) ditemukan bahwa adanya masalah ekologi terkait degradasi tanah atau hilangnya kesuburan tanah, dapat diakibatkan oleh erosi akibat air dan angin, penggaraman dan pengasaman tanah. Degradasi kualitas tanah berdampak pada penurunan kemampuan tanah menguraikan sampah/limbah. Tanah yang tandus (kering) sebagai akibat dari degradasi sumber daya tanah seperti terjadi di Gunung Kidul, Yogyakarta dapat disebabkan oleh erosi oleh air, dan penggunaan zat-zat kimia (pestisida).
Program pembangunan dan penyediaan air minum di daerah yaitu, ternyata belum mampu mencukupi kebutuhan air terutama bagi masyarakat pedesaan (Suara Merdeka - 27 Agustus 2009). Salah satu upaya Pemerintah Provinsi DIY untuk mengembangkan peran pengelolaan air bersih non-PDAM, yang dikelola masyarakat pedesaan, yaitu dengan membina Paguyuban Pengelola Air Minum Masyarakat Yogyakarta (Pamaskarta). Pamaskarta diharapkan dapat menyediakan instalasi penyalur air seperti pipa, memberi alternatif penyediaan dana operasional air bersih.
Di Desa Karangerejek, Kecamatan Wonosari terdapat Badan Usaha Milik Desa yang salah satu unit jasa usahanya terkait penyediaan air bersih. Jasa pelayanan Air Bersih disebut sebagai PAB. Tirta Kencana. Sebelum masuk menjadi bagian BUMDes, pelayanan air desa dilakukan oleh PAMDES (PAMASKARTA) yang dibentuk tahun 2008. Sebelum tahun 2008 Desa Karangrejek sudah masuk dalam jangkauan area pelayanan PDAM Wonosari.
Organisasi penyedia air bersih PAB Tirta Kencana, yang dalam kepengurusannya mewajibkan keterlibatan unsur Pemerintah Desa, BPD, Lembaga Desa dan unsur Masyarakat, menjadi contoh baik implementasi modal sosial dalam program pembangunan. Pengembangan organisasi ditentukan oleh pengembangan kapasitasnya. Pengembangan kapasitas (UNDP, 1997) diidentifikasi sebagai sebuah proses berjalan, untuk sebuah peningkatan kemampuan organisasi untuk berkinerja sesuai fungsi utama, menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan. Definisi ini termasuk bagaimana penggunaan instrumen untuk analisis terkait kebutuhan kedepan yang relevan dan efektif.

3.      Permasalahan

Peneliti mengambil studi kasus penyediaan air bersih di Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari, Gunungkidul, untuk dapat menyelesaikan masalah penelitian terkait kebutuhan instrumen pengembangan kapasitas dan modal sosial organisasi, dalam upaya mewujudkan pembangunan infrastruktur berkelanjutan. Pertanyaan penelitian adalah seberapa besar ukuran kapasitas dan modal sosial organisasi penyedia air bersih di Karangrejek, untuk menjamin keberlanjutan penyediaan infrastruktur?

4.      Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Menggunakan alat metode statistik deskriptif. Analisis yang digunakan adalah dengan alat audit kapasitas organisasi. Penelitian dilakukan di wilayah layanan PAB Tirta Kencana (gambar 1), Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan di tahun 2012.







Gambar 1. Kantor Kepala Desa dan BUMDes
(sumber: Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, 2012)

Populasi penelitian sesuai adalah jumlah rumah tangga yang telah mendapatkan layanan penyediaan air bersih (tabel 1), baik yang mendapatkan sambungan rumah dari pemerintah maupun memasang secara swadaya. Jumlah total populasi adalah 924 rumah tangga.  
Tabel 1. Perkembangan Pelanggan/Sambungan Rumah
KETERANGAN
2008
2009
2010
2011
Dep. PU.Satker PAM DIY.
125
125
125
125
pemasangan swadaya
465
582                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         
680
799
Sumber: Keputusan Kepala Desa No. 11/KPTS/2010 tentang
susunan pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Karangrejek masa bakti 2010 – 2013

Sampel penelitian dipilih dengan kriteria inklusi, yaitu: salah satu anggota keluarga yang dianggap dapat mewakili, bertempat tinggal di lokasi penelitian, bersedia menjadi subjek penelitian, dan berusia minimal 20 tahun. Jumlah sampel adalah sebesar 147, yang  ditemukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut
          N        =                         ............1
Keterangan:
P = Proporsi keadaan yang akan dicari: keterlibatan sosial ekonomi masyarakat 76,3% terhadap peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber air.
d = Tingkat ketepatan absolute yang dikehendaki (0,07)
α = Tingkat kemaknaan (0,05)
Q = (1-P), jadi bila P = 1-0,763 = 0,237

Data dikumpulkan dengan cara melakukan penelusuran literatur, wawancara pembagian kuesioner dan observasi lapangan. Analisis data dilakukan dengan mengklasifikasikan variabel menjadi tiga kelompok, yaitu mikro, messo dan makro.
Tabel 2. Variabel mikro-messo-makro
Mikro - Individual/ rumah tangga
Messo – Organisasi
Makro – Institusi
Kemampuan individu, kerjasama, pengembangan dan pengarusan informasi  
Struktur organisasi, pembagian tugas dan tanggungjawab, kepemimpinan, perilaku dan insentif, prosedur, penganggaran, fasilitas, akses informasi infrastruktur, komunikasi
Kemauan politik  pemangku kepentingan, kebijakan, jaringan, kemitraan, anggaran dari institusi pembina

5.      TINJAUAN PUSTAKA

a.       Modal sosial
Modal sosial masyarakat (Saputro, 2006) mempunyai tiga variabel utama, yaitu kepercayaan (trust), norma sosial (social norms) dan jaringan sosial (sosial networking). Kepercayaan sosial (trust) dibagi lagi menjadi tingkat individu, kelembagaan dan sistem yang abstrak. Norma sosial menjadi variabel penting untuk menjaga hubungan sosial terjaga. Norma yang terdapat di masyarakat merupakan aturan yang dibuat untuk menjaga komitmen, memenuhi kewajiban dan ikatan di dalam masyarakat. Jaringan sosial (social networking) merupakan bentuk hubungan orang maupun sekumpulan orang yang terkait baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan sosial terkait juga dengan komunikasi yang terdapat di dalam jaringan sosial.
Parameter terkait modal sosial (Jousairi, 2006) dan (Hadi, 2005) dalam (Primadona, 2012) dapat terdiri dari: Partisipasi dalam Jaringan organisasi sosial/kerja, kepercayaan antar sesama, dapat dilihat dari, ketaatan terhadap norma, dilihat dari: tingkat ketaatan terhadap norma yang dianut, kepedulian terhadap sesama, dan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial. Modal sosial keberadaannya (Pranadji, 2006)  perlu ditambah dengan dimensi kerja sama atau cooperation. Modal sosial secara eksternal dipengaruhi oleh hubungan mutual trust, mutual respect dan mutual benefit. Sedangkan secara internal modal sosial dipengaruhi oleh adanya tata-nilai yang hidup di masyarakat.
b.      Penyediaan Air Bersih Dilihat dari Aspek Sosial
Kabupaten Gunung Kidul merupakan daerah yang terkenal memeliki sejarah krisis air, sampai pernah muncul stigma negatif pada penduduknya yaitu terkait jarang mandi. Gunungkidul sebenarnya memiliki banyak potensi sumber air baku yang terdapat di bawah tanah (goa, sungai bawah tanah, sumur). Sumber air tersebut menurut perhitungan bahkan dapat menyuplai kebutuhan air Kota Yogyakarta.
Penyediaan air bersih di Gunung Kidul lebih banyak yang bersifat individual daripada komunal. Jaringan perpipaan Rumah Tangga dikelola oleh PAMASKARTA dan PDAM. Biaya pemasangan jaringan yang dikelola oleh PAMASKARTA sebesar Rp 700.000, sedangkan oleh PDAM sekitar Rp 1.000.000. Terdapat perbedaan tarif PAMASKARTA dengan PDAM (tabel 3).
Tabel 3. Perbandingan Tarif
PAM Karangrejek
PDAM Gunungkidul
Volume (m3)
Tarif
Volume (m3)
Tarif
0-10
Rp. 2500
0-10
Rp. 3000
11-25
Rp. 3000
11-25
Rp. 3250
26-40
Rp. 3500
26-40
Rp. 3750
> 40
Rp. 4000
> 40
Rp. 4500

sumber: warih, 2012
Pelayanan air menggunakan kran otomatis, dengan besaran biaya yang harus dibayarkan tergantung catatan meteran. Pembayaran air dapat dilakukan dengan membayarkan langsung ke pengelola atau secara kolektif (forum komunitas misalnya arisan).
Penanganan keluhan dilakukan dengan berjenjang dari pengelola tingkat desa, jika belum terselesaikan keluhan disampaikan ke PAMASKARTA, jika belum juga tertangani maka disampaikan ke Dinas Pekerjaan Umum atau Satker Air Minum Yogyakarta. PAMASKARTA memiliki 3 orang tenaga teknis, dan masih terlalu sedikit untuk menangani 100 kelompok di setiap wilayah.
Pelayanan secara jumlah air atau kuantitas dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan air di masyarakat. Terdapat masalah jumlah air ketika hari raya Idul Fitri (lebaran) tiba. Karena sebagian besar kerabat warga yang pulang dari merantau, meningkatkan kebutuhan air.
Krisis air saat musim kemarau rata-rata terjadi selama 3 bulan, mengakibatkan beberapa sumber air baku yang digunakan oleh PDAM, PAMASKARTA maupun sumur gali atau sumber yang langsung diakses masyarakat mengalami kekeringan. Solusi yang ditemukan sementara ini adalah dengan membeli air truk tangki swasta. Satu tangki (isi 5000 liter) dibeli dengan harga Rp. 150.000 dan dapat digunakan selama 10 hari. Untuk kebutuhan 1 bulan, satu keluarga membayar Rp 450.000 untuk air bersih. Jika terjadi selama 3 bulan maka diperlukan biaya Rp 1.350.000. Beberapa keluarga ada yang terpaksa harus menjual sapi atau ternak lainnya.
c.       Audit kapasitas organisasi
Tujuan audit kapasitas organisasi adalah untuk membuat menyatukan pemahaman terkait pembentukan kapasitas organisasi. Hal lain terkait penyediaan struktur kepegawaian pada audit kapasitas di organisasi, yang dipilih untuk berkinerja dengan tujuan membangun dukungan kapasitas. Untuk menyediakan alat yang dapat digunakan saat akan melakukan proses pemilih lokasi untuk audit kapasitas dan selanjutnya membangun strategi penanganan yang tepat.
d.      Definisi konseptual
Definisi konseptual dari penelitian ini adalah sebagai berikut (tabel 4).
Tabel 4. Definisi Konseptual
Modal Sosial
Komponen kapasitas
Indikator
Konteks organisasi penyedia air bersih
Trust
Sumber daya manusia
Pegawai
Perilaku air sehari – hari
Peran dan tanggung jawab
Kepemimpinan strategis
Visi dan misi
Gaya kepemimpinan
Tanggung jawab
Struktur organisasi
Keberadaan organisasi
Tujuan dan sasaran organisasi
Motivasi
Insentif
Prosedur
Social norm
Sumberdaya finansial
Alokasi keuangan
Kesediaan mengeluarkan biaya mendapat sumber dan pemeliharaan
Infrastruktur
Teknologi
Ketersediaan sumber air
Fasilitas
Jumlah sumber air
Social networking
Manajemen proses
Proses
Keterlibatan komunitas
Pengembangan dan pembagian informasi
Lingkungan luar
Lingkungan legal dan administratif
Kearifan lokal
Kemauan politis
Pengelolaan air
Kebijakan
Jaringan dan partisipasi
Pemangku lain

6.      Pembahasan dan analisis.

a.       Trust
Pengukuran modal sosial terkait trust, didekati dengan menggunakan komponen penelitian terhadap sumber daya manusia dan kepemimpinan strategis. Modal sosial ini dalam konteks pengelolaan air diukur melalui perilaku air sehari – hari, gaya kepemimpinan dan keberadaan organisasi.
Kesiapan perilaku masyarakat dalam penggunaan air sehari-hari, dilihat dengan nilai rasio adalah sebesar 54,54. Perilaku masyarakat jka dilihat dengan skala ordinal (gambar 2)





Gambar 2. Penggunaan air
(sumber: Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, 2012)
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar (53,1%) pengguna jasa masyarakat Kabupaten Gunung Kidul memiliki kesiapan perilaku yang buruk tentang penggunaan air sehari-hari. Hal ini terjadi karena terbatasnya jumlah dan jenis air yang dimiliki keluarga. Ketersediaan sumber air yang dimiliki keluarga sebagian tidak memilik kecukupan untuk jangka waktu yang lama dan adanya perubahan sumber air berdasarkan musim.
Pengukuran kepemimpinan yang ada pada organisasi pengelola air di Karangrejek menghasilkan nilai rasio sebesar 76,25. Dengan penilaian menggunakan skala ordinal seperti pada gambar 3.





Gambar 3. Kepemimpinan
(sumber: Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, 2012)
Pengukuran kepemimpinan yang dilakukan di Karangrejek menghasilkan nilai sebagian besar (63,3%) kondisi kepemimpinan berjalan cukup baik. Indikator kondisi kepemimpinan ini dapat dibaca pada tabel 5.
Tabel 5. Kepemimpinan
No
Variabel
N
%
Mempunyai Visi                                                                                         
1.       Tidak Mempunyai
2.       Mempunyai

6
24

20,0
80,0
Cara Memilih Pemimpin
1.       Tidak Melalui Pilihan Langsung dari Masyarakat atau Tidak Melalui Test Potensi
2.       Melalui Pilihan Langsung dari Masyarakat atau Melalui Test Potensi

7

23

23,3

76,7
Cara Memilih Pengurus
1.       Tidak Berdasarkan Kemampuan, Keahlian dan Keaktifan  
2.       Berdasarkan Kemampuan, Keahlian dan Keaktifan

13
17

43,3
56,7
Cara Mendelegasikan Tugas Kepada Anggota
1.       Tidak memberikan arahan yang Detail 
2.       Memberikan Arahan yang Detail 

16
14

53,3
46,7
Cara Pengambilan Keputusan
1.       Tidak Berdasarkan Kesepakatan Bersama
2.       Berdasarkan Kesepakatan Bersama

4
26

13,3
86,7
Cara Berinteraksi dengan Anggota
1.       Tidak Dilakukan Secara Rutin dan Tidak Terjadwal
2.       Dilakukan Secara Rutin dan Terjadwal

1
29

3,3
96,7
Melakukan Evaluasi    
1.       Tidak Dilakukan
2.       Dilakukan

1
29

3,3
96,7
Melakukan Monitoring 
1.       Tidak Dilakukan
2.       Dilakukan

9
21

30,0
70,0

Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa sebagian besar pemimpin mempunyai visi dalam memimpin suatu wilayah (80%), cara memilih pemimpin adalah secara langsung atau (76,7%,), pemilihan pengurus dilakukan berdasarkan kemampuan, keahlian dan keaktifan (56,7%), catatan dalam kepemimpinan adalah dalam hal pendelegasian tugas kepada anggota, yang dilakukan dengan tidak melalui arahan yang detail (53,3%). Pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan bersama (86,7%), cara beinteraksi dengan anggota dilakukan secara rutin dan terjadwal (96,7%), serta evaluasi dan monitoring selalu dilakukan terhadap kegiatan yang berlangsung (96,7% dan 70%).
Keberadaan organisasi di wilayah penelitian mendapatkan nilai yang tinggi yaitu 93,3. Angka ini dapat dilihat dari secara nominal yaitu pada gambar 4.





Gambar 4. Keberadaan Organisasi
Indikator keberadaan organisasi terdiri atas penunjukan pengurus organisasi, aturan untuk penyediaan air bersih, pemeliharaan rutin sarana air bersih, struktur organisasi, tersusunnya AD/ART. Hasil dari penelitian terdapat pada tabel 6.
Tabel 6. Keberadaan Organisasi
No
Variabel
N
%
Penunjukkan Pengurus Organisasi                                                       
1.       Tidak Melalui Pilihan Langsung dariMasyarakat atau Tidak Melalui Test Potensi
2.       Melalui Pilihan Langsung dari Masyarakat atau  Melalui Test Potensi

4
23

14,8
85,2
Adanya Aturan Untuk Masyarakat dalam PAB
1.       Tidak Mempunyai Aturan
2.       Mempunyai Aturan

0
27

0,0
100,0
Adanya Pemeliharaan Rutin Sarana Air Bersih
1.       Tidak Ada
2.       Ada

1
26

3,7
96,3
Adanya Struktur Organisasi
1.       Tidak Ada
2.       Ada

0
27

0,0
100,0
Membuat AD/ART
1.       Tidak Membuat
2.       Membuat

4
23

14,8
85,2

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar indikator organisasi menunjukkan hasil yang baik. Pengurus dipilih melalui pilihan langsung dari masyarakat atau melalui tes potensi (85,2%), 100% responden menyatakan adanya aturan untuk masyarakat dalam mengakses PAB, melakukan pemeliharaan rutin sarana air bersih (96,3%), mempunyai struktur organisasi (100%) dan 85,2% membuat AD/ART. 
Variabel trust sebesar 74,70 yang ditemukan dari hasil penelitian dapat diakumulasi dari angka perilaku penggunaan air sebesar 54,54, kepemimpinan 76,25 dan organisasi 93,3.
b.      Social norm
Norma sosial diukur dari sumber daya finansial dan infrastruktur, yang ditemukan dari indikator kesediaan mengeluarkan biaya untuk mendapat sumber dan pemeliharaan, ketersediaan sumber air dan jumlah sumber air.
Dalam penelitian dicoba untuk melihat gambaran kesediaan mengeluarkan biaya untuk berganti sumber air yang lebih baik. Dari pertanyaan tersebut ditemukan bahwa sebagian besar responden (92,5%) bersedia untuk membayar jika mendapat sumber air yang lebih baik (tabel 7). Rata-rata biaya yang bersedia dikeluarkan oleh responden sebesar Rp 400.000. Penelitian juga menemukan bahwa 85,7% responden bersedia mengeluarkan biaya untuk mendapatkan sumber air. Rata-rata biaya yang bersedia dikeluarkan oleh responden sebesar Rp 650.000.
Tabel 7. Kesediaan membayar
No
Mengeluarkan biaya berganti sumber air
N
%
1
Tidak Bersedia
11
7,5
2
Bersedia
136
92,5

Mengeluarkan biaya mendapat sumber air
N
%
1
Tidak Bersedia
21
14,3
2
Bersedia
126
85,7

Kesediaan mengeluarkan biaya untuk merawat instalasi
N
%
1
Tidak Ada Biaya yang Dikeluarkan
55
37,4
2
Tidak Tentu Mengeluarkan Biaya
20
13,6
3
Rutin Mengeluarkan Biaya
71
49,0

49,0% responden menyatakan bahwa terdapat biaya yang dikeluarkan rutin untuk merawat/memelihara instalasi sumber air. Rata-rata biaya yang dikeluarkan adalah Rp 20.000, dengan bentuk perawatan yang paling dominan yaitu penggantian kran air. Rata –rata nilai dari kesediaan mengeluarkan biaya adalah 75,73%.
Ketersediaan jumlah sumber air, didominasi oleh sumber yang tunggal (88,4%) (tabel 8). Sumber air yang digunakan oleh masyarakat didominasi berasal dari P3A, yaitu sebanyak 82 orang (55,8%).
Tabel 8. Jumlah sumber air
No
Jumlah Sumber Air
N
%
1
1 Sumber
130
88,4
2
2 Sumber
15
10,2
3
3 Sumber
2
1,4
Total
147
100,0
Hasil penelitian persepsi ketersediaan Sumber Air yang dimiliki responden tahun 2012, ditemukan hasil bahwa sebagian besar responden (51,7%) menganggap sumber air mereka cukup sampai lebih dari 15 tahun mendatang (tabel 9).
Tabel 9. Ketersediaan jumlah sumber air
No
Jumlah Sumber Air
N
%
1
Sudah tidak mencukupi saat ini
20
13,6
2
Cukup untuk jangka pendek (<5 o:p="" tahun="">
15
10,2
3
Cukup untuk jangka menengah (5-15 tahun)
36
24,5
4
Cukup untuk jangka panjang (>15 tahun)
76
51,7
Total
147
100,0

Variabel social norm sebesar 63,71 yang ditemukan dari hasil penelitian dapat diakumulasi dari angka kesediaan membayar sebesar 75,73 dan ketersediaan jumlah air 51,7.
c.       Social Networking
Pengukuran modal sosial terkait social networking, didekati dengan menggunakan komponen penelitian terhadap manajemen proses dan lingkungan. Modal sosial ini dalam konteks pengelolaan air diukur melalui keterlibatan komunitas, kearifan lokal dan pengelolaan air.
Nilai keterlibatan komunitas dalam organisasi di lokasi penelitian adalah sebesar 75,57. Rincian dari keterlebitan komunitas adalah terkait pembuatan sarana fasilitas umum, keinginan membayar terhadap out put proyek, keinginan terlibat dalam pemeliharaan fisik.
Tabel 10. Keterlibatan komunitas
No
Variabel
n
%
Terlibat dalam Pembuatan Sarana Fasilitas Umum
1.       Tidak Terlibat
2.       Terlibat

7
23

23,3
76,7
Keinginan Membayar terhadap Out Put Proyek (willing to pay).
1.       Tidak Mau Membayar
2.       Mau Membayar

9
21

30,0
70,0
Terlibat dalam Pemeliharaan Fisik
1.       Tidak Terlibat
2.       Terlibat

6
24

20,0
80,0

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa 76,7% responden terlibat dalam pembuatan sarana fasilitas air bersih, 70% mau terlibat dalam pembayaran terhadap output proyek dan 80% menyatakan bahwa masyarakat di wilayahnya ikut terlibat dalam pemeliharaan fasilitas.
Ukuran kearifan lokal dalam pengelolaan air bersih adalah sebesar 42,67, dengan kondisi berdasarkan skala ordinal seperti pada gambar 5. Dengan dominasi sebagian besar (63,3%) masih kurang memiliki kearifan lokal.



Gambar 5. Kearifan lokal
Indikator kearifan lokal didekati dari pengetahuan lokal, ketrampilan, sumber air alami dan peran sosial.
Tabel 11. Indikator kearifan lokal
No
Variabel
n
%
Pengetahuan Lokal                                                                                    
1.       Mempunyai
2.       Tidak Mempunyai

12
18

40,0
60,0
Mempunyai dan Menjalankan Keterampilan dan Kearifan Lokal
1.       Mempunyai
2.       Tidak Mempunyai

15
15

50,0
50,0
Mengetahui dan Menggunakan Sumber Air Alami
1.       Mengetahui
2.       Tidak Mengetahui

12
18

40,0
60,0
Mempunyai dan Mematuhi Peran Sosial
1.       Mempunyai
2.       Tidak Mempunyai

14
16

46,3
53,3

Kondisi masyarakat di lokasi penelitian sudah tidak lagi mempunyai pengetahuan terkait kearifan lokal (60,%), sebagian besar (60%) tidak mengetahui dan tidak menggunakan sumber air alami, dan tidak mempunyai adanya peran social (53,3%). Responden dalam penelitian sebagian masih menjalankan keterampilan kearifan lokal seperti menanam pohon di dekat sumber air, membuat alat sederhana untuk saringan air agar air tidak terlalu cepat mengalir, dan membuat bak penampung air seperti embung, sumur ladang agar air tidak mudah habis.
Pengelolaan air pada musim langka air di wilayah penelitian, mendapatkan nilai sebesar 34,67. Dari skala ordinal kesiapan komunitas dalam pengelolaaan air pada musim langka air (tabel 12). Terdapat 92% responden yang belum memiliki kesiapan menghadapi musim langka air.

 
Tabel 12. Pengelolaan Air
No
Pengelolaan Air pada Musim Langka Air
N
%
1
Tidak siap menghadapi musim langka air
23
92,0
2
Dukungan Kolektif mengalami musim langka air
2
8,0
Total
25
100,0
Kesiapan tersebut diperoleh dari indikator terkait perubahan kualitas, kontinuitas dan kuantitas sumber air, perbedaan cara memperoleh air, upaya mengatasi kelangkaan air dan upaya aspek tata atur (tabel 13).
Tabel 12. Indikator Pengelolaan langka Air
No
Indikator
N
%
Perubahan Kualitas, Kuantitas dan Kontinuitas Sumber Air
1.       Berubah
2.       Tidak Berubah

24
1

96,0
4,0
Perbedaan Cara Memperoleh Air
1.       Berbeda
2.       Tidak Berbeda

14
11

56,0
44,0
Upaya Mengatasi Kelangkaan Air
1.       Tidak Ada Upaya
2.       Ada Upaya

0
25

0,0
100,0
Upaya Untuk Aspek Pengelolaan (Tata Atur)
1.       Tidak Ada Upaya
2.       Ada Upaya
a.        Melakukan 1 Kegiatan
b.        Melakukan 2 Kegiatan

14

9
2

56,0

36,0
8,0

Sebagian besar (96%) responden mengalami musim langka air yang menyebabkan perubahan kondisi air baik dari sisi kualitas, kuantitas maupun kontuinitasnya. 56% responden yang mengalami musim langka air menyatakan ada perbedaan kondisi air pada musim kemarau dan hujan. Saat musim hujan, 89,3% responden menyatakan debit air berlimpah, namun kualitas air menurun karena sumber air tercampur dengan lumpur.
Saat terjadi musim langka air, 100% responden melakukan upaya, bentuk upaya yang dilakukan sebagian besar (76,7%) berskala individu, selebihnya mengupayakan pembelian dan pengaturan air tangki untuk digunakan secara bersama-sama. Sebagian besar (56%) responden tidak memberlakukan pengaturan kebijakan, terkait pengelolaan penggunaan air di komunitas saat musim langka air terjadi.
Variabel social network sebesar 50,97 yang ditemukan dari hasil penelitian dapat diakumulasi dari angka keterlibatan komunitas 75,57, kearifan lokal 42,67 dan pengelolaan musim langka 34,67.
Kondisi dari masing-masing variabel modal sosial adalah sebagai berikut (gambar 6)























7.      Kesimpulan dan saran

Dari ketiga variabel modal sosial yang diteliti dengan menggunakan studi kasus penyediaan air bersih di Karangrejek, Wonosari, Gunungkidul, ditemukan bahwa modal sosial berupa trust yang paling besar nilainya. Hal ini membuktikan bahwa kultur kekerabatan yang terbangun di dalam masyarakat yang diteliti masih memperlihatkan budaya saling percaya dan mengenal serta peduli, terutama dalam menghadapi persoalan penyediaan air bersih. Social network yang rendah perlu ditingkatkan dengan memberikan informasi terkait pengembangan pengelolaan air. Kondisi aktual di lokasi penelitian yang menunjukkan adanya gejala pelemahan norma sosial, terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan dan ketersediaan air untuk masyarakat.
Upaya peningkatan modal sosial dalam pengelolaan air di Karangrejek terutama terkait dengan pengelolaan saat terjadinya musim langka air, yang datang paling tidak 3 (tiga) bulan dalam setahun. Upaya lain terkait dengan bagaimana menguatkan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di wilayah Gunungkidul. Mencari alternatif sumber air baku dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang ada, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, seperti pengangkatan air sungai bawah tanah yang ada di Bribin. Penggunaan air yang bijak terkait dengan kondisi sosial dan karakteristik geografis perlu untuk dipikirkan lebih lanjut.
    
              Daftar Pustaka         
Cahyandito. MF, 2006, Pembangunan Berkelanjutan, Ekonomi dan Ekologi, Sustainability Communication dan Sustainability reporting, Jurnal Bisnis dan Manajemen, Faculty of Economics Universitas Padjadjaran, Vol. V, No. 1, March 2006.
Prandji Tri, 2006, Penguatan Modal Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan  Agroekosistem Lahan Kering, Studi Kasus di Desa-desa (Hulu DAS) Ex Proyek Bangun Desa, Kabupaten Gunungkidul dan Ex Proyek Pertanian Lahan Kering, Kabupaten Boyolali, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 24 No.2,  Oktober 2006: 178-206
Primadona, 2012, Penguatan Modal Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Pedesaan (Kelompok Tani Kecamatan Rambatan), Jurnal Polibisnis, Volume  4 No. 1  April 2012, Politeknik Negeri Padang
Saputro GE., 2006, Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan pada Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Tim peneliti, 2012, Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim oleh Masyarakat dalam Ketersediaan Air Minum, Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, Yogyakarta
Warih. HA dan Fajarwati Alia, 2012, Kajian Pengelolaan Air Berbasis Komunitas (Studi Kasus Desa Karangrejek Kabupaten Gunungkidul), Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013 Jurnal Bumi Indonesia.
Wachira EM, Organizational Capacity Audit Tool, Global e-School and Communities initiative, GESCI, http://www.gesci.org

Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul, 2010  
Peraturan Desa (Karangrejek) Nomor: 05 tahun 2009. Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Desa, http://digilib-ampl.net/detail/detail.php?tp=kliping&kode=9158



Cepat Merespons Pandemi, Platform Manajemen Kota Perlu Disiapkan untuk Hadapi Situasi Disrupsi

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...