Senin, 26 Mei 2014

Ruang Terbuka dan Pembentukan Persepsi Sosial Pengunjung

----------------------------------------------------------------------------------------------------------



Yudha Pracastino Heston*
Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Bidang Permukiman
Jl. Laksda Adisucipto No.165 Yogyakarta. Telp/fax (0274) 555205/546978

 

Abstrak


Definisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, adalah total area atau kawasan yang tertutupi hijau tanaman dalam satu satuan luas tertentu baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan. Dalam penyelenggaraan RTH, diperlukan sinergi peran antara Pemerintah (pusat) dan Pemerintah Daerah serta Masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum berupaya untuk mengembangkan jumlah RTH di tiap daerah dengan menginisiasi Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Di dalam P2KH pemerintah memberikan stimulan bagi daerah berupa taman, yang disebut sebagai taman kota hijau. Penyediaan taman kota hijau, membutuhkan juga sinergi peran masyarakat, yang salah satunya adalah juga pengunjung taman. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan komponen pembentuk persepsi terkait keberadaan RTH di suatu lingkungan, untuk dapat menghasilkan RTH yang lebih optimal pelayanannya. Penelitian dilakukan dengan studi kasus daerah yang menerima P2KH, dengan menggunakan sampel kuota. Pendekatan penelitian kuantitatif dengan alat analisis statistik deskriptif. Lokasi penelitian adalah Badung Bali, Tasikmalaya Jawa Barat dan Yogyakarta DIY. Hasil penelitian menunjukkan komponen pembentuk persepsi masyarakat terkait RTH taman kota hijau, yang dibagi dalam dua bagian yaitu sebelum dan sesudah adanya taman.

Kata Kunci: ruang terbuka, taman kota, hijau, persepsi

 

1.      Pendahuluan
Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari ruang terbuka di dalam kota. Klasifikasi ruang terbuka menurut (Moughtin, 1996) dibagi menjadi dua kelompok besar. Dua kelompok tersebut adalah dominasi proses alamiah dan yang didominasi tindakan manusia. Ruang terbuka yang didominasi oleh tindakan manusia dibagi lagi menjadi dua yaitu bentang alam tempat bekerja dan bentang alam formal. Taman terbuka hijau masuk di dalam klasifikasi bentang alam formal. Maksud dari bentang alam formal adalah sebuah tempat yang untuk menciptakannya membutuhkan tenaga dan bahan material, sehingga menimbulkan dampak, ornamental dan hal lainnya.
Beberapa ruang terbuka yang dapat diklasifikasikan sebagai ruang terbuka hijau, terkait dengan (Harnik, 2010) lapangan bola, hutan, taman, tempat bermain, danau, pantai, bantaran sungai, monumen, jalur hijau, jalur parkir, boulevard atau alun – alun. Aktifitas (Harnik, 2010) yang dapat diakomodasi oleh keberadaan RTH terkait dengan dua kelompok besar, yaitu olahraga dan non olahraga. Olahraga berbentuk tim seperti tenis, golf, basket dapat menjadi contoh. Untuk yang non tim seperti bersepeda, bermain skate board, lari dan juga jogging, aktivitas non olahraga bisa berupa bermain layangan, memanjat pohon. Sedangkan aktivitas non olahraga, yang berupa aktivitas ringan dapat berbentuk makan dan minum di taman dan hal lainnya.
Jika mengacu pada tataran normatif, definisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, adalah total area atau kawasan yang tertutupi hijau tanaman dalam satu satuan luas tertentu baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan. Dalam penyelenggaraan RTH, diperlukan sinergi peran antara Pemerintah (pusat) dan Pemerintah Daerah serta Masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum berupaya untuk mengembangkan jumlah RTH di tiap daerah dengan menginisiasi Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Di dalam P2KH pemerintah memberikan stimulan bagi daerah berupa taman, yang disebut sebagai taman kota hijau. Penyediaan taman kota hijau, membutuhkan juga sinergi peran masyarakat, yang salah satunya adalah juga pengunjung taman. Pelibatan peran masyarakat dilakukan bertahap mulai dari tahap rencana pemanfaatan, pelaksanaan pemanfaatan dan pasca pemanfaatan (Arianti, 2010).
Penelitian ini dilakukan untuk menemukan komponen pembentuk persepsi terkait keberadaan RTH di suatu lingkungan, untuk dapat menghasilkan RTH yang lebih optimal pelayanannya. Penelitian dilakukan dengan studi kasus di tiga daerah yang menerima bantuan stimulan P2KH, yaitu Kabupaten Badung Provinsi Bali, Kota Yogyakarta Provinsi DIY dan Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat.
2.      Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Untuk melihat persepsi pengunjung taman terkait keberadaan RTH yang berwujud taman stimulan program (P2KH). Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung di tiga taman, yaitu taman Kembang Jepun di Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung, Taman Gajahwong di Kota Yogyakarta dan Taman kompleks pusat pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya di Kecamatan Singaparna.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah responden terpilih dari tiga kota/kabupaten, yang dianalisis dengan menggunakan alat analisis statistik deskriptif. Jumlah sampel dengan menggunakan kuota minimal 30 orang agar dapat dilakukan operasi statistik, dengan rincian sampel pengunjung di taman Kembang Jepun Badung adalah sebesar 51 orang, taman Gajahwong 37 orang dan taman Puspem Tasikmalaya 41 orang. Pengumpulan data primer dengan menggunakan data kuesioner.











Gambar 1. Taman Kembang Jepun dan Taman Gajahwong

3.      Hasil Diskusi
Dari hasil penelitian dapat terlihat bahwa pengunjung sadar mereka berada di taman yang merupakan bantuan stimulan Program P2KH (gambar 2). Jika dibandingkan dengan persepsi pengunjung terkait kepentingan keberadaan taman, akan terlihat bahwa mayoritas pengunjung menilai keberadaan taman sangat penting.








Gambar 2. Pengetahuan terkait sumber/asal RTH dan Tingkat kepentingan keberadaan taman
Hal ini sangat dimungkinkan terjadi, karena dua dari tiga taman lokasi penelitian berada pada lingkungan pemerintahan. Sehingga arus informasi terkait pembangunan taman dapat menyebar dengan baik. Sedangkan satu taman lagi yang berada di luar wilayah pemerintahan, informasi terkait pembangunannya, menyebar terutama melalui warga sekitar taman.
Data primer penelitian menunjukkan, responden mayoritas adalah pada usia produktif (gambar 3). Survey yang dilakukan di siang – sore hari menunjukkan bahwa RTH pada kisaran waktu tersebut dikunjungi oleh pengunjung pada usia produktif. 

 







Gambar 3. Umur Responden Pengunjung
Mayoritas responden (37%) bekerja sebagai PNS, 16% pegawai swasta, 11% Ibu Rumah Tangga, dan 10% pengusaha swasta. 
Data penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan intensitas kunjungan ke RTH, sebelum dan sesudah ditata (Gambar 4). Selain faktor perbaikan kondisi RTH, fenomena ini juga sejalan dengan pendapat (Enggar, 2006) yaitu terdapat keterkaitan antara tingkat aksesibilitas dengan wilayah pelayanan. Mudahnya aksesibilitas membuat pengunjung memiliki intensitas kunjungan yang tinggi. Saat berkunjung ke RTH, seorang individu cenderung bersama keluarga dan teman.






Gambar 4. Kunjungan ke RTH dalam sebulan sebelum dan sesudah ditata

Aspek-aspek yang mempengaruhi kualitas keberadaan taman, berdasarkan data pengunjung adalah: Kebersihan, keindahan, keamanan, dan kenyamanan.  Data keberadaan taman terkait pengaruhnya terhadap persepsi kesehatan pengunjung sangat besar (gambar 5), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengunjung sudah merasakan manfaat taman bagi kesehatan.

Gambar 5. RTH dan kesehatan
Data keberadaan taman terkait pengaruhnya terhadap persepsi interaksi sosial pengunjung juga menunjukkan hasil yang sangat besar (gambar 6).  Dari bukti ini terlihat sudah berjalannya fungsi ruang stimulan bantuan P2KH sebagai tempat interaksi sosial.

Gambar 6. RTH dan interaksi sosial
Penataan RTH menjadi taman memiliki pengaruh besar terhadap persepsi kemanfaatan ruang yang ada (gambar 7).


Gambar 7. RTH dan manfaat
Pengunjung memiliki persepsi bahwa taman kota hijau dapat menjadi sarana rekreasi dan media sosialisasi warga, serta sebagai wadah pendidikan yang bermanfaat. Pengunjung memiliki persepsi bahwa pengelolaan yang ada sudah pada taraf pengelolaan yang baik (Gambar 8).
 






Gambar 8. RTH dan pengelolaan

4.      Kesimpulan dan Saran
Persepsi seseorang terhadap sebuah layanan (Handayani dkk, 2009) dapat diukur melalui dimensi tangible (sarana fisik, perlengkapan, personel dan lain-lain), keandalan pelayanan (reliability), ketanggapan pelayanan (responsiveness), keyakinan/jaminan (assurance) dan memahami kebutuhan pelanggan (empathy). Pada penelitian ini aspek tangibel tercermin pada kebersihan, keindahan, keamanan, dan kenyamanan. aspek keandalan pelayanan dapat dilihat pada besarnya presentase pengunjung yang merasakan pentingnya RTH. Ketanggapan pelayanan paling tidak dapat dilihat dari data manfaat kesehatan dan interaksi sosial serta manfaat yang meningkat setelah taman dibenahi. Dimensi memahami kebutuhan pelanggan terlihat dari banyaknya pengunjung yang memberikan penilaian baik-sangat baik bagi pengelolaan RTH.
5.      Daftar Pustaka
Arianti, Iin, 2010. Ruang Terbuka Hijau, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Rekayasa, Januari 2010
Handayani R.S, Raharni, Gitawati R, 2009. Persepsi Konsumen Apotek terhadap Pelayanan Apotek di Tiga Kota di Indonesia Jurnal Makara, kesehatan, vol. 13, no. 1, juni 2009
Harnik, Peter,  2010. Urban Green Innovative Parks for Resurgent Cities, Island Press, USA
Kemp, Roger and Stephani, Carl, Ed, 2011. Cities Going Green, Mc Farland & Company, Inc Publisher, North Carolina
Liestiani Enggar, 2006. Pengaruh Aksesibilitas terhadap Wilayah Pelayanan Puskesmas di Kota Magelang Berdasarkan Persepsi Pengunjung, Tugas Akhir Universitas Diponegoro Semarang
Moughtin, Cliff and Shirley, Peter, 2005. Urban Design Green Dimensions, Elsevier, Linacre House, Jordan Hill, Oxford
Tim Peneliti, 2013. Kajian Efektifitas Program Pengembangan Kota Hijau Mendukung Pembangunan Kota, Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman


 

Rabu, 21 Mei 2014

PENYUSUNAN MODEL INDEKS KAPASITAS ADAPTASI MASYARAKAT DAERAH RENTAN AIR MINUM TERKAIT DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

------------------------------------------------------------------------------------------------------------Yudha Pracastino Heston1),
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Bidang Permukiman,
Alamat Jl. Laksda Adisucipto No.165 Yogyakarta. Telp/fax (0274) 555205/546978
[line kosong (10pt)]
[line kosong (10pt)]
ABSTRAK
Hasil Penelitian Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman di Tahun Anggaran 2012, menghasilkan rumusan penghitungan kemampuan adaptasi di berbagai tingkat entitas masyarakat. Kapasitas adaptasi yang dimiliki dapat diukur, dan perlu kemudian untuk ditingkatkan. Perhatian perlu dilihat terutama di daerah yang memiliki tingkat kerentanan air dan sanitasi yang terkait perubahan iklim. Penelitian dilakukan di lokasi dengan pertimbangan karakter wilayah berkelimpahan air dan berkekurangan air. Tujuan penelitian adalah tersusunnya Model kesiapan Adaptasi Perubahan Iklim oleh Masyarakat dalam sektor Air Minum yang merupakan dasar untuk penyusunan strategi adaptasi. Model yang dihasilkan setelah dikoreksi dan diujikan, dapat diberlakukan pada karakter masyarakat yang memiliki wilayah dengan kelimpahan air dan kekurangan air. Model yang diujikan di tahun dengan lengkap menggambarkan perubahan iklim dan kesiapan masyarakat, terkait dengan tiga variabel kapasitas adaptif, sensitifitas dan paparan.

Kata kunci: model, perubahan iklim, air, komunitas


ABSTRACT
Research result in adaptability formulation at various levels of the public entity, find that adaptive capacity can be measured, and then need to be improved. Attention needs to be seen, especially in areas that have high levels of water and sanitation vulnerabilities related to climate change. The study was conducted in consideration of the character of the area locations with abundant water and water shortage. The purpose of the study is the formulation of Model readiness Community Climate Change Adaptation in the Water sector is the basis for the preparation of adaptation strategies. Models produced after corrected and tested, can be applied to the character of the people who have a region with an abundance of water and lack of water. The model is tested on the year with a complete describe climate change and community preparedness, the three variables associated with adaptive capacity, sensitivity and exposure.

Keywords: model, climate change, water, community


1.     PENDAHULUAN
[line kosong (10pt)]
Perubahan iklim terkait perubahan presipitasi dan tinggi muka air laut dan menyebabkan kualitas dan pengolahan air di perkotaan, intrusi air garam, dapat terjadi lebih sering terjadi dan mengkontaminasi air tanah dan permukaan hal ini dapat mengurangi suplai air minum dan menyebarkan polutan berbahaya melalui sistem pengelolaan air. Hasil Penelitian Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman di Tahun Anggaran 2012, menghasilkan rumusan penghitungan kemampuan adaptasi di berbagai tingkat entitas masyarakat. Kapasitas adaptasi yang dimiliki dapat diukur, dan perlu kemudian untuk ditingkatkan. Perhatian perlu dilihat terutama di daerah yang memiliki tingkat kerentanan air dan sanitasi yang terkait perubahan iklim.
Penelitian dilakukan di lokasi dengan pertimbangan karakter wilayah berkelimpahan air dan berkekurangan air. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa wilayah yang tidak diambil sebagai lokasi penelitian akan berada di antaranya. Lokasi penelitian pada tahun 2012, wilayah berkelimpahan air adalah Palembang dan wilayah berkekurangan air adalah Kupang dan Gunungkidul. Lokasi penelitian pada tahun 2013, wilayah berkelimpahan air adalah Solo dan wilayah berkekurangan air adalah Serang dan Makassar.
Permasalahan yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian adalah, masih terbatasnya teori yang dapat menjelaskan fenomena kesiapan dan kerentanan perubahan iklim dari sisi sosial kemasyarakatan. Maksud penelitian adalah untuk menyusun model kesiapan Adaptasi Perubahan Iklim oleh Masyarakat. Tujuan penelitian adalah tersusunnya Model kesiapan Adaptasi Perubahan Iklim oleh Masyarakat dalam sektor Air Minum yang merupakan dasar untuk penyusunan strategi adaptasi.


Tinjauan Pustaka
Hasil peneltian ITB (2012) tentang Adaptive Capacity to Climate Change in Lembata, Sikka, and Timur Tengah Utara (TTU) tentang Indikator keterampilan dan pengetahuan dalam memecahkan bencana iklim, memperlihatkan bahwa masyarakat TTU yang pernah mendapatkan pelatihan manajemen bencana di tahun 2010 oleh Lembaga Analisis Ekonomi (IDEA), Yogyakarta, bekerja sama dengan Flores Institute Resources for Development (FIRD) pada tahun 2010 membuat mereka mulai mengerti tentang sistem informasi penanggulangan bencana dan didukung oleh kearifan lokal di wilayah itu. Namun, karena   tingkat keterampilan dan pengetahuan mereka masih rendah, mengakibatkan penurunan kapasitas adaptasi mereka, sehingga dapat disimpulkan bahwa masyarakat TTU masih rentan dalam mengatasi perubahan iklim di masa depan. Di Palembang: Menurut Arief Anshory Yusuf dan Herminia Francisco (2009), Kota Palembang menduduki peringkat ke 16 dari tempat (distrik) paling rentan terhadap perubahan iklim di Asia Tenggara. Berdasarkan laporan IPCC dampak perubahan iklim pada daerah pesisir pantai / sungai yang mempunyai resiko paling tinggi adalah badai tropis, banjir dan meningkatnya muka air laut.

2.  METODOLOGI

Prosedur pelaksanaan penelitian mulai dari perumusan masalah sampai ke uji model, digambarkan dalam bagan
sebagai berikut.
Analisis tematik
Penelitian kualitatif
Perumusan masalah
Nomologi
Diskriminan
Kovergen
Konsep
Kriteria
Kandungan
Konsistensi internal
Bentuk Alternatif
Pengujian/
Uji ulang
Kemampuan Generalisasi
Validitas
Keandalan
Skala indeks
Uji model
Instrumen adaptasi perubahan iklim sektor air minum
Penelitian kuantitatif
Instrumen kesiapan masyarakat
Faktor determinan
 Kerangka pikir dari peneltian ini akan dijabarkan secara singkat melalui poin persiapan, pelaksanaan dan penyajian berikut




























3. HASIL  DAN PEMBAHASAN

Uji Konsistensi Internal Instrumen:  Uji coba kuesioner dilakukan sebelum digunakan pada subjek penelitian untuk mengetahui validitas dan reliabilitas. Uji coba dilakukan terhadap kuisioner pengetahuan, kesiapan, perilaku, dan kapasitas. Uji tersebut menggunakan face validity yaitu: mengukur validitas suatu kuesioner dengan meminta pendapat dari pakar. Apabila ≥ 75% pakar menyatakan bahwa kuesioner ini valid, maka kuesioner tersebut dinyatakan bisa digunakan, namun jika < 75%, maka kuesioner tersebut harus diperbaiki sebelum digunakan.

Tahun 2013
                Penelitian ini dilaksanakan untuk mengvalidasi kembali model kerentanan dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim. Uji coba kuesioner telah dilakukan tahun 2012 dengan face validity. Expert judgment, namun untuk memberikan keyakinan bahwa instrument yang akan diaplikasikan kembali di tahun 2013 dinyatakan benar-benar layak. Uji coba kuesioner dilakukan sebelum digunakan pada subjek penelitian untuk mengetahui validitas dan reliabilitas. Uji coba dilakukan terhadap kuisioner pengetahuan, kesiapan, perilaku, dan kapasitas. Uji tersebut menggunakan  uji yang berbeda dengan tahun 2013, yaitu dengan Construct Validity, yaitu uji coba kuesioner dilakukan sebelum digunakan pada subjek penelitian untuk mengetahui validitas dan reliabilitas. Uji dilakukan terhadap 30 orang responden yang memiliki karakteristik yang sama dengan subjek penelitian. Suatu variable (pertanyaan) dikatakan valid apabila skor variable tersebut berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya. Tehnik korelasi yang digunakan adalah Korelasi Pearson Product Moment:

Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah dengan status kelimpahan dan kekurangan air, dengan tujuan untuk:
1.        Mengetahui indeks kerentanan masyarakat dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim
a)       Membuat penilaian dan menghitung skore terhadap indicator kerentanan
Kapasitas Adaptif
Penilaian
Menghitung Skore

1
Pendidikan

Skore 0: Tidak Sekolah
Skore 1: SD
Skore 2: SMP
Skore 3: SMU
Skore 4: D3/PT
Berikan skore sesuai dengan tigkat pendidikan responden

2
Pengetahuan
Terdapat 11 pertanyaan untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden tentang perubahan iklim, dengan penilaian sebagai berikut:
a.    Untuk pertanyaan favorable jika menjawab benar diberi nilai 1 dan jika  menjawab salah diberikan nilai 0 (Nomor Pertanyaan: 2, 3, 4, 8, 9)
b.    Untuk pertanyaan unfavorable jika menjawab benar diberi nilai 0 dan jika menjawab salah diberi nilai 1 (Nomor Pertanyaan: 1, 5, 6, 7, 10, 11).  

Keterangan:
Skore maksimal: 11

3
Persepsi
Terdapat 10 pertanyaan untuk mengetahui persepsi responden tentang perubahan iklim. Data persepsi responden menggunakan skala likert: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-Ragu (R), Kurang Setuju (KS), Sangat Tidak Setuju (STS), dengan penilaian:
a.    Untuk pertanyaan favorable jika menjawab SS diberi nilai 5 dan jika  menjawab STS diberikan nilai 1 (Nomor Pertanyaan: 6 dan 8).
b.    Untuk pertanyaan unfavorable jika menjawab SS diberi nilai 0 dan jika menjawab STS diberi nilai 1 (Nomor Pertanyaan: 1, 2, 3, 4, 5, 7, 9, dan 10). 

Keterangan:
Skore maksimal: 10 x 50 = 50

4
Kearifan Lokal
Terdapat 6 pertanyaan untuk mengukur kearifan local di masyarakat.
Setiap jawaban ‘iya’ pada pertanyaan tersebut akan diberikan skore 1 dan jika ‘tidak’ akan diberikan skore 0
Keterangan:
Skore maksimal: 6

5
Keterlibatan Komunitas
Terdapat 3 pertanyaan untuk mengukur keterlibatan komunitas.
Setiap jawaban ‘iya’ pada pertanyaan tersebut akan diberikan skore 1 dan jika ‘tidak’ akan diberikan skore 0
Keterangan:
Skore maksimal: 3

6
Kepemimpinan
Terdapat 11 pertanyaan untuk mengukur kemampuan pemimpin dalam mengatur suatu organisasi kewilayahan.
Setiap jawaban ‘iya’ pada pertanyaan tersebut akan diberikan skore 1 dan jika ‘tidak’ akan diberikan skore 0

Keterangan:
Skore maksimal: 3

7
Jaringan
Terdapat 2 pertanyaan untuk mengetahui upaya suatu lembaga untuk menjalin hubungan kerjasama dengan lembaga lain.
Setiap jawaban ‘iya’ pada pertanyaan tersebut akan diberikan skore 1 dan jika ‘tidak’ akan diberikan skore 0

Keterangan:
Skore maksimal: 2

8
Ketersediaan Informasi
Terdapat 2 pertanyaan untuk mengetahui upaya yang dilakukan suatu lembaga untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan penyediaan air bersih
Setiap jawaban ‘iya’ pada pertanyaan tersebut akan diberikan skore 1 dan jika ‘tidak’ akan diberikan skore 0

Keterangan:
Skore maksimal: 2

9
Keberadaan Organisasi
Terdapat 6 pertanyaan untuk mengetahui keberadaan organisasi di suatu wilayah yang khusus dibentuk untuk mengatur ketersediaan air di masyarakat
Setiap jawaban ‘iya’ pada pertanyaan tersebut akan diberikan skore 1 dan jika ‘tidak’ akan diberikan skore 0

Keterangan:
Skore maksimal: 6

Paparan
Penilaian
Menghitung Skore

1
Pengelolaan Air Saat Musim Langka Air Tingkat Individu
Terdapat 8 pertanyaan untuk mengetahui kebiasaan atau perilaku anggota keluarga terkait dengan kesiapan keluarga dalam menghadapi musim langka air
Setiap jawaban ‘iya’ pada pertanyaan tersebut akan diberikan skore 1 dan jika ‘tidak’ akan diberikan skore 0

Keterangan:
Skore maksimal: 8
2
Pengelolaan Air Saat Musim Langka Air Tingkat Kewilayahan
Terdapat 4 pertanyaan untuk mengetahui kebiasaan atau perilaku masyarakat terkait dengan kesiapan  dalam menghadapi musim langka air
Setiap jawaban ‘iya’ pada pertanyaan tersebut akan diberikan skore 1 dan jika ‘tidak’ akan diberikan skore 0

Keterangan:
Skore maksimal: 4

Sensitivitas
Penilaian
Menghitung Skore

1
Perilaku Penggunaan Air Sehari-hari
Terdapat 8 pertanyaan untuk mengetahui kebiasaan atau perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan kesiapan masyarakat dalam penggunaan air sehingga dapat mencegah dari terjadinya kesulitan air pada waktu-waktu tertentu

Setiap jawaban ‘iya’ pada pertanyaan tersebut akan diberikan skore 1 dan jika ‘tidak’ akan diberikan skore 0

Keterangan:
Skore maksimal: 8
2
Perilaku tentang Perubahan Iklim
Terdapat 11 pertanyaan untuk mengetahui kebiasaan atau perilaku masyarakat dalam   menghadapi permasalahan perubahan ketersediaan sumber daya air akibat perubahan iklim dengan penilaian sebagai berikut:
a.     Untuk pertanyaan favorable jika menjawab melakukan diberi nilai 1 dan jika menjawab tidak melakukan diberikan nilai 0 (Nomor Pertanyaan: 1, 6 dan 9).
b.     Untuk pertanyaan unfavorable jika menjawab melakukan diberi nilai 0 dan jika menjawab tidak melakukan diberi nilai 1 (Nomor Pertanyaan: 1, 3, 4, 5, 7, 8, 10, 11).  

Keterangan:
Skore maksimal: 11
3
Kesepakatan Program
Terdapat 12 pertanyaan untuk mengetahui status keberadaan suatu rumusan dan kesepakatan kegiatan terkait sumber air bersih dengan suatu lembaga

Setiap jawaban ‘iya’ pada pertanyaan tersebut akan diberikan skore 1 dan jika ‘tidak’ akan diberikan skore 0

Keterangan:
Skore maksimal: 12
4
Manfaat
Terdapat 5 pertanyaan untuk mengetahui ketersediaan fasilitas sumber air bersih yang bersifat komunal yang dibuat oleh suatu lembaga

Setiap jawaban ‘iya’ pada pertanyaan tersebut akan diberikan skore 1 dan jika ‘tidak’ akan diberikan skore 0

Keterangan:
Skore maksimal: 5

b)       Menghitung indikator kerentanan pada setiap variabel yang terdapat di dalam indicator kerentanan, dengan cara sebagai berikut:
1)      Mencari nilai rata-rata actual (X actual) =  
2)      Mencari nilai X maksimum = mencari nilai responden yang tertinggi
3)      Mencari nilai X minimal = mencari nilai responnden yang terendah
4)      Jika sudah diketahui, maka hitunglah indeks kerentanan masing-masing variabel yang terdapat di dalam indicator dengan rumus sebagai berikut:
5)      Indeks yang telah dihasilkan, dikatergorikan kedalam 3 parameter, yaitu
Indikator
Ukuran
High Vulnerability (Kerentanan Tinggi)
0,00 – 0,33
Moderate Vulnerability (Kerentanan Sedang)
0,34 – 0,66
Highly Resilient (Tangguh)
0,67 – 1,00

6)      Membuat kesimpulan indeks kerentanan tiap indicator dengan cara menghitung nilai rata-rata yang telah dihasilkan di setiap variabel
                                 i.            Rata-Rata Kapasitas adaptif =
                                   ii.         Rata-rata Paparan=
                                  iii.         Rata-rata Sensitivitas=
c)        Mengetahui kategorisasi atau parameter indeks kerentanan masyarakat  dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim
Dari skore yang telah dihasilkan tiap variabel, akan dikategorikan ke dalam 3 kategori dengan menggunakan aturan normative, dengan cara sebagai berikut:
1)       Mencari nilai mean tiap variabel =
 
2)       Mencari nilai standar deviasi (SD)=
Keterangan: i = Nilai Mean Tiap Variabel
n = Jumlah Responden
3)       Mencari skore tiap responden (x) per variabel
4)       Jika sudah diketahui, maka nilai-nilai tersebut dimasukkan kedalam parameter sebagai berikut:
Indikator
Ukuran
High Vulnerability (Kerentanan Tinggi)
(x) < Mean - 1 SD
Moderate Vulnerability (Kerentanan Sedang)
-1 SD ≤ x ≤ Mean + 1 SD
Highly Resilient (Tangguh)
(x) > Mean + 1 SD
5)       Membuat kesimpulan atau parameter indeks kerentanan masyarakat dengan menghitung nilai prosentase pada masing-masing indicator
Prosentase (%) =
d)       Mengetahui factor-faktor determinant yang mempengaruhi kerentanan masyarakat dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim
1)       Melakukan Analisis hubungan antar variabel dengan:
Analisis korelasi untuk mengetahui derajat/keeratan hubungan dan arah hubungan dua variabel yang hendak diteliti. Tahapan analisis korelasi:
Indikator
Ukuran
Tidak ada hubungan atau hubungan lemah
0,00 – 0,25
Hubungan sedang
0,26 - 0,50
Hubungan kuat
0,51 – 0,75
Hubungan sangat kuat/sempurna
0,76 – 1,00
i.          Mengetahui hubungan variabel sebab dan akibat secara signifikan atau hanya karena faktor kebetulan dengan memperhatikan nilai siqnifikasi (Sig. (2-tailed))= Ada hubungan jika nilai P-value < 0,05 dan tidak ada hubungan jika nilai P-value > 0,05






ii.         Menilai keeratan/ kekuatan hubungan: Pearson Correlation
iii.        Menilai pola hubungan
Secara sederhana ataus secara visual hubungan dua variabel diatas dapat dilihat dari diagram tebar/ pencar (scatter plot)  yang menunjukkan titik-titik perpotongan nilai data dari dua variabel (X dan Y) sehingga dapat diperoleh informasi pola hubungan variabel dan keeratan hubungan dari kedua variabel tersebut
Nilai korelasi (r) berkisar 0 s.d 1 atau bila disertai dengan arahnya maka nilai berkisar antara -1 s.d + 1
Hasil
Interpretasi
0
Tidak ada hubungan linear
-1
Hubungan linear negative sempurna
+1
Hubungan linear positif sempurna

Hubungan dua variabel dapat berpola positif maupun negative. Hubungan positif akan terjadi apabila kenaikan satu diiukuti kenaikan variabel yang lain, misalnya semakin tinggi skor pengetahuan masyarakat maka akan semakin tinggi kesiapan mereka dalam menghadapi permasalahan perubahan ketersediaan sumber daya air akibat perubahan iklim, sedangkan hubungan negative dapat terjadi apabila satu variabel diikuti penurunan variabel yang lain, misalnya semakin tinggi skor pengetahuan masyarakat maka semakin rendah kesiapan mereka dalam menghadapi permasalahan perubahan ketersediaan sumber daya air akibat perubahan iklim.
e)       Mengetahui factor-faktor tersebut berinteraksi dan bekerja untuk menghasilkan masyarakat yang tangguh dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim
1)       Koefisien Determinasi (R2)
Ukuran ini sangat penting untuk mengetahui seberapa besar variasi variabel kesiapan masyarakat dalam menghadapi permasalahan perubahan ketersediaan sumber daya air akibat perubahan iklim  (y) atau dengan kata lain R2 bertujuan untuk menentukan proporsi atau presentase total variasi dalam variabel terikat yang diterangkan variabel bebas secara bersama-sama. Semakin besar nilai R2 semakin baik/ semakin tepat variabel independent memprediksi variabel dependent. Besarnya nilai R2 antara 0 s.d 1 atau antara 0% s.d 100%. Hasil perhitungan Adjusted R2 dapat dilihat pada output Model Summary. Pada kolom Adjusted R2 dapat diketahui berapa persentase yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat. Sedangkan sisanya dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian.
2)       Anova (F). Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel terikat. Signifikan berarti hubungan yang terjadi dapat berlaku untuk populasi. Penggunaan tingkat signifikansinya 5% (0,05), jika nilai probabilitas < 0,05, maka dapat dikatakan terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Namun, jika nilai signifikansi > 0,05 maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara variabel bebas terhadap variabel terikat.
3)       Uji t digunakan untuk menguji secara parsial masing-masing variabel. Hasil uji t dapat dilihat pada tabel coefficients pada kolom sig (significance).  Jika probabilitas nilai t atau signifikansi < 0,05, maka dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial. Namun, jika probabilitas nilai t atau signifikansi > 0,05, maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Untuk mengetahui besarnya kontribusi masing-masing variabel terhadap variabel terikat, maka perhatikan kolom ‘t’ pada hasil analisis
f)         Menghasilkan model kerentanan masyarakat dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim
Tahun 2013
1.       Membandingkan indeks kerentanan masyarakat yang diperoleh di wilayah lain, namun dengan karakteristik kewilayahan yang sama, dengan panduan di tahun 2012 
2.       Membandingkan kategorisasi atau parameter indeks kerentanan masyarakat  dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim dengan karakteristik kewilayahan yang sama, dengan panduan di tahun 2012 
3.       Melakukan koreksi kategorisasi atau parameter indeks kerentanan masyarakat  dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim dengan menggunakan seluruh responden yang digunakan di tahun 2012 dan 2013. Membuat koreksi ini menggunakan panduan di tahun 2012.
4.       Menambahkan satu sector indicator yaitu sanitasi yang secara tidak langsung sebagai efek negatif dari perubahan iklim. Indikator ini disajikan dalam bentuk indeks dan kategorisasi atau parameter dari indeks yang telah dihasilkan dengan cara kerja yang sama dengan pengukuran indeks kerentanan. 
5.       Mengujikan kembali factor-faktor determinant yang mempengaruhi kerentanan masyarakat dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim yang telah diperoleh di tahun 2012 dengan cara kerja yang sama yang sama
6.       Mengujikan kembali bagaimana factor-faktor tersebut berinteraksi dan bekerja untuk menghasilkan masyarakat yang tangguh dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim yang telah diperoleh di tahun 2012 dengan cara kerja yang sama
7.       Dari tahap E dan F, maka dihasilkan model kerentanan dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim.  
Pembahasan
Kategorisasi/Parameter Pencapaian Indikator Kerentanan
                Dari hasil penelitian yang dilakukan selama 2 tahun yaitu 2012 dan 2013, maka diperoleh parameter nilai yang terdapat pada setiap indicator yang dapat digunakan untuk menentukan status kerentanan dari suatu wilayah. Berikut adalah nilai panduan yang telah dihasilkan
No
Indikator
Indeks Kerentanan
Kapasitas Adaptif
High Vulnerability
Moderate Vulnerability
Highly Resilient
Indeks
Indeks
Indeks
1
Pendidikan
≤ 2,77 
 2,78-5,28
≥ 5,29
2
Pendapatan
≤ 500.000
510.000-2.499.999
≥ 2.500.000
3
Pengetahuan
≤ 46,10
46,11-78,62
≥ 78,63
4
Persepsi
≤ 56,61
56,62-81,30
≥ 81,31
5
Kearifan Lokal
≤ 10,03
10,44-21,44
≥21,45
6
Keterlibatan Komunitas
≤ 47,56
47,57-70,33
≥ 70,34
7
Kepemimpinan
≤ 60,11
60,12-89,32
≥ 89,33
8
Jaringan
≤ 44,01
44,02 -70,42
≥ 70,43
9
Ketersediaan Informasi
≤ 34,34
34,35-61,97
≥ 61,98
10
Keberadaan Organisasi
≤ 19,41
19,42-54,40
≥ 54,41
Paparan



1
Pengelolaan Air Saat Musim Langka Air Tingkat Individu
≤ 29,25
29,26-63,01
≥ 63,02
2
Pengelolaan Air Saat Musim Langka Air Tingkat Kewilayahan
≤ 40,16
40,17-66,49
≥ 66,50
Sensitivitas



1
Perilaku Penggunaan Air Sehari-hari
≤ 47,88
47,89-83,83
≥ 83,84
2
Perilaku tentang Perubahan Iklim
≤ 46,54
46,55-77,98
≥ 77,99
2
Kesepakatan Program
≤ 40,89
40,90-55,16
≥ 55,17
3
Manfaat
≤ 25,85
25,86-60,06
≥ 60,07

                Untuk mengukur batas kerentanan suatu wilayah, maka skore yang diperoleh dari masing-masing responden akan di konversi pada parameter ini. Sub-indeks menyediakan tingkatan yang berkontribusi terhadap kerentanan sebuah komunitas. Sub-indeks didefinisikan oleh beberapa indeks konstituen dengan mengukur pengetahuan, kekayaan masyarakat, peraturan kapasitas, dan kepekaan untuk berubah. Indeks ini mengukur sejauh mana pengetahuan, regulasi, kesadaran, dan nilai-nilai perubahan sumber daya air yang memungkinkan masyarakat dalam menanggapi perubahan pasokan air bersih akibat perubahan iklim. Secara kolektif indeks ini terdiri dari sub-indeks yang menyediakan penilaian sosial, ekonomi, dan budaya kota masyarakat. Jika dalam sub indeks ini sebagian besar masyarakat dalam suatu wilayah berada pada high vulnerability, maka ada kecendrungan wilayah tersebut tidak siap dan berada pada kerentanan tinggi dalam menghadapi perubahan iklim, sebaliknya jika sebagian besar masyarakat berada pada highly resilient, maka wilayah tersebut telah siap dan tangguh dalam menghadapi perubahan iklim, sedangkan jika sebagian masyarakat berada pada moderate vulnerability, maka wilayah tersebut dianggap telah cukup siap menghadapi perubahan iklim, namun masih perlu ada peningkatan pada beberapa sub indeks, sesuai dengan parameter yang terdapat di wilayah tersebut.
a.        Model Konseptual kerentanan masyarakat dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan yang rentan dengan perubahan iklim
      Model ini dapat digunakan sebagai panduan untuk meningkatkan status ketangguhan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim dengan angka konstanta yang telah dihasilkan dalam proses penelitian selama 2 tahun berturut-turut. Berikut adalah panduan rekomendasi yang dapat diberikan untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam beradaptasi menghadapi perubahan iklim yang telah disesuaikan dengan sub indeks yang terdapat pada setiap indeks untuk pengukuran kerentanan masyarakat di perkotaan

No
Indikator
Bobot
Parameter
Kapasitas Adaptif

Rentan
Sedang
Tangguh
1
Persepsi
16,93
Pelibatan media dengan konteks kondisi lokal,  menyadarkan kebutuhan kondisi perubahan iklim.
Menyiapkan fasilitas air minum mendukung kelayakan hidup sehat.
Memberikan apresiasi terhadap persepsi lingkungan, menghadapi perubahan iklim.
2
Pengetahuan
16,67
Penyuluhan ke RT/RW,  kegiatan bersama dalam lingkungan dengan mendatangkan narasumber kompeten.
Melaksanakan kegiatan forum peduli lingkungan yang di dalamnya termasuk isu terkait air minum dan perubahan iklim.
Memastikan terjaganya kualitas dari sarana prasarana layanan publik.
3
Perilaku
16,4
Menggunakan kekuatan/ kekuasaan atau dorongan
Misal : dengan adanya peraturan-peraturan / perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat.
 Pemberian informasi,  engan memberikan informasi-informasi tentang sesuatu hal yang berkaitan  dengan hal tertentu.

Diskusi partisipasi,
cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua di atas yang dalam memberikan informasi-informasi tentang peraturan baru organisasi tidak bersifat searah saja tetapi dua arah.
4
Kearifan Lokal
7,66
Menggali dan mencari kembali potensi kearifan lokal yang terkait dengan pengelolaan air dan perubahan iklim.
Mengadakan diskusi di tingkat lingkungan terkait dengan pengelolaan air.
Menstabilkan upaya dan program termasuk acara komunitas untuk mempertahankan kearifan lokal untuk masalah ini.
5
Keterlibatan Komunitas
11,83
Masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, dan ditingkatkan kemampuannya. 
Komunikasi memberikan kepada masyarakat melakukan tangapan balik (feed back).
Program kemitraan sejajar. Negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi.
6
Kepemimpinan
4,73
Menumbuhkan visi dan misi, keberanian dan kemampuan kepimpinan.
Antisipasi masalah dengan sumber data solusi.
Apresiasi, inovasi dan kreativitas.
7
Jaringan
9,4
Meningkatkan sosialisasi dan penyuluhan.
Merumuskan alokasi anggaran yang tepat.
Meningkatkan intensitas pertemuan antar kelompok.
8
Ketersediaan Informasi
8,22
Penyusunan basis data informasi.
Analisis dan perbaikan informasi.
Pengembangan sistem informasi.
9
Channel
8,16
Mengkreasikan channel secara efektif melalui peningkatan budaya kelembagaan.
Mengembangkan modal sosial terkait channel pengembangan kelembagaan.
Meningkatkan nilai tambah keberadaan channel.
Paparan




1
Pengelolaan Air Saat Musim Langka Air Tingkat Individu
50
mengetahui dan memahami tentang pekerjaan pengelolaan air saat musim langka.
menggerakkan organisasi secara spesifik terkait pengelolaan air saat musim langka.
menerapkan dasar-dasar, asas-asas dan pokok-pokok manajemen terkait pengelolaan air saat musim langka.
2
Pengelolaan Air Saat Musim Langka Air Tingkat Kewilayahan
50
mengetahui dan memahami tentang pekerjaan pengelolaan air lingkungan saat musim langka.
menggerakkan organisasi secara spesifik terkait pengelolaan air di lingkungan saat musim langka.
menerapkan dasar-dasar, asas-asas dan pokok-pokok manajemen terkait pengelolaan air di lingkungan saat musim langka.
Sensitivitas




1
Perilaku Penggunaan Air Sehari-hari
50
Pembentukan pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul.
Metodenya dengan mengamati seorang  kemudian mencontohkan tingkah laku sang model.
Menjaga kondisi perilaku penggunaan air sehari.
2
Kesepakatan Program
37,9
Merumuskan struktur koordinasi (jadwal, agenda, instansi yang terlibat, pembagian tugas dan wewenang, anggaran dan hal yang terkait), sehingga tercipta koordinasi antar program dan sektor, di setiap tahapan kegiatan melalui pertemuan berkala yang disepakati.
Meningkatkan  kualitas kompetensi masyarakat dan  pendamping (fasilitator).
Pengembangan program menjadi unit usaha komunitas, untuk menopang operasional dan pengembangan lebih lanjut.

3
Manfaat
12,1
Meningkatkan jumlah layanan dan pelanggan yang memperbesar nilai manfaat.
Meningkatkan cakupan akses penyediaan air yang lebih nyaman, kualitas lebih baik dan kemudahan akses.
Menjaga keberlanjutan manfaat program






4.     KESIMPULAN

Model yang dihasilkan setelah dikoreksi dan diujikan, dapat diberlakukan pada karakter masyarakat yang memiliki wilayah dengan kelimpahan air dan kekurangan air. Model yang diujikan di tahun dengan lengkap menggambarkan perubahan iklim dan kesiapan masyarakat, terkait dengan tiga variabel kapasitas adaptif, sensitifitas dan paparan.

Daftar Pustaka

Tim Peneliti, 2012. Laporan Akhir Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim oleh Masyarakat dalam Ketersediaan Air Minum. Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman. Yogyakarta
Tim Peneliti, 2013. Laporan Akhir Peningkatan Kapasitas Adaptasi Masyarakat Daerah Rentan Air Minum dan Sanitasi terkait Dampak Perubahan Iklim. Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman. Yogyakarta


Cepat Merespons Pandemi, Platform Manajemen Kota Perlu Disiapkan untuk Hadapi Situasi Disrupsi

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...