Rabu, 10 Mei 2017

Pesanggrahan Ambarukmo, Mengingat yang Terlupakan


telah dipresentasikan pada seminar heritage IPLBI 2017 di kota cirebon

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yudha Pracastino Heston(1), Rr. Dyah Kartika(2)
yudha.ph@pu.go.id
(1)Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman, Balitbang, Kementerian PUPR
(2) Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman, Balitbang, Kementerian PUPR

Abstrak

Bangunan bersejarah menjadi sangat penting bagi kelanjutan hidup generasi mendatang. Namun fenomena yang terjadi saat ini banyak terjadi perusakan terhadap bangunan bersejarah demi kepentingan ekonomi. Sebagai contoh Pesanggrahan Ambarukmo yang telah dipugar sebagian bangunannya untuk dijadikan Mall Ambarukmo Plaza dan Hotel Ambarukmo. Fungsi bangunan bersejarah yang melekat pada Pesanggrahan Ambarukmo perlahan mulai memudar jika dilihat dari aspek radius keunikan, eksistensi spasial dan ketahanan spasialnya, kemudian berganti dengan fungsi komersial yang bersifat modern kapitalistik. Oleh sebab itu diperlukan solusi proyeksi pengembangan ruang yang relevan sebagai bentuk pelestarian bangunan bersejarah yang berkelanjutan.

Kata-kunci :
Cagar Budaya, Pesanggrahan, Ambarukmo, keunikan, spasial




I.      Pendahuluan
Sebuah kota sarat akan sejarah dan budaya/adat istiadat. Berbagai bangunan bersejarah menjadi sangat penting bagi kelanjutan hidup generasi mendatang. Fenomena yang terjadi akibat pembangunan fisik kota secara terus menerus adalah melupakan bangunan atau kawasan cagar budaya. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 pasal 12 ayat 1, dijelaskan bahwa bangunan/kawasan cagar budaya memiliki fungsi sosial yang artinya bangunan/kawasan cagar budaya tidak hanya dimiliki oleh seseorang pemanfaatannya dan tidak hanya berfungsi untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan umum, misalnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, pariwisata, agama, sejarah dan kebudayaan.
Fenomena migrasi yang terjadi di perkotaan menyebabkan berkurangnya luas lahan dikarenakan pebangunan fisik secara terus menerus oleh pemerintah maupun pihak swasta. Pembangunan fisik yang terus menerus berlangsung seringkali menjadi penyebab kerusakan, hilangnya dan hancurnya data arkeologi yang diperlukan untuk dapat memahami masyarakat dan kebudayaan masa lalu (Mundardjito, 1995 dalam Lolita, 2012).
Kebutuhan penduduk kota akan ruang berpotensi mengancam keberadaan cagar budaya. Perubahan zaman yang begitu cepat, menjadikan para pengembang cenderung memilih bangunan cagar budaya sebagai media/wadah untuk investasi jangka panjang dikarenakan bangunan cagar budaya memiliki keunikan tersendiri sehingga mampu menarik konsumen. Namun didalam pemanfataatannya, seringkali terjadi perusakan-perusakan pada sebuah cagar budaya. Perombakan terhadap bangunan/kawasan asli cagar budaya menjadi tidak disertai dengan kajian lingkungan yang berdampak pada kerugian bagi kawasan hinterlandnya.
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota yang hidup dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Dari sisi kependudukan, kota Yogyakarta mengalami pertambahan penduduk yang signifikan setiap tahunnya. Pertambahan jumlah penduduk membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti: pertambahan sarana-prasarana, dan penambahan limbah. Disamping itu, perkembangan zaman juga membawa implikasi lain seperti: perubahan jenis kendaraan, pergeseran tradisi, perkembangan kebutuhan penduduk kota. Hal-hal tersebut diatas memicu terjadinya ancaman-ancaman, perusakan-perusakan baik disengaja maupun karena ketidaktahuan. Tentu saja harus difahami pula bahwa banyak bangunan lama di Kota Yogyakarta yang sudah mengalami kerusakan karena faktor umur. Hal ini juga mengakibatkan kerusakan, atau keinginan untuk “merusak” (Adrisijanti, 2007).
Bagian terpenting adalah apabila terjadi perusakan yang menyebabkan hilangnya cagar budaya, maka akan hilang pula nilai-nilai penting bersejarah untuk kehidupan dimasa depan. Hilangnya cagar budaya tidak akan pernah dapat tergantian meskipun telah dilakukan pembangunan ulang. Sebagai contoh Pesanggrahan Ambarukmo di Yogyakarta yang telah dipugar pada sisi barat dan timurnya untuk pembangunan Mall Ambarukmo Plaza dan Hotel Ambarukmo. Seketika orientasi wisata masyarakat beralih pada wisata belanja dan mulai melupakan nilai budaya yang terdapat disekitarnya.
            Seringkali dan hampir dapat dipastikan pengelolaan dan perubahan tata ruang menjadikan faktor ekonomi sebagai pertimbangan utama.Hal ini semakin nyata ketika otonomi daerah diterapkan di Indonesia. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan ruang seharusnya mengacu pada (Sudaryono, 2006) pertama radius keunikan, yaitu rasa meruang terpengaruh dari eksistensi keunikan, di mana perubahan ruang pada radius ini akan mempengaruhi nilai ruang. Berikutnya terkait dengan eksistensi spasial, yaitu peran unit keunikan ruang terhadap eksistensi ruang lain dan kapasitasnya untuk menarik perhatian, yang dibangun dari sistem ruang, aktifitas dan nilai. Yang terakhir terkait dengan ketahanan spasial, yaitu komitmen dari pemilik ruang untuk melestarikan nilai ruang ke generasi berikutnya secara baik.
II.    Telaah Konseptual : Radius Keunikan, Eksistensi Spasial, dan Ketahanan Spasial

a.      Radius Keunikan
Sudaryono (2006) menjelaskan radius keunikan merupakan suatu konsep yang menggambarkan hubungan skala vertikal dan horisontal dari suatu eksistensi ruang. konsep ini menekankan radius rasa ruang dari suatu pengaruh eksistensi keunikan. Artinya, apabila ada suatu intervensi atau perubahan tata ruang terjadi ada radius ini, maka nilai ruang dari keunikan tersebut akan terusik bahkan tereduksi.

b.      Eksistensi Spasial
Eksistensi spasial berkaitan erat dengan peran dan posisi unit keunikan ruang terhadap eksistensi-eksistensi ruang yang lain dan juga menyangkut kapasitasnya memanggil perhatian dan diperhatikan oleh masyarakat luas. Kapasitas memanggil dapat terbangun karena adanya keternamanan yang kental dan rapat antara segitiga : ruang, aktifitas dan sistem nilai. Ketiga unsur tersebut saling mengait dan tidak dapat dipisahkan satu terhadap yang lain (Sudaryono, 2006).

c.      Ketahanan Spasial
Menurut Sudaryono (2006), Ketahanan spasial menyangkut kepedulian dari pihak penguasa atas keunikan spasial yang dimiliki oleh suatu unit ruang (kawasan), melalui tindakan-tindakan perlindungan dan pengendalian pembangunan yang ketat (development control). Dengan kata lain, ketahanan spasial, merupakan perpaduan antara kekuatan yang terbangun secara internal oleh masyarakat lokal atas ruang hidup dan kehidupannya dengan perlindungan yang diberikan oleh pemegang otoritas formal.


III.  Keberadaan Bangunan Heritage di Yogyakarta

1.      Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta berdiri setelah munculnya perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 antara Sri Sunan Paku buwana III dari Keraton Surakarta dengan Pangeran Mangkubumi atau sering disebut dengan Sri Sunan Kebanaran dari Keraton Ambar Ketawang. Setelah perjanjian tersebut dikeluarkan, Sultan hamengku Buwana I (1755-1792) membangun keraton berupa pesanggrahan di Gamping.Kemudian kurang kebih satu tahun setelah pendirian pesanggrahan tersebut, Sultan mendirikan keraton baru bernama Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Keraton Yogyakarta).Keraton Yogyakarta memiliki nilai intrinsik cagar budaya yang sangat tinggi. Didalamnya terkandung nilai-nilai sejarah, ilmu pengetahuan, agama dan kebudayaan. Keraton yogyakarta memiliki potensi pariwisata kebudayaan yang besar. Namun pesatnya pembangunan fisik disekitar area keraton menjadikan keraton Yogyakarta tenggelam oleh gedung-gedung pencakar langit.Berkembangnya teknologi dan ekonomi menjadi daya saing bagi keberadaan cagar budaya.Dampak yang ditimbulkan adalah hilangnya minat masyarakat untuk berkunjung ke cagar budaya. Namun keraton Yogyakarta tetap berusaha untuk menjaga eksistensinya disela-sela globalisasi yang mulai merubah nilai kebudayaan di kota Yogyakarta.

2.      Kawasan Malioboro
Kawasan Malioboro saat ini merupakan salah satu kawasan cagar budaya di kota Yogyakarta yang pertama kali dimanfaatkan sebagai kawasan wisata belanja (perdagangan) dan jasa. Kawasan maliobro berubah menjadi kawasan pusat ekonomi dan wisata di Yogyakarta ini dimulai pada tahun 1945. Perubahan-perubahan yang terjadi seperti pemasangan papan petunjuk dengan ukuran besar, renovasi dan pembongkaran bangunan dimulai pada tahun 1998. Sebagai salah satu cagar budaya di Yogyakarta, kawasan malioboro memiliki nilai intrinsik berupa nilai sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, nilai-nilai kebudayaan dan ilmu pengetahuan mulai bergeser dengan paradigma masyarakat bahwa Malioboro merupakan kawasan pusat ekonomi saja.  Berkembangnya kawasan Malioboro sebagai economic center, memberikan dampak positif dan negatif pada nilai sejarah. Kawasan malioboro yang dulunya rimbun dipenuhi dengan pohon-pohon besar, saat ini telah berubah menjadi kawasan pusat ekonomi yang dipenuhi oleh para wisatawan baik asing maupun domestik. Perubahan secara fisik sangat menonjol, dimulai dari perubahan bentuk bangunan bersejarah yang mulai direnovasi, pedestrian yang dibangun lebih modern, tidak ada lagi pepohonan yang rimbun dipinggiran jalan, menjadikan nilai akan sejarah di kawasan Malioboro menjadi pudar dan berevolusi menjadi kawasan niaga.Pemanfaatan dan pengendalian yang tepat dan bijaksana serta pelestarian cagar budaya di kawasan Maliobro sangat diperlukan agar Malioboro tetap memiliki nilai sejarah dan kebudayaan bagi masyarakat dimasa mendatang.

3.      Tugu Yogyakarta
Tugu Pal Putih merupakan landmarkdari kota Yogyakarta. Bentuk awal dari tugu yaitu bagian puncaknya berbentuk bulat (golog) dan bagian bawahnya berbentuk silinder (gilig) melambangkan makna golog-gilig (satu tekad) antara raja dan rakyat.Pada tanggal 10 Juni 1867 Tugu Pal Putih runtuh akibat dari gempa bumi tektonik.Kemuian dibangun kembali oleh Belanda dan dirombak bentuknya pada tanggal 3 oktober 1889. Bentuk tugu diubah menjadi seperti sekarang dengan tujuan agar tugu tidak lagi menjadi monuen Golog-Gilig rakyat dan rajanya. Di keempat sisi tugu terdapat tulisan yakni sisi utara tertulis Pakaryanirasinebadan Pepatih Dalem kanjeng Raden Adipati Danurejo V, Kaungdhangken dening Tuan: JWE Van Brussel opzichter Pekerjaan Umum (Waterstaat), yang menunjukkan sanjungan bagi Praja Yogyakarta. Di sisi selatan tertulis HB VII (Sultan HB VII), dengan candrasengkala Wiwara Harja Manggalapraja, yang menunjuk angka tahun 1819 M, dan berarti Gerbang Kesejahteraan, Dipersembahkan/Didirikan Untuk Pimpinan Praja (Yudodiprojo, 1997 dalam Wardani, 2012). Sebagai Landmark kota Yogyakarta, nilai kebudayaan pasti terdapat didalamnya. Nilai budaya yang terkandung didalam Tugu Pal Putih ini cenderung menuju pada religiusitas penduduk kota dengan tujuan agar selalu mengingat Penciptanya. Tugu Pal Putih saat ini menjadi wisata favorit bagi para wisatawan untuk berfoto. Setiap harinya kawasan Tugu dipadati oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.Namun Tugu Pal Putih ini menjadi rawan akan vandalisme yang dilakukan oleh pihak-pihak tidak neranggungjawab yang dapat merusak keaslian benda cagar budaya tersebut. Selain itu, pembangunan hotel yang semakin berkembang pesat menjadikan Tugu tenggelam terhalangi oleh tingginya gedung-gedung bertingkat disepanjang koridor Jalan Mangkubumi. Pembangunan gedung-gedung bertingkat tersebut telah merubah citra kota Yogyakarta dan tidak sesuai dengan aturan mengenai pembangunan gedung yang tidak diperbolehkan melebihi tinggi dari bangunan keraton dan Tugu.

IV.    Metode Penelitian

Solusi proyeksi pengembangan ruang

Fenomena perubahan fungsi ruang pada cagar budaya

Studi naratif

Mencari pemaknaan

·         Eksistensi keunikan
·         Eksistensi spasial
·         Ketahanan spasial

 







Perubahan ruang yang terjadi pada obyek amatan, yaitu Pesanggrahan Ambarukmo, sejak mulai dibangun dan dihuni, ditelusuri dengan menggunakan metode studi naratif.Studi naratif dilakukan dengan menggunakan literatur ilmiah dan popular yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, untuk mencari pemaknaan, yaitu arti dan fungsi ruang.Aktifitas yang dilakukan diperlukan untuk menggali lagi eksistensi keunikan, eksistensi spasial dan ketahanan spasial dari bangunan tersebut.Hasil dari studi ini berupa solusi proyeksi pengembangan ruang yang telah terlanjur dikooptasi oleh fungsi hotel dan pusat perbelanjaan.
a.      Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari penelusuran pustaka dan observasi lapangan, yaitu dengan melakukan komparasi kebenaran literatur ilmiah dengan kondisi objek amatan. Hasil data yang diperoleh dengan dua cara tersebut, kemudian dilakukan pembuktian silang dengan menggunakan dasar teori yang memiliki kebenaran ilmiah, untuk disarikan sehingga menemukan sebuah kebenaran teoritis yang baru.
b.      Metode Analisis Data
Penelitian naratif Qudsy, S.Z. (2016), merupakan penelitian kualitatif yang sifatnya spesifik, jika dilihat dari cara bagaimana memahami teks yang dikaji sesuai dengan rangkaian peristiwa tertentu. Penelitian naratif merupakan bentuk penelitian deskriptif yang disajikan sesuai dengan kronologis, menceritakan peristiwa yang saling berhubungan.Narasi mengenai pengalaman dan peristiwa orang lain (biografi); kedua, pengalaman yang ditulis sendiri oleh subjek penelitian (autobiografi); ketiga, rekaman sejarah yang utuh tentang kehidupan seseorang (sejarah kehidupan); keempat, sejarah kehidupan yang diperoleh dari hasil ingatan peneliti (sejarah tutur).Penelitian naratif termasuk jenis penelitian yang jarang disentuh atau jarang digunakan dalam tugas akhir atau laporan penelitian.
V.      Hasil dan Pembahasan
Pesanggrahan Ambarukmo (teamtouring.net) terletak di Jalan Raya Jogja-Solo, atau Jalan Adisucipto, diapit oleh dua bangunan besar yaitu Hotel Grand Ambarukmo dan Ambarukmo Plaza, mulai dibangun pada pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V  (1823-1855), yang kemudian diselesaikan dan tempati oleh Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921), yang meletakkan jabatan raja dan pindah ke Ambarukmo.Pesanggrahan ini kurang terlihat karena pamor, fungsi ruang dan dimensi bangunannya kalah dibanding dua bangunan komersial yang mengapitnya. Padahal pamor awal bangunan ini sangatlah tinggi, karena fungsi ruangnya sebagai tempat kediaman mantan penguasa, yang sangat kaya, dengan banyaknya pabrik gula yang dikelola sampai 20 buah.
Pemerintah kabupaten Sleman, pernah juga menjadikan tempat ini sebagai pusat pemerintahan, dengan berkantornya empat Bupati, mulai tahun 1945 sampai 1964 (hampir 20 tahun).Akan tetapi semua keagungan sejarah tersebut sekarang tidak dapat lagi dihayati karena secara dimensi bangunan Pesanggrahan Ambarukmo, terhimpit oleh dua bangunan komersial yang besar.
Perubahan fungsi ruang yang terjadi di Pesanggrahan Ambarukmo tersebut menimbulkan dampak pada perubahan orientasi masyarakat Yogyakarta terhadap keunikan bangunan, eksistensi dan ketahanan bangunan cagar budaya tersebut.
a.      Eksistensi Keunikan
Eksistensi keunikan yang dibangun di awal keberadaan ruang ini adalah sebagai sebuah rumah (bekas) penguasa wilayah, dengan segala kemuliaannya. Sebagaimana ditunjukkan dalam (gambar 1.1 ), bangunan ini dibangun dengan memiliki dimensi ruang yang mulia, dengan luasnya ruang terbuka yang mengelilingi.

Gambar 1.1 Denah Awal Pesanggrahan Ambarukmo
Sumber : ElantoWijoyono.wordpress.com




Tabel 1.1Analisis Fungsi Awal dan Kini Pesanggrahan Ambarukomo Yogyakarta
No
Bagian
Awal
Kini
1
Utara
Alun –alun,  jalan Jogja-Solo, gardu jaga
Tanah kosong, parkir kendaraan, jalan Raya Jogja Solo,
2
Selatan
Gudang, Balekambang
Balekambang, Ruang Terbuka Hijau
3
Timur
Kebun sayur, kebun palawija, Gandhok Kiwa
Hotel Grand Ambarukmo, ruang pertemuan/ convention hall
4
Barat
Kebun Buah, Kandang Kuda, Gandhok Tengen
Ambarukmo Plaza
5
Tengah
Dalem Agung, Pendopo
Dalem Agung, Pendopo

Secara posisional bangunan inti dilingkupi oleh alun-alun, kebun buah, kandang kuda, dan kebun budidaya lainnya. Dengan keberadaan sosial yang tinggi dalam masyarakat jawa khususnya di Jogja, sang pemilik menempatkan status ruangnya yang memancar, tidak hanya di sekitar lingkungan terdekatnya, bahkan titik lokasi ini pernah mendapat status terpandang secara regional, karena menjadi pusat pemerintahan kabupaten.
Untuk mengembalikan eksistensi keunikan, hal yang dapat dilakukan adalah dengan membangkitkan lagi pengetahuan, dan memperlihatkan kembali rasa ruang yang hilang, misalnya dengan konsep pengembangan desain eleman penanda (Haryono, A.Y, 2015), yaitu menempatkanMedia penanda tempat, penanda lalu-lintas, penanda arah, media penerangan pemerintah, dan penanda masuk kawasan yang sesuai dengan keunikan pesanggrahan Ambarukmo.Informasi mengenai sejarah dan nilai filosofis pesanggrahan, perlu dilekatkan pada fungsi hotel dan pusat perbelanjaan.
b.      Eksistensi Spasial

Titik sentral ruang di pesanggrahan Ambarukmo adalah Dalem Agung. Dalem Agung, sampai saat ini masih ada dan dipertahankan keberadaan fisiknya, namun telah kehilangan eksistensi spasialnya. Fungsi peran sebagai hunian (bekas) raja, dan pusat pemerintahan, sudah tidak melekat lagi pada fisik ruang tersebut.Dan menonjolnya fungsi ruang yang ada di sebelah timur dan barat dari bangunan inti. Eksistensi spasial yang hilang, ditandai dengan hilangnya ruang terbuka yang menjadi fungsi penginapan dan pusat perbelanjaan, yang secara spasial lebih besar dimensinya dibandingkan dengan bangunan inti awal (gambar 1.2)

Gambar 1.2Denah Sebelum dan Sesudah dibangun Mall Ambarukmo Plaza
Sumber : ElantoWijoyono.wordpress.com dan google.com


Pesanggrahan yang mempunyai multifungsi dan berkaitan erat dengan keraton karena pesanggrahan pada umumnya dibuat oleh dan untuk raja beserta keluarganya. Pesanggrahan selain digunakan untuk tempat tinggal sementara (mesanggrah), juga difungsikan untuk tempat tinggal menetap oleh raja yang setelah lengser keprabon memutuskan untuk keluar dari keraton. Sebagai sebuah hunian raja, pesanggrahan memiliki kelengkapan bangunan yang berupa alun-alun, pendapa, paretan, pringgitan, dalem ageng, gedri, bale kambang, kesatriyan, keputren, jalan penghubung (doorloop), pecaosan, gardu, kamar mandi, dapur, pagar, kebun buah, kebun sayur, kebun palawija, dan kandang kuda. Fungsi tersebut terlihat di pesanggrahan Ambarukmo (Setyaningsih, 2002).
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 bahwa benda cagar budaya memiliki fungsi sosial yaitu dapat digunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, pariwisata, agama, sejarah dan kebudayaan. Dikaitkan dengan perubahan ruang di Pesanggrahan Ambarukmo, berdampak pada perubahan fungsi sosial yang tercipta dari bangunan cagar budaya pesanggrahan Ambarukmo. Pada sisi timur yang awalnya berfungsi sebagai kebun sayur, kebun palawija, dan gandhok kiwa, kini telah berubah menjadi Hotel Grand Ambarukmo dan ruang pertemuan/convention hall. Begitu pula pada sisi barat yang awalnya berfungsi sebagai kebun buah, kandang kuda,dan gandhok tengen berubah menjadi Ambarukmo Plaza. Perubahan fungsi ruang tersebut sangat berpengaruh terhadap fungsi sosial dari bangunan cagar budaya, meliputi hilangnya fungsi ilmu pengetahuan, sejarah kebudayaan dan pendidikan.Perombakan terhadap pesanggrahan Ambarukmo tersebut tidak akan dapat mengembalikan fungsi ruang Pesanggrahan Ambarukmo seperti sedia kala. Pembangunan Mall dan hotel dikawasan pesanggrahan Ambarukmo juga menghilangkan fungsi pesanggrahan ambarukmo sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Bangunan pesanggrahan Ambarukmo yang memiliki peran strategis secara wilayah, ini memang secara hukum milik privat dari keraton. Namun tentunya perlu diperhatikan bahwa keraton juga telah menyatakan menjadi bagian dari pemerintahan NKRI yang memiliki peran (Tjandrasasmita, 2010) untuk melindungi benda benda cagar budaya sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya yang diperbaharui menjadi UU No.11 tahun 2010, tentunya tidak tepat jika kemudian melakukan pelanggaran peraturan di wilayah yang memiliki nilai ke dalam keraton itu sendiri. Pemerintah (Ratnasari, Sitorus, Tjahjono, 2015) dapat melakukan pengawasan cagar budaya melalui Kementerian ATR/BPN dan Kemendikbud serta instansi teknis dalam pengurusan IMB, untuk mengendalikan alih fungsi cagar budaya.

c.      Ketahanan Spasial
Saat ini sudah tidak banyak orang yang mengerti keberadaan pesanggrahan Ambarukmo, barangkali karena memang fungsi dari ruang yang disediakan sudah hilang atau dihilangkan.Keberadaan pesanggrahan sebagai pembentuk sejarah keberadaan Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dapat dimunculkan kembali, dengan menyelaraskan kebutuhan ruang dari internal keraton ataupun pihak masyarakat secara luas.
Secara tidak langsung orientasi wisata yang merujuk pada kepentingan ekonomi dapat merusak image yang telah tercipta secara alami. Pergeseran orientasi wisata tersebut menimbulkan efek menurunnya respek/rasa hormat dari masyarakat setempat terhadap tokoh sejarah masa lalu di Yogyakarta yang pernah menempati pesanggrahan tersebut.
Kemudian hilangnya fungsi ruang sebagai kebun sayur, kebun palawija, gendhok kiwa, kebun buah, kandang kuda dan gendhok tengen, juga menghilangkan keunikan yang diciptakan oleh bangunan pesanggrahan Ambarukmo. Rasa ruang yang diciptakan saat ini, sangat berbeda dibandingkan dengan pada saat Pesanggrahan Ambarukmo masih utuh. Rasa yang tercipta saat ini lebih terkesan pada modern kapitalistik dengan bangunan vertikal. Keasrian dan kenyamanan berubah menjadi suasana hiruk pikuk masyarakat yang hendak berwisata ke Ambarukmo Plaza maupun bermalam di hotel Ambarukmo.
Kalaupun hendak memunculkan fungsi pariwisata pada ruang kecil yang tersisa, diperlukan kolaborasi aspek, yaitu (Haryanto, 2016) budaya, sosial dan kearifan lingkungan, yang memiliki hubungan dalam pengembangan pariwisata. Dan aspek sosial terbukti lebih kuat banding aspek  budaya  dan lingkungan;
Selain itu perlu diperhatikan juga terkait dengan kerusakan dan hilangnya (Harjiyatni dan Raharja, 2012) Benda Cagar Budaya yang dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia.Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan ruang seharusnya mengacu pada (Sudaryono, 2006) pertama radius keunikan, yaitu rasa meruang terpengaruh dari eksistensi keunikan, di mana perubahan ruang pada radius ini akan mempengaruhi nilai ruang. Berikutnya terkait dengan eksistensi spasial, yaitu peran unit keunikan ruang terhadap eksistensi ruang lain dan kapasitasnya untuk menarik perhatian, yang dibangun dari sistem ruang, aktifitas dan nilai. Yang terakhir terkait dengan ketahanan spasial, yaitu komitmen dari pemilik ruang untuk melestarikan nilai ruang ke generasi berikutnya secara baik.
VI.  Solusi Proyeksi Pengembangan Ruang
Pengembangan kawasan cagar budaya, Pesanggrahan Ambarukmo, pada akhirnya perlu memperhatikan konsep pengembangan desain yang sarat dengan eleman penanda. Elemen penanda yang dimaksud mengedepankan unsur budaya dari Keraton Yogyakarta, yang diperlukan untuk mempertahankan filosofi dari ruang. Selain itu perlu dirunut lebih dalam mengenai hubungan nilai sosial, budaya dan lingkungan dalam mendukung pengembangan usaha terkait potensi pariwisata berkelanjutan di Yogyakarta, misalnya dengan meneruskan informasi hikayat awal keberadaan ruang, sehingga nilai sosial, budaya dan lingkungannya tidak hilang. Pelestarian Cagar Budaya perlu melibatkan secara aktif peran pemerintah, yaitu dalam hal pengaturan dan pengawasan terhadap cagar budaya, selain itu perlu disosialisasikan kepada pengelola dan pemilik cagar budaya, agar memahami dasar hukum penjagaan cagar budaya agar dapat memiliki nilai agung yang berkelanjutan.
VII.  Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Pesanggrahan Ambarukmo secara spasial telah berubah fungsi dari awalnya berupa hunian raja atau pesanggrahan serta pusat pemerintahan Kabupaten, menjadi pusat perbelanjaan dan penginapan, yang menyebabkan hilangnya keunikan dari bangunan cagar budaya tersebut meskipun secara fisik Dalem Agung masih dipertahankan. Eksistensi bangunan Pesanggrahan Ambarukmo dan pengaruh spasialnya saat ini mulai memudar, karena menonjolnya aktifitas bisnis perbelanjaan dan penginapan, begitu pula dengan fungsinya yang dulu sebagai kantor bupati dan pusat pemerintahan yang saat ini sudah tidak dapat dirasakan lagi. Ketahanan spasial bangunan Pesanggrahan Ambarukmo masih dianggap sangat rendah, karena ruang yang ada di dominasi ruang publik, sehingga untuk menjadikan cagar budaya Pesanggrahan Ambarukmo sebagai warisan ke generasi berikutnya, diperlukan upaya kolaborasi yang intensif diantara aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan, sehingga tercipta ketahanan spasial yang berkelanjutan.




Daftar Pustaka
Adrisijanti, Inajati, Kota Yogyakarta Sebagai Kawasan Pusaka Budaya Potensi Dan Permasalahannya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Cahyandari, Gerarda Orbita Ida, 2007, Tata Ruang Dan Elemen Arsitektur Pada Rumah Jawa Di Yogyakarta Sebagai Wujud Kategori Pola Aktivitas Dalam Rumah Tangga, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
Harjiyatni dan Raharja, 2012, Perlindungan hukum Benda Cagar Budaya terhadap Ancaman Kerusakan di Yogyakarta, Mimbar Hukum, Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187-375
Haryono, A.Y, 2015, Penanda Kawasan Sebagai Penguat Nilai Filosofis Sumbu Utama Kota Yogyakarta, Jurnal ATRIUM, Vol. 1, No. 2, November 2015, 93-107
Permata, Yosep, 2010, Pengaruh Perubahan Penggunaan Ruang Terhadap Kenyamanan Lanskap Wilayah Pengembangan Bojonagara, Kota Bandung, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Priono, Yesser, 2012, identifikasi produk wisata pariwisata kota (urban tourism) kota pangkalan bun sebagai urban heritage tourism, Jakarta.
Rachman, Maman, 2012, Konservasi Nilai dan Warisan Budaya, Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Ratnasari, Sitorus, Tjahjono, Tata Loka, 2015, Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta Berdasarkan Penggunaan Lahan dan Kecukupan RTH Volume 17 Nomor 4, November 2015, 196 - 208
,UNDIP, Semarang
Republik Indonesia, 2010, Undang-Undang republik indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya, Jakarta.
Septriana, Safiera Nur, Ozawa takeo, Kaku Satoru, 2015, Conservation Of Historical Architecture In Malioboro Street, Yogyakarta City, Indonesia, Jepang.
Sudaryono, 2006, Paradigma Lokalisme dalam Perencanaan Spasial, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 17/No. 1, April 2006, hlm.28-38
Tjandrasasmita, Uka, 2010, Pelestarian Benda Cagar Budayasuhuf Vol. 3, No. 1, 2010
Tobing, Lolita Refani Lumban, 2012, Penilaian Cagar budaya Istana Maimun, Universitas Indonesia, Depok.
Wardani, Laksmi Kusuma, R.M Soedarsono, Timbul Haryono dan Djoko Suryo, 2011, Gaya Seni Hindu-Jawa Ada Tata Ruang Keraton Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Wardani, Laksmita Kusuma, 2012, Planologi Keraton Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Website
https://ElantoWijoyono.wordpress.com diakses pada tanggal 3 maret 2017
http://www.laurentiadewi.com/40636 diakses pada tanggal 3 Maret 2017
http://heritageinventory.web.id/ diakses pada tanggal 3 Maret 2017

Cepat Merespons Pandemi, Platform Manajemen Kota Perlu Disiapkan untuk Hadapi Situasi Disrupsi

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...