Selasa, 24 Februari 2015

SOFTWARE PENGUKURAN TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM BIDANG PERMUKIMAN

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Buku Modul
Versi lengkap dapat menghubungi alamat yang tertera pada laman website


Peneliti: Dessy F, Yudha PH, Nur Alvira, Dwi Herniti


KATA PENGANTAR


Pada tahun anggaran 2013 Balai Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Permukiman melaksanakan kegiatan merumuskan model pengukuran kerentanan masyarakat terkait dampak perubahan iklim di daerah rentan air minum dan sanitasi. Hasil kegiatan tersebut adalah menghasilkan rumusan penghitungan tingkat kerentanan masyarakat menghadapi perubahan iklim. Guna mempermudah dalam proses pengukuran maka di buat suatu Sofware. Panduan ini disusun untuk memberikan arahan kepada pengguna (instansi di tingkat pusat maupun daerah) mengenai bagaimana cara menggunakan software ini.

BAB I PENDAHULUAN


1.1.      Latar Belakang

Perubahan iklim menurut DNPI dalam Final Report 2010, sudah terjadi dan ditandai dengan cuaca ekstrim, meningkatnya permukaan air laut dan suhu udara, pergeseran musim dan perubahan intensitas curah hujan. Perubahan iklim terjadi secara global dan menimbulkan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung.Dampak perubahan iklim terhadap kemampuan siklus hidrologi suatu wilayah, akan menentukan ketersediaan air untuk berbagai kebutuhan manusia. Perubahan ini dapat mengakibatkan dua keadaan ekstrem yaitu peningkatan kondisi kekeringan yang mengurangi ketersediaan air tanah secara alami, dan juga terjadinya intensitas hujan yang tinggi. Perubahan iklim berpengaruh pada kehidupan manusia, khususnya pada masyarakat kurang mampu yang penghidupannya tergantung pada sumber daya alam.
Besarnya dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim membutuhkan langkah antisipatif yang efektif melalui upaya adaptasi. Upaya ini dilakukan guna mengurangi dampak  dan beradaptasi terhadap perubahan iklim di lingkungan dan di masyarakat. Upaya tersebut diimplementasikan dalam pengarusutamaan strategi adaptasi ke dalam kebijakan tiap sektor di tingkat pusat dan daerah, melalui program dan kegiatan yang tanggap terhadap perubahan iklim.
Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC, 2001), merumuskan kerentanan terhadap perubahan iklim di pengaruhi oleh 3 faktor yaitu: paparan, kapasitas adaptasi dan sensitivitas. Mengacu dari hal tersebut, Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Permukiman, Puslitbang Sosekling, Balitbang, Kementerian PU, menyusun konsep pedoman tingkat kerentanan masyarakat menghadapi perubahan iklim dalam bidang permukiman. Untuk mempermudah proses pengukuran, maka tim peneliti membuat  software pengukuran tingkat kerentanan.

1.2.      Manfaat

Mengukur tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim bidang permukiman.

BAB II PANDUAN PENGGUNAAN APLIKASI


Pada BAB II ini akan di jelaskan tentang cara penggunaan/pengoperasian instrumen Pengukuran tingkat kerentanan masyarakat menghadapi perubahan iklimterbagi atas 2 (dua) pengguna utama yaitu :
1.    Responden (Individu/Keluarga Masyarat, Tokoh Masyarakat, yaitu : pengguna yang akan mengisi data kuisioner yang akan dipandu oleh petugas lapangan.
2.    Administrator, yaitu petugas yang bertanggung jawab dalam melakukan pengolahan dan penyajian data.

2.1.      Cara Pengoperasian Aplikasi

Tahapan awal dalam mengoperasikan aplikasi ini adalah dengan menjalankan file usbwebserver.exe, sesaat kemudian akan muncul tampilan gambar 1.



2.3.1.     Laporan

Menu Laporan merupakan menu pilihan yang digunakan untuk hasil dari Indeks Kapasitas Adaptasi Masyarakat  Daerah Rentan Air Minum terkait Dampak Perubahan Iklim. Seperti contoh tampilan gambar 21.

INSTRUMEN PERHITUNGAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN AKIBAT KONVERSI LAHAN

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

buku modul
versi lengkap dapat menghubungi alamat yang tertera pada website

Tim Peneliti
Yudha Pracastino Heston
Dimas Hastama Nugraha
Iwan Suharyanto
Monica Sindy Heryuka
Pinjung Nawangsari
Okqianto Johar K
Triana
Saeful Bahri
Antin Juliati
Maryadi




2014


©  Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Permukiman
Puslitbang Sosekling

Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum


1.  Latar Belakang Penelitian
P
roporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% yang diamanatkan undang-undang merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan fakta sebaliknya, keberadaan RTH jauh dari proporsi ideal, kekuatan pasar yang dominan merubah fungsi lahan sehingga keberadaan RTH semakin terpinggirkan bahkan diabaikan fungsi dan manfaatnya. Siahaan (2010) menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya penurunan kuantitas ruang publik, terutama RTH pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970-an menjadi 10% pada saat ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa ruang terbuka hijau yang ada sebagian besar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan dan kawasan permukiman baru.
Kebijakan tata ruang yang diharapkan dapat mengakomodasi seakan tidak berdaya menahan mekanisme pasar. Hal ini dibuktikan dengan arus urbanisasi yang cepat mengakibatkan terjadinya densifikasi penduduk dan permukiman yang cepat dan tidak terkendali di bagian kota. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan ruang meningkat untuk mengakomodasi kepentingannya. Semakin meningkatnya permintaan akan ruang khususnya untuk permukiman dan lahan terbangun berdampak kepada semakin merosotnya kualitas lingkungan. Rencana Tata Ruang yang telah dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di perkotaan sehingga keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) semakin terancam dan kota semakin tidak nyaman untuk beraktivitas(Dwihadmojo,2011). Kebutuhan akan lahan yang terus meningkat menjadikan ruang terbuka hijau menjadi sasaran luberan pembangunan fisik kota. Dapat juga dikatakan bahwa tidak jarang RTH dianggap sebagai lahan kurang produktif sehingga diubah menjadi bangunan komersil lainnya.
Penelitian ini akan membuat suatu alat untuk mengukur dampak SOSEKLING (Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan) yang muncul dari adanya pembangunan RTH maupun pengurangan luas RTH (konversi). Alat ini diharapkan menjadi simulator sederhana sehingga memungkinkan selalu digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan dalam pembangunan sarana perkotaan. Ketersediaan instrumen yang sederhana ini diharapkan dapat membantu Ditjen Penataan Ruang dan Pemerintah Kota/ Kabupaten/ Provinsi dalam menghitung besaran nilai sosial ekonomi dan lingkungan akibat konversi lahan di perkotaan terkait keberadaan RTH untuk mewujudkan kota layak huni. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Malang (Jawa Timur), Kota Surabaya (Jawa Timur), dan Kota Yogyakarta (DIY).
2. Tinjauan Pustaka: Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dari Keberadaan Ruang Terbuka Hijau
K
eberadaan RTH di suatu kawasan perkotaan yang ada akan menghasilkan berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Regional Public Health Information Paper March 2010 menyebutkan aspek social yang muncul dari adanya RTH antara lain:
1.    .places for people to meet and interact, thus increasing social cohesion and social inclusion.
2.      education and lifelong learning.
3.      Well- designed spaces can pro mote a sense of place and be a source of community pride, helping to reduce crime and the fear of crime.
4.      physical activity : active and healthy lifestyles.
Hellen (2003) menjelaskan bahwa manfaat dan peluang akan adanya ruang terbuka dapat digunakan seseorang secara harian, mingguan atau tahunan sesuai karakter RTH tersebut. Berikut beberapa jenis aktivitas sosial yang dapat muncul:
1.    Children’s Play
2.    Passive Recreation
3.    Active Recreation
4.    Community focus
5.    Cultural focus
6.    Open spaces as educational resources
Selain itu, Cattel (2006) menyebutkan pula adanya beberapa jenis kelompok aktivitas yang terjadi pada ruang terbuka yaitu:
1.    Casual social encounters in public space:
2.    Organised activity in public space
3.    Spaces of no encounter

Berdasarkan beberapa pemahaman di atas, dalam penelitian ini dirumuskan 3 hal utama yang mewakili aspek sosial dalam penggunaan ruang yaitu:Jenis Aktivitas, Pelaku Aktivitas, Skala Aktivitas
Angka Penyalahgunaan, dan Kesehatan

Manfaat ekonomi dari RTH dibahas di dalam Literature review oleh Deakin University yang menyimpukan bahwa:
1.    Taman dapat juga menjadi wisara alam yang memberikan kontribusi secara signifikan pada pendapatan regional.
2.    Taman juga dapat membuka peluang pekerjaan
3.    Penghijauan kota- kota yang ada dapat mendorong adanya investasi bisnis baru dan wisatawan
4.    Elemen alam melalui RTH dapat meningkatkan nilai harga real estate disekitarnya
Di samping itu, adanya green space dapat mendorong kegiatan urban agriculture yang dapat meningkatkan local food production and supply. Terdapat 3 hal keuntungan yang didapatkan dari adanya RTH berdasarkan aspek ekonomi (Hellen,2003):
1.    The impact on property values
Nilai tanah atau properti berdekatan dengan taman (RTH) lebih tinggi daripada tanah atau properti yang letaknya jauh dari taman (RTH)
2.    Employment opportunities
Adanya tenaga kerja sebagai Gardeners dan park rangers
3.    Crop production
Membuka peluang adanya food production di tengah kota sehingga dapat berkontribusi dalam local food production.

Mather (1986) menyatakan bahwa secara sederhana konsep nilai ekonomi lahan mengacu pada nilai bersih dari return yang diperoleh dari penggunaan lahan pada suatu periode waktu. Hal ini setara dengan pendapatan bersih yang merupakan sisa dari pendapatan kotor (gross income) dikurangi biaya produksi. Pendapatan kotor tergantung pada volume produksi dan harga per unit produk. Menurut Barlowe (1986) nilai ekonomi lahan dipengaruhi oleh kelas lahan (grade of  land). Nilai ekonomi lahan dari setiap kelas lahan tergantung pada hubungan antara harga dan biaya. Dengan semakin tinggi harga atau semakin rendah biaya, nilai ekonomi lahan meningkat.
Pada beberapa kurun dasawarsa terakhir, meningkatnya permintaan lahan untuk tempat pemukiman, industri wisata, dan di perkotaan mengakibatkan perubahan cepat terhadap ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau berangsur-angsur menjadi pemukiman, industri atau usaha lain yang berorientasi komersil. Dalam hal ini konversi terjadi karena perbedaan nilai ekonomi lahan, yang mengakibatkan sulit dicegahnya para pemilik lahan untuk mengkonversi lahanya ke penggunaan lain.
TEV (Total Economic Value) diidefinisikan merupakan  penjumlahan  dari  nilai  ekonomi berbasis pemanfaatan atau penggunaan (use value) dan nilai ekonomi berbasis bukan pemanfaatan atau penggunaan (nonuse value). Use Value (UV) terdiri dari nilai-nilai penggunaan langgsung (Direct Use Value/DUV), nilai-nilai penggunaan tidak  langsung direct Use Value/IUV), dan nilai pilihan (optionValue/OV). Untuk penelitian ini, nilai ekonomi yang digunakan untuk menjelaskan dampak ekonomi RTH adalah Nilai Guna (Use Value)  dengan rincian sebagai berikut :
a.  Nilai guna langsung (direct use) merupakan nilai yang diperoleh individu dari pemanfaatan langsung sumberdaya alam tempat individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan.
b.Nilai guna tidak langsung (indirect use) merupakan nilai yang didapat atau dirasakan secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan.

Banyak ahli ekologi menyatakan nilai ekonomi total belum mencakup semua nilai ekonomi karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya lebih besar dari nilai fungsi secara tunggal.
Sehubungan dengan lingkungan, RTH masih memiliki fungsi yang beragam diantaranya adalah sebagai berikut (Joga, 2011):
*      Konservasi Tanah dan Air
*      Ameliorasi Iklim
*      Pengendali Pencemaran
*      Habitat Satwa dan Konservasi Plasma Nutfah
*      Sarana Kesehatan dan Olah Raga
*      Saran Rekreasi dan Wisata
*      Sarana Pendidikan dan Penyuluhan
*      Area Evakuasi Bencana
*      Pengendali Tata Ruang Kota
*      Estetika

Dari beberapa fungsi tersebut, dapat dikelompoknya menjadi 3 fungsi besar yaitu:
1. Fungsi Lansekap
2. Fungsi Pelestarian Lingkungan
3. Fungsi Estetika

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, penelitian ini menyimpulkan bahwa dampak lingkungan terhadap adanya suatu fungsi ruang dapat ditunjukkan oleh 3 hal utama yaitu:Kualitas Air Perkotaan, Kualitas Udara Perkotaan, dan Indeks Keanekaragaman Hayati

Instrumen Dampak Sosial
Interface untuk dampak social adalah sebagai berikut:
<>
NO
INDIKATOR
<>
HASIL STATISTIK
% INDEKS
PARAMETER
1
Jenis Aktivitas
Nilai tertinggi frekuensi responden tertinggi pada masing-masing indikator per kota (min 30 dan maksimal ~ )
(X statistik/Total Jumlah Responden per Kota)*100%
0-34% =      Rendah
35%-66% = Sedang
67%-100%=  Tinggi
2
Pelaku aktivitas
<>
<>
<>
3
Angka Penyalahgunaan
<>
<>
<>
4
Tingkat Keamanan
<>
<>
<>
5
Tingkat Kenyamanan
<>
<>
<>
6
Tingkat Kesenangan
<>
<>
<>
7
Aktivitas Olahraga
<>
<>
<>
8
Pengaruh Psikologis
<>
<>
<>
INDEKS DAMPAK SOSIAL
<>
<>
<>


<>
No
Nilai Ekonomi
Variabel
(tuliskan nama kota anda)
Tahun Sebelum
Tahun Sesudah
1
Nilai Guna Langsung
Nilai Penyerapan Tenaga Kerja Pengelola RTH
<>
<>
2
Nila Guna Tidak Langsung
Nilai Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Informal
<>
<>
Nilai Jual Tanah
<>
<>
Total Economic Value (Rp/th)
<>
<>
selisih per tahun
<>
% TEV
<< selisih per tahun/ tahun sebelum>>


PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTIF MASYARAKAT (DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA (TTG) BIDANG PERMUKIMAN PASCA BENCANA GUNUNG BERAPI)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
buku modul.
versi lengkap dapat menghubungi alamat yang tertera pada web ini.

TIM PENELITI

DIMAS HASTAMA NUGRAHA
YUDHA PRACASTINO HESTON
ANNISA INDAH MASITHA
AHMAD YUSUF ALJUNAID
DWI ARDIANTA



© Balai Litbang Sosekling Bid. Permukiman, Puslitbang Sosekling, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum, 2012

BAB I

PENDAHULUAN

Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Lingkungan permukiman yang hancur dan porak-poranda akibat bencana alam menjadi tempat tinggal yang tidak kalah bahayanya dengan sumber bencana itu sendiri. Beberapa contoh seperti tercemarnya sumber air, sampah yang menumpuk menjadi tempat hidup berbagai vektor penyakit, dan genangan air yang menjadi tempat hidup nyamuk.
Indonesia termasuk dalam daerah yang dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (Ring of Fire) yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik. Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi di dunia dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang Cincin Api ini. Daerah gempa berikutnya (5 – 6% dari seluruh gempa dan 17% dari gempa terbesar) adalah sabuk Alpide yang membentang dari Jawa ke Sumatra, Himalaya, Mediterania hingga ke Atlantika. Gambar Ring of Fire terdapat pada Gambar 1.1

Gambar 1. 1   Ring of Fire
129 gunung api aktif di Indonesia, Merapi termasuk yang paling terkenal, Konsekeunsi dari adanya Ring of Fire, Indonesia rentan terhadap beragam bencana seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, badai dan angin topan, wabah penyakit, kekeringan dan gunung api. Bencana muncul ketika ancaman alam (seperti gunung api) bertemu dengan masyarakat yang rentan (perkampungan di lereng gunung api) yang mempunyai kemampuan rendah atau tidak mempunyai kemampuan untuk menanggapi ancaman itu (tidak ada pelatihan atau pemahaman tentang gunung api atau tidak siap siaga). Dampak yang muncul adalah terganggunya kehidupan masyarakat seperti hancurnya lingkungan permukiman, kerusakan harta benda serta korban jiwa.
Pada penghujung tahun 2010, Gunung Merapi yang merupakan salah satu gunung teraktif di dunia meletus dengan dahsyat. Diantara diantaranya karena aktivitas vulkaniknya yang tinggi, serta letaknya di bagian tengah pulau Jawa di jantung budaya Jawa yang kental aspek kultural, mitologi dan sosial politik. Dengan sifatnya yang sering erupsi (meletus), secara vulkanologis Gunung Merapi menguntungkan untuk menjadi laboratorium alam dalam rangka melakukan ujicoba berbagai peralatan dan metodologi penelitian.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, penduduk yang bermukim di lereng Merapi cukup padat menyebabkan tingkat ancaman bahaya Merapi menjadi tinggi. Merapi adalah fenomena alam yang mampu memberikan sumber kehidupan yang baik dari kesuburan tanahnya dan kenyamanan untuk bertempat tinggal di sana. Lingkungan gunungapi akan membentuk pola masyarakat yang khas. Masyarakat di lereng Merapi berdasarkan tinjauan sosiologis relatif homogen dari segi etnisitas dan agama, sebagian besar masih menjalankan tradisi Jawa, berbahasa jawa, hidup komunal dan mempunyai sifat kekeluargaan gotong royong, mayoritas mata pencaharian agraris, sebagian kecil bergerak di bidang pertambangan, kepariwisataan dan pegawai negeri (BPPTK, 2010).
Ketika terjadi erupsi pada bulan November 2010, dampak primer yang terjadi sangat besar seperti gas beracun, awan panas, lahar, dan berbagai material yang dimuntahkan. Kesemua dampak primer tersebut langsung menerjang wilayah permukiman warga sehingga mengakibatkan korban jiwa, harta benda, lingkungan permukiman, kebun-kebun, dan lain-lain. Pada saat itu, proses evakuasi dan tanggap darurat dilakukan oleh masyarakat dibantu oleh para relawan, komponen pemerintah dari tingkat terkecil RT/RW, kelurahan, kecamatan, hingga pemerintah pusat.
Di tempat lain di Pulau Jawa, ada Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Aktivitas Gunung Semeru akhir- akhir ini juga menampakkan aktivitas yang fluktuatif. Pada tahun 2010 yang lalu, Gunung Semeru yang terletak di Kabupaten Lumajang juga meletus. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa dan kerusakan seperti Merapi, tetapi letusannya juga menyebabkan penduduk sekitar lereng meninggalkan rumah mereka masing- masing.
Baik dari Gunung Merapi maupun Semeru, untuk mengembalikan lagi kondisi masyarakat di lerang merapi, maka telah dan akan dilakukan berbagai upaya-upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada tahap ini, teknologi tepat guna permukiman sangat dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan fisik penduduk. Selain teknologi, sebagai pendukung, dari kebijakan eksisting yang ada, Pemerintah Provinsi DIY sendiri sudah menyiapkan rancangan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang penanganan daerah lokasi pasca bencana Gunung Merapi. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Lumajang sudah memberikan rencana kontigensi terkait dengan kerusakan akibat bencana Gunung Semeru.
Dalam konteks teknologi tersebut, diperlukan upaya-upaya yang jitu agar penerapan berbagai teknologi tersebut dapat memberikan manfaat yang signifikan kepada masyarakat korban bencana. Diharapkan dengan adanya penerapan teknologi bidang permukiman, secara sosial, ekonomi dan lingkungan akan memulihkan kehidupan masyarakat baik secara sosial, ekonomi dan lingkungan secara berkelanjutan.
Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Dengan demikian definisi adaptasi selalu berkaitan erat dengan pengukuran, dimana tingkat keberhasilan suatu organisme dapat bertahan hidup. Sejauh mana, dapat dikenali bahwa adaptasi dapat dikatakan berhasil atau tidak. Adaptasi adalah salah satu tahap dalam proses relokasi penduduk pasca bencana dimana tahap sebelumnya adalah persiapan dan sesudahnya adalah pemberdayaan. Kemampuan adaptasi terhadap penerapan TTG pasca bencana bermanfaat untuk tetap eksis dalam berbagai perubahan kondisi yang terjadi karena adanya bencana. Dengan adanya strategi adaptasi dapat memberi manfaat. Manfaat yang diperoleh dari adaptasi melalui TTG ini adalah peningkatan kapasitas adaptif yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas masyarakat yang sebelumnya bergantung dan fatalisme menjadi masyarakat yang mandiri dan inovatif (Usman, 2011).

1.2.    Rumusan Masalah DAN TUJUAN Penelitian
Merujuk pada latar belakang, maka pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah apa model peningkatan kapasitas adaptif masyarakat dalam penerapan TTG Bidang permukiman pasca bencana gunung berapi mendukung relokasi penduduk?

Tujuan penelitian adalah menyusun model peningkatan kapasitas adaptif masyarakat dalam Penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) Bidang Permukiman Pasca Bencana Gunung Berapi yang termasuk didalamnya penyusunan instrumen pemetaan dasar dan evaluasi hasil peningkatan kapasitas adaptasi




BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.   KONSEP ADAPTIVE CAPACITY
Smith and Wandel (2006) menyatakan bahwa adaptasi dalam konteks perubahan global biasanya mengacu pada suatu proses, tindakan atau hasil dalam suatu sistem (rumah tangga, komunitas, kelompok, sektor, wilayah, negara) agar sistem tersebut dapat mengatasi, mengelola atau hanya menyesuaikan diri dengan lebih baik terhadap perubahan, tekanan, bahaya, risiko atau peluang. Berbagai literatur tentang adaptasi sebagian besar membahas mengenai perubahan iklim sebagai tema umum. Brooks (2003, hal. 8), menjelaskan adaptasi sebagai “penyesuaian dalam perilaku sistem dan karakteristik yang dapat meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi tekanan (stress) eksternal”. Smit dkk (2000, hal. 225), menyampaikan dalam konteks perubahan iklim, adaptasi dilihat sebagai ''penyesuaian dalam sistem ekologi-sosial-ekonomi dalam menanggapi rangsangan iklim aktual atau yang diharapkan, termasuk efek atau dampaknya''. Pielke (1998, hal. 159), juga dalam konteks iklim, mendefinisikan adaptasi sebagai ''penyesuaian dalam kelompok-kelompok individu dan perilaku kelembagaan untuk mengurangi kerentanan masyarakat terhadap iklim''. Berdasarkan waktu, adaptasi dapat diantisipasi atau reaktif, dan tergantung pada derajat spontanitas, dapat secara mandiri atau dapat juga direncanakan (Fankhauser et al, 1999; Smit et al, 2000).
Konsep adaptasi, kapasitas adaptasi, kerentanan, ketahanan, besaran dampak, dan sensitivitas adalah hal-hal yang saling terkait dan dikaji secara luas dalam bidang ilmu perubahan global. Analisis dapat dilakukan pada level individu atau rumah tangga terhadap dampak tertentu seperti kekeringan, level masyarakat terhadap beberapa tekanan, serta manusia secara umum (atau ekosistem global) terhadap semua tekanan dan ancaman. Penerapannya juga bervariasi tergantung fenomena kepentingan (biologi, ekonomi, sosial, dan lain-lain), dan dengan skala waktu (seketika, bulanan, tahunan, dekade, abad). Berbagai kajian sudah dilakukan terkait dengan kerentanan dan adaptasi dari sistem fisik atau biologi, misalnya ketahanan ekosistem dan sistem ekologi sosial ditinjau oleh Folke (2006).
Aspek-aspek adaptive capacity dapat mencakup 4 bidang utama, yaitu [1]:
a.       faktor yang berpengaruh dalam kapasitas adaptif dan interaksinya,
b.       skala spasial dan temporal yang relevan dengan kapasitas adaptif,
c.       kaitan antara kapasitas adaptif, kerentanan (vulnerability) dan penanganannya,
d.       hubungan teoritis antara adaptasi dan keberlanjutan.
Secara skematis, aspek-aspek penting terkait kapasitas adaptif disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 2. 1   Aspek Penting terkait Adaptive Capacity

2.2.   Peningkatan ADAPTIVE CAPACITY
Pemahaman yang baik mengenai aspek-aspek penting kapasitas adaptif akan memungkinkan disusun berbagai variasi adaptasi (proses, bentuk dan strategi) dan membantu membangun jalur adaptasi (adaptation pathways) sebagai upaya peningkatan kapasitas adaptasi.
Berbagai kajian memperlihatkan inisiatif praktis yang secara kongkrit dapat mengatasi dan meningkatkan kapasitas adaptasi sosial, sehingga mengurangi kerentanan, diharapkan dapat terjadi pada tingkat komunitas (Kates, 2000; Kelly dan Adger, 2000; Ford dan Smit, 2004). Ada banyak contoh inisiatif internasional dan nasional yang memiliki potensi untuk berkontribusi untuk pengurangan kerentanan pada tingkat individu yang efeknya dapat dilihat pada tingkat masyarakat. Misalnya, Rencana Aksi Adaptasi Nasional (National Adaptation Plans of Action  - NAPAs), jika diterapkan secara efektif, harus menghasilkan hasil yang nyata dalam komunitas. Komunitas didefinisikan sebagai agregasi rumah tangga, yang saling berhubungan, dan dengan batas spasial yang terbatas, menurut Coombes dkk. (1988) disebut “lokalitas'.
Jalur adaptasi yang dilakukan merupakan bagian dari jalur pembangunan berkelanjutan, yang terdiri dari aspek proses, bentuk, serta strategi yang diambil, sebagaimana secara skematis disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 2. 2   Jalur Adaptasi
Analisis spesifik dari kapasitas adaptif dapat mengaktifkan antara lain pengetahuan yang spesifik dan konkrit mengenai ketiga aspek tersebut. Lebih jauh, pandangan ini memungkinkan mengkarakterisasi, dengan sistem yang ada, jalur adaptasi dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi.



[1] For a better understanding of adaptive capacity to climate change: a research framework, Alexandre Magnan (IDDRI-Sciences Po), N°02/10 May 2010


BAB V

KESIMPULAN
·         Model peningkatan kapasitas adaptif terdiri atas empat tahapan yang mencakup penilaian, pemetaan kapasitas adaptif, pemilihan strategi, dan rencana tindak lanjut (model AMSA)
·         Untuk melakukan penilaian, maka digunakan indikator penilaian kapasitas adaptif masyarakat,
·         Untuk melakukan pemetaan kapasitas adaptif dapat dilakukan dengan metode jaring laba-laba
·         Untuk melakukan pemilihan strategi digunakan model strategi peningkatan kapasitas adaptif masyarakat berdasarkan indikator tinggi, sedang, rendah.
·         Untuk menentukan rencana tindak lanjut dapat dilakukan dengan alat matriks rencana tindak per lokasi studi dan jenis TTG.
REKOMENDASI
·         Perlu diuji untuk skala yang lebih luas, untuk memvalidasi dan men-generalisasi model terutama terkait keterwakilan populasi yang diteliti.
·         Mengambil data pada proyek-proyek yang daur siklus proyek (SIDLACOM: Survey,Investigation,Land Acquisition,Contruction,Operation and Maintenance) telah selesai.
·         Obyek penelitian sebaiknya ada yang populasinya sama (within), dan populasi yang tidak sama (between) sehingga bisa dilakukan triangulasi.
·         Aspek lokasi perlu diperhatikan kembali terkait dengan teknologi tepat guna yang diterapkan
·         Agar lebih mengenali karakteristik teknologi tepat guna yang diteliti
·         Agar penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Sosekling terintegrasi dengan penelitian puslitbang teknis lainnya sebaiknya dilakukan kerjasama penelitian dengan melibatkan tenaga puslitbang teknis lainnya kedalam tim penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Adger, W Neil; Nick Brooks, Graham Bentham, Maureen Agnew and Siri Eriksen, January 2004,  New Indicators Of Vulnerability And Adaptive Capacity, Tyndall Centre for Climate Change Research
Folke, C., 2006. Resilience: the emergence of a perspective for social–ecological systems analyses. Global Environmental Change 16 (3), 253–267
http://www.csiro.au/org/ClimateAdaptationFlagship.html
Klein, Richard J.T, 13–14 March 2002, Climate Change, Adaptive Capacity and Sustainable Development, OECD Informal Expert Meeting on Development and Climate Change, Paris, France
Magnan, Alexandre,  May 2010, For a better understanding of adaptive capacity to climate change: a research framework, IDDRI-Sciences Po, N°02/10 May 2010
Nielsen, Debbie, March 2007 The City Of Iqaluit’s Climate Change Impacts, Infrastructure Risks & Adaptive Capacity Project
Preston, B.L. and Stafford-Smith, M. (2009). Framing Vulnerability And Adaptive Capacity Assessment: Discussion paper. CSIRO Climate Adaptation Flagship Working paper No. 2.
Sarket, Ashish, Monirul Mirza and William Gough, Adaptive Capacity of a Flood Vulnerable Community in Rural Bangladesh-A Case Study of the Kaliganga River Basin, Environment Canada
Smit, Barry Smit and Johanna Wandel, 2006, Adaptation, Adaptive Capacity And Vulnerability, Global Environmental Change 16 (2006) 282–292, Department of Geography, University of Guelph, Guelph, Ont., Canada N1G 2W1
Sutomo, Heru, Sulistiono, Amiruddin Lutfi, 2011, Kajian Aksesibilitas Tanggap Darurat Pada Bencana Letusan Gunung Merapi, Hibah Bersaing Penelitian Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Usman, Sunyoto, Mark Brussel, Juhri Iwan Agriawan, 2011, Pengembangan Infrastruktur Hunian Sementara Bagi Korban Bencana Letusan Gunung Merapi, Hibah Bersaing Penelitian Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
W. Neil Adger, Katharine Vincent, 2004, Uncertainty In Adaptive Capacity,Tyndall Centre for Climate Change Research, School of Environmental Sciences, University of East Anglia, Norwich, UK

Cepat Merespons Pandemi, Platform Manajemen Kota Perlu Disiapkan untuk Hadapi Situasi Disrupsi

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...