Tampilkan postingan dengan label Jawa Barat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jawa Barat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Agustus 2020

Menuntaskan Tata Kelola IPAL/IPLT di DAS Citarum Hulu

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Yudha Pracastino Heston*)

Sungai Citarum sebagai sungai terbesar di Jawa Barat, memiliki banyak fungsi penting, salah satu yang utama adalah sebagai sumber air baku bagi masyarakat Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Wilayah hulu sungai Citarum meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung Barat.

Kualitas sungai Citarum sampai saat ini cenderung masih memprihatinkan karena tercemar oleh berbagai limbah. Pencemaran sungai ditandai dengan adanya polutan organik terlarut (BOD dan COD), yang melebihi ambang batas dan mengakibatkan berkurangnya kadar oksigen di dalam air. Limbah domestik berupa sampah, limbah cair dan tinja menjadi sumber pencemar terbesar sungai.

Sebagai upaya mencegah pencemaran limbah domestik cair dan tinja, telah disiapkan instalasi pengolahan air limbah disingkat IPAL dan IPLT (lumpur tinja). Sampai saat ini secara jumlah, kebutuhan IPAL/IPLT masih belum mencukupi, selain itu terdapat beberapa masalah dalam tata kelola, yaitu aspek pengambilan keputusan pengelolaan IPAL/IPLT.

Tulisan ini menjadi ekstraksi dari laporan penelitian berjudul Perbaikan Tata Kelola IPAL dan IPLT untuk Mengatasi Pencemaran Air Baku DAS Citarum, Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman, di tahun 2016, yang dikerjakan penulis bersama tim peneliti.

Masalah Tata Kelola

Masalah non teknis terkait tata kelola IPAL/IPLT di DAS Citarum yang dapat teridentifikasi, misalnya terkait dengan regulasi atau aspek peraturan. Sampai saat ini belum terdapat aturan setingkat undang-undang dan peraturan pemerintah, yang spesifik mengatur pengolahan air limbah domestik, sebagai sumber pencemar utama sungai Citarum. Acuan aturan dalam pengelolaan limbah domestik saat ini, lebih mengikuti peraturan menteri lingkungan hidup. Hal ini juga diikuti dengan upaya penegakan peraturan yang juga cenderung masih lemah dan permisif.     

Sumber pendanaan untuk kebutuhan investasi alat dan operasional IPAL/IPLT terpusat, selain IPAL Bojongsoang milik PDAM Tirta Wening Kota Bandung, masih lebih mengandalkan anggaran pemerintah (daerah maupun pusat). Sehingga ditemukan kesulitan ketika IPAL memerlukan pemeliharaan dalam skala besar dan kebutuhan pengembangan layanan.

Masalah lain terkait ketersediaan tenaga kerja sektor limbah, terbukti dengan banyak operator yang masuk usia purna bakti dan masih dikaryakan, tenaga kerja yang tidak sebanding dengan luas daerah layanan dan jumlah pelanggan. Kompetensi petugas untuk kebutuhan pekerjaan teknis maupun administratif yang kurang sesuai. Pelatihan teknis dan administratif menjadi sebuah kebutuhan, yang perlu diadakan secara berkala dan berkelanjutan, bagi para pegawai selama menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Struktur organisasi pengelolaan juga menjadi bagian yang perlu ditinjau kembali.

Solusi Tata Kelola

Untuk mewujudkan tata kelola IPAL/IPLT yang baik, diperlukan perbaikan kebijakan dalam tiga aspek utama, sebagaimana dibahas, yaitu regulasi, pendanaan, dan kelembagaan. Solusi kebijakan terkait aspek regulasi, yang dapat dilakukan misalnya dengan melakukan kajian menyeluruh mengenai regulasi terkait tata kelola IPAL/IPLT, sehingga dapat diidentifikasi kesenjangan peraturan dan peraturan yang tumpang tindih. Jikalau diperlukan dapat dibentuk tim khusus untuk merumuskan peraturan-peraturan sebagai payung hukum pengelolaan IPAL/IPLT, yang meliputi pengelolaan air limbah (domestik), struktur organisasi (termasuk uraian tugas dan jabatan) pengelolaan air limbah, penentuan retribusi atau tarif, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, dan sanksi yang perlu untuk diterapkan. Peninjauan, pembentukan atau penguatan lembaga pengelola air limbah, perlu dilakukan setelah dilakukan  penjajakan kebutuhan.

Beberapa contoh solusi dari aspek pendanaan, yaitu diperlukan priotisasi alokasi dana, terutama dari APBD untuk operasional dan perbaikan sarana-prasarana pengelolaan air limbah, agar pengelolaan air limbah berkelanjutan. Kebutuhan kolaborasi dengan pihak swasta sehingga dapat membantu penyediaan kebutuhan pendanaan IPAL/IPLT. Kemitraan dengan pihak swasta ini bertujuan untuk mewujudkan penyediaan sanitasi yang aman terutama sarana pengelolaan air limbah domestik.

Perbaikan kelembagaan dapat dilakukan sesuai kemampuan daerah dan kebutuhan pelayanan, dengan pilihan bentuk berupa Unit Pelayanan Teknis Badan (UPTB), Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun kerjasama dengan Badan Usaha (swasta). Diperlukan adanya kajian akademis terkait pembagian wewenang dalam pembangunan, operasi, pengembangan, dan pengawasan IPAL/IPLT. Selanjutnya diperlukan penyusunan dokumen prosedur standar operasional, untuk memastikan proses tata kelola IPAL/IPLT dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Upaya peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, yang terlibat dalam pengelolaan limbah, melalui pelatihan, supervisi, pengawasan dan evaluasi secara rutin dan berkala. Pemberian penghargaan bagi pengelola instalasi berprestasi dapat dikembangkan untuk mengapresiasi kinerja. Dapat juga ditingkatkan lagi peran penilik sanitasi, untuk dapat mengawasi kinerja fasilitas sanitasi keluarga dan komunitas.

Selain rekomendasi kebijakan dalam aspek regulasi, pendanaan, dan kelembagaan, beberapa strategi tambahan untuk mewujudkan tata kelola IPAL/IPLT berkelanjutan, yaitu memberdayakan masyarakat dalam tahap persiapan dan pengelolaan instalasi, juga berpartisipasi dalam menjaga pentingnya sarana prasarana, perilaku sanitasi yang benar dan pentingnya pembayaran retribusi. Sebagai catatan akhir diperlukan upaya yang sungguh dari pengelola, sehingga muncul keuntungan pengelolaan IPAL/IPLT minimal 2-3% dari total biaya, sehingga dapat dialokasikan untuk pengembangan, yang didukung penerapan inovasi teknologi memanfaatkan bahan lokal.


Senin, 09 Mei 2016

Mengoptimalkan IPAL di Hulu Citarum

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
* telah diterbitkan di Buletin Dinamika Riset Balitbang PUPR, 2016

Yudha P. Heston* dan Arif K. Hernawan

Sambil menyisihkan sampah, Jajang, 56 tahun, menyeka keringatnya. Meski medio Februari 2016 itu sudah memasuki musim hujan, siang itu matahari bersinar sangat terik. “Kalau musim kemarau sampah hanya 1 kubik perhari, tapi kalau musim hujan sampah bisa sampai 4-5 kubik perhari,” kata warga Desa Bojongsoang, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung itu.  
Gambar 1. Jajang memberikan informasi
Sumber: peneliti, 2016

Jajang salah satu petugas di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Bojongsoang. Tugasnya membersihkan sampah-sampah yang menyumbat di saluran dan kolam pada IPAL yang berlokasi di dua desa yakni Bojongsoang dan Bojongsari ini.
IPAL berfungsi untuk mengolah air buangan rumah tangga menjadi air yang aman untuk dimanfaatkan di lingkungan. Dibangun pada 1990, IPAL Bojongsoang beroperasi sejak 1992. Berdiri di atas lahan 85 hektar, IPAL ini meliputi area kolam pengolahan yang terdiri 14 kolam.

Bukan hanya mengolah limbah, IPAL Bojongsoang juga ditata dengan cantik dan asri. IPAL dihiasi tanaman bunga seperti anggrek, sedapmalam, bahkan tanaman obat, juga sejumlah satwa dan puluhan burung yang dilepasliarkan. Pemandangan di kolam-kolam IPAL juga mempesona dengan latar belakang Gunung Geulis dan Batu Asahan. Sejumlah sekolah dan instansi bahkan wakil beberapa negara menjadikan IPAL Bojongsoang sebagai tujuan wisata edukasi.

Instalasi ini menjadi instalasi pengolahan air buangan domestik terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara karena berasal dari aliran Sungai Citarum. Sungai Citarum adalah sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Untuk predikat tersebut di Pulau Jawa, Citarum menempati posisi ketiga.  Oleh karena itu, kondisi badan sungai dan daerah aliran sungai (DAS) Citarum,  juga pengelolaannya beserta peran serta semua pemangku kepentingan di sungai itu menjadi amat penting.  


Negeri seribu sungai
Sebagai negeri maritim, Indonesia bukan hanya terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan melainkan juga dialiri banyak sungai. Indonesia memiliki lebih dari 5500 sungai dengan 65 ribu anak sungai. Panjang total sungai utama mencapai 94.573 km dengan luas daerah aliran sungai mencapai 1.512.466 kilometer persegi.
Masyarakat menjadikan sungai sebagai bagian kehidupan mereka. Sebab sekitar 80% dari 250 juta masyarakat Indonesia tidak memiliki akses air melalui pipa. Selama 1999-2000, penggunaan sungai untuk air minum berada di kisaran 22%, dan terus meningkat.  Pada periode yang sama terjadi peningkatan penggunaan air sungai untuk mandi dan mencuci sebanyak 66%.

Kebutuhan dan Konsumsi air bersih terus meningkat secara signifikan. Namun sebagai penyumbang 6% dari sumberdaya air dunia, dan 21% dari Asia-Pasifik, Endah Murniningtyas (2015) menyatakan, Indonesia justru mengalami masalah besar dalam penyediaan air bersih.  Total permintaan air tahun 2000 sekitar 156 juta meter kubik  per tahun. Tahun 2015 jumlah itu diperkirakan menjadi dua kali lipat atau sekira 356,575 juta meter kubik per tahun.

Namun penyediaan air bersih menurun karena degradasi lingkungan dan polusi air. Tingkat degradasi sumberdaya air sekitar 15-35% per kapita per tahun. Kondisi tersebut lepas dari kondisi DAS sebagai sistem hidrologi yang jadi regulator untuk mengatur masukan air dari hujan menjadi keluaran dalam bentuk aliran air sungai. DAS juga menampung, menyimpan dan mengalirkan air dari curah hujan ke outlet seperti danau dan laur secara alami.

DAS meliputi seluruh wilayah daratan yang menjadi satu kesatuan antara sungai dan anak-anaknya. Salah satu ciri DAS yang sehat adalah kemampuannya untuk menjaga ketersediaan air dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas air.

Air pada DAS terdiri atas air hijau dan air biru. Green Water merupakan air yang tersimpan di dalam pori-pori tanah, juga air yang diikat oleh butiran tanah, serta air yang ada
dalam tanaman. Jumlah idealnya 65 %.  Adapun Blue Water adalah semua air segar atau tawar yang berada dalam sungai, danau, rawa, kolam/tambak dan air bawah tanah serta air aliran permukaan senilai 35 %.

Namun kini proporsi Blue Water di dalam DAS semakin tinggi dibandingkan dengan Green water. Misalnya blue water yang mengalir di Jakarta sudah mencapai lebih dari 40 %. Bahkan terdapat DAS dengan proporsi keduanya yang berkebalikan: blue waternya lebih tinggi daripada green water.
Mayoritas DAS di Indonesia pun digolongkan dalam kondisi kritis. Dari total 458 DAS,  22 DAS dalam kondisi kritis pada tahun 1984. Jumlah itu bertambah menjadi 39 DAS pada 1992, kemudian naik lagi jadi 62 DAS pada 2005, dan catatan terakhir 68 DAS kritis pada tahun 2012. Kurang dari tiga dekade, peningkatan kerusakan DAS di Indonesia meningkat lebih dari tiga kali lipat.

Suratman (2015), akademisi Universitas Gadjah Mada sekaligus koordinator Gerakan Restorasi Sungai Yogyakarta, bahkan merinci bahwa terdapat 60 DAS dalam kondisi kritis berat, 222 kritis, dan 176 berpotensi kritis. Selain itu, sebanyak 50 dari 155 DAS di Jawa tutupan hutannya sangat rendah.

Setidaknya, menurut pengajar ITB Nana Mulyana Arifjaya (2015), masalah DAS di Indonesia dikategorikan dalam 18 aspek. Pertama, 14 masalah besar dalam aspek biofisik, yaitu banjir, sampah, perambahan kawasan, kerusakan bentang alam, erosi dan sedimentasi tinggi, juga produktivitas lahan menurun.  Selain itu, teknik budidaya tidak ramah lingkungan, kelangkaan air bersih, pendangkalan sungai, limpasan permukaan tinggi, penurunan kualitas air, penurunan kuantitas air, dan kerusakan DTA.

Pada aspek lain, ada tiga masalah besar meliputi kapasitas SDM, kelembagaan dan hukum yang lemah; kemudian implementasi tata ruang masih rendah; dan partisipasi masyarakat masih minim. Tidak kalah penting terdapat masalah DAS dalam aspek sosial-ekonomi menyangkut kesejahteraan dan kualitas hidup yang menurun.
Pemerintah menetapkan lima DAS prioritas  untuk dijaga atau dipulihkan kondisinya. Upaya itu antara lain dengan indikasi terjaga atau meningkatnya jumlah mata air  melalui konservasi sumber daya air. Kelima DAS tersebut adalah DAS Ciliwung, Citarum, Serayu, Bengawan Solo, dan Brantas.
Restorasi Citarum
Sebagai sungai terbesar di Jawa Barat, dan ketiga di Pulau Jawa, Sungai Citarum menjadi situs penting dan strategis. Citarum termasuk sungai purba. Ia berhulu di Gunung
Wayang, Kabupaten Bandung, dengan ketinggian 1.700 m dpl dan  mengalir sejauh 297 kilometer menuju muaranya di pantai utara Pulau Jawa, di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi. DAS Citarum mencapai 30 ribu hektar.

Potensi sumber daya air Sungai Citarum diperkirakan mencapai 13 milyar m3/tahun, namun pemanfaatannya baru sekitar 7,5 milyar m3/tahun. Potensi inilah yang membuat bendungan terbesar di Indonesia dibangun di sungai ini yakni  Bendungan Jatiluhur pada  1957, kemudian bendungan Saguling (1985) dan Cirata (1988).

Pemanfaatan air Sungai Citarum digunakan untuk pemenuhan kebutuhan lainnya seperti sebagai sumber air irigasi pertanian, pendukung kegiatan industri, serta sebagai sumber air
minum penduduk Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi, Karawang, dan pemenuhan air baku untuk 80% penduduk Jakarta.

Namun kondisi Citarum memprihatinkan. Di hulu Citarum, tata guna lahan tidak sesuai peruntukan. Karena kekurangan lahan tanam, warga menjadikan kawasan hutan lindung sebagai lahan pertanian konvensional. Dengan demikian, fungsi konservasi hutan berkurang. Pada pertanian itu, pupuknya pun menggunakan pupuk kimia. Akibatnya kualitas tanah menurun berkurang dan ketika hujan terjadi erosi sehingga tanah turun ke sungai.
Daerah resapan bukan hanya berkurang di bagian hulu melainkan juga di tengah Citarum. Bantaran sungai digunakan untuk perumahan secara tidak tepat. Kemudian terjadi kerusakan dasar dan alur sungai karena penambangan pasir dan kerikil. Penggunaan lahan bekas sudetan sungai ikut tak terkendali.
Problem selanjutnya adalah pencemaran limbah industri dan sampah domestik seperti plastik dan kotoran manusia juga kotoran ternak. Beban pencemaran terbanyak disumbang oleh sektor domestik yakni sebesar 245,95 ton BOD per hari.
Jumlah itu disusul sektor industri dan UMKM dengan 185,17 ton BOD per hari limbah. Bidang peternakan, pertanian, dan lain-lain membebani Citarum dengan pencemaran masing-masing 12,58 ton, 3,01 ton, dan 6,5 ton BOD per hari.
Dari total beban pencemaran 453,21 ton BOD per hari, angka pencemaran sektor domestik berkontribusi terhadap lebih dari separuh beban pencemaran tersebut.

Dengan kondisi demikian, kualitas air menurun dibandingkan dengan standar baku/ kelas peruntukan sungai (tercemar ringan sampai sedang). Tidak kalah penting berkurangnya keanekaragaman hayati di sepanjang Citarum.
Sungai Citarum pun tercatat mengalami sedimentasi hingga 10 juta meter kubik per tahun dan kerugianya mencapai 923 ribu dolar. Sebuah media internasional menobatkan Sungai Citarum sebagai sungai paling kotor di dunia.

Restorasi dan pengelolaan Sungai Citarum pun menjadi langkah mendesak. Meski tiap sungai memiliki karakter berbeda, suksesnya restorasi sungai bisa dilihat di Sungai Cheonggye, Seoul, Korea Selatan. sungai itu jadi permukiman kumuh dan kotor pada 1950, namun kini berkembang asri jadi kawasan ekonomi dan tujuan wisata.
Restorasi untuk meningkatkan eksistensi dan mengembalikan esensi sungai, seperti disebutkan Agus Maryono (http://nasional.republika.co.id/) mencakup lima konsep. Antara lain  restorasi hidrologi : yakni pemantauan  kuantitas dan kualitas air; restorasi ekologi dengan pemantauan terhadap flaura dan fauna; restorasi morfologi dengan meninjau kembali bentuk keaslian sungai.
Selain itu, dengan restorasi sosial ekonomi yang bertujuan melihat manfaat sungai secara ekonomis serta mengajak masyarakat ikut serta untuk memperoleh ilmu pengetahuan di bidang sungai dan menumbuhkan rasa cinta terhadap lingkungan; dan restorasi Kelembagaan dan peraturan yang fokus untuk membuat peraturan-  peraturan yang dapat menjaga kelestarian sungai.
Adapun tujuan restorasi sungai, seperti yang ditawarkan Suratman, demi menjadikan sungai memiliki predikat Pancadaya Kali Istimewa. Pertama, “kali urip” yakni sungai yang bisa memberikan pengkayaan sumber kehidupan yang lestari bagi makhluk hidup. 
Kedua “kali waras” di mana ekosistem dan sosiosistem sungai terjaga secara harmonis dengan sumber air berkualitas, multiguna, dan memenuhi kehidupan manusia. Selanjutnya “kali wasis” yaitu sungai yang tak pernah surut mendukung inovasi dan kreativitas masyarakat,  juga menginspirasi kecerdasan intelektual, sosial, dan spiritual.
Berikutnya “kali digdaya”, sungai yang memiliki ketangguhan dalam pengelolaan ancaman bencana dan punya keunggulan pengelolaan gotong royong. Hingga pada puncaknya, “kali rahayu” sungai mengalirkan derajad kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan.
Untuk hulu Sungai Citarum, sejumlah langkah konservasi lahan dan konservasi air sudah ditempuh sejumlah pihak pemangku kepentingan Citarum. Antara lain dengan pengaturan tata guna lahan dengan membandingkan secara proporsional cathment area dan lahan pertanian juga ladang.
Penataan rumah warga di bantaran pun coba mengacu pada konsep 3M:  madhep, mundur, munggah (menghadap, mundur, naik dari sungai).  Selain itu, menjaga hutan sebagai tampungan buatan, membuat sumur resapan dan biopori. Berbagai langkah tersebut memerlukan upaya lebih optimal dan kontinyu untuk menunjukkan hasil.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pun telah menyusun masterplan restorasi hulu Sungai Citarum. Masterplan ini berupaya mewujudkan adanya pemodelan kualitas air, strategi pengendalian pencemaran air, juga pengnedalian erosi, sedimentasi, dan banjir.

Mengingat beban pencemaran terbesar datang dari sektor domestik, pengendalian pencemaran di sektor ini mendapat prioritas. Selain itu, karena sektor ini bersentuhan langsung sekaligus melibatkan peran serta masyarakat dan komunitas bantaran hulu Sungai Citarum.

Mengoptimalkan IPAL
Wujud pengendalian pencemaran sektor domestik adalah dengan pembangunan dan perbaikan tata kelola instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan instalasi pengolahan IPLT. Berbagai upaya dan rencana untuk membuat IPAL telah dicetuskan, seperti wacana pembangunan IPAL raksasa di aliran Sungai Citarum lama sampai rencana menggandeng pihak Korea Selatan yang berpengalaman dalam merestorasi sungai.

Hingga kini sejumlah IPAL dan IPLT skala domestik telah dibangun. Namun jumlah dan kondisi IPAL domestik masih jauh dari harapan. Pemerintah sedang dalam tahap perencanaan pembangunan IPAL domestik di Kota Cimahi. Namun, dari segi kebutuhan, IPAL domestik juga perlu dibangun di Kopo Sayati, Cilampeni-Soreang, Rancaekek, dan Majalaya.

IPAL-IPAL baru tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk menunjang fungsi IPAL yang sudah berdiri seperti IPAL Bojongsoang. Sejak beroperasi pada 1992, IPAL ini belum melakukan pengembangan.

Bagian depan IPAL Bojongsoang berupa manual bar screen untuk memisahkan sampah-sampah dari air limbah secara manual. Air limbah kemudian mengalir ke crew pump atau pompa ulir  yang menyedot air dan memompanya ke bak penampungan. Alat ini terdiri atas tiga penyedot dengan tiga mesin motor berkapasitas besar yang bekerja secara bergantian.

Gambar 2. Petugas mengambil sampah organik
Sumber: tim peneliti, 2016




Air limbah kemudian disalurkan ke  kolam penampungan biologi. Sebanyak 14 kolam biologi melakukan tiga proses biologis yaitu proses anaerobik, fakultatif dan maturasi.

Kolam anaerobik dalamnya 4 meter dan luas 4,04 hektar. Proses Anaerobik merupakan upaya penurunan bahan organik secara anaerobik dengan bantuan mikroba anaerob. Karakteristik kolam anaerobik antara lain dengan debit 80,835 m3 /hari, beban volumetrik 275 g BOD/m3/hari.  Kolam ini memiliki total beban organik 20,100 kg BOD/hari, waktu detensi 2 hari, temperatur 22,5 0C. BOD influent 360 mg/l dan BOD efluent 144 mg/l.

Gambar 3. Kolam anaerob
Sumber: tim peneliti, 2016

Proses fakultatif adalah upaya penurunan bahan organik secara anaerob dan aerob untuk stabilisasi air buangan. Karakteristik kolam ini debit 80,835 m3/hari, beban volumetrik 300 gr BOD/m3/hari, total beban organik 11,640 kg BOD/ hari.  Waktu detensi 5,6-7 hari. Kedalaman kolam ini 2 m  dengan luas area 29,8 ha dan bertemperatur 22,5 0C. BOD influent 144 mg/l dan BOD efluent 50 mg/l.

Proses maturasi atau  pematangan merupakan proses pematangan air buangan sebagai penyempurnaan dari kualitas efluen akhir sesuai dengan standar baku mutu yang berlaku sebelum dibuang ke perairan luar. Karakteristik kolam maturasi yaitu debit 80,835 m3 /hari, fecal coli 5000 MPN/100ml, dengan waktu detensi 3 hari.  Kedalaman kolam ini 1,5 m dengan luas area 32,2 ha dan temperatur 22,5 0C. BOD influent 50 mg/l dan BOD efluent 30 mg/l. Outlet kolam-kolam ini menuju ke anak sungai Citarum. 

Dengan segala teknologi pengolahan air limbah itu, IPAL Bojongsoang ternyata masih memerlukan peningkatan kapasitas dan pengelolaan. Sekitar 50 staf IPAL harus melakukan perawatan rutin untuk mesin dan pompa hingga pengurasan kolam tiga bulan sekali.

Hal itu mengingat mesin dan pompa IPAL berusia tua, bahkan sejak jaman Belanda.  Selain susahnya suku cadang, tingkat korosinya juga tinggi sehingga alat mudah berkarat. Kondisi ini diperburuk dengan suplai listrik yang hanya mengandalkan aliran PLN. “Kalau listrik PLN mati, pompa tidak beroperasi. Genset hanya untuk lampu. Tapi kalau emergency, bisa cepat nyala kembali,” ujar Kepala IPAL Bojongsoang Dadang Juarsa.

Tantangan lain pengelolaan IPAL ini yakni masyarakat belum sepenuhnya sadar pentingnya IPAL. Pada saluran sepanjang tiga kilometer, petani dan warga yang mengelola perikanan tak jarang membendung aliran IPAL untuk keperluan mereka. Padahal pihak IPAL sudah melakukan sosialisasi ke masyarakat dengan membuat papan peringatan. Sejauh ini relasi antar warga dan pihak IPAL juga baik, dengan adanya pengecekan kualitas air sumur warga oleh staf IPAL, juga berbagai kegiatan sosial.

Begitu pula halnya untuk IPLT. Kendati telah berdiri di Majalaya, Ciparay, dan Soreang, keberadaan IPLT untuk buangan tinja tersebut masih amat minim karena setidaknya diperlukan sembilan IPLT tinja lagi di bantaran sungai di hulu Citarum.

Selain IPAL domestik dan IPLT tinja, warga bantaran hulu Sungai Citarum juga memerlukan IPAL komunal. Sarana ini hendaknya didirikan di tiap kecamatan dengan jumlah seluruhnya mencapai 63 instalasi.

Di Kecamatan Majalaya misalnya, pemerintah telah dianggarkan pembangunan IPAL komunal  senilai Rp 127 miliar untuk dua zona yang meliputi enam desa. Zona pertama untuk 2.670 sambungan rumah dan zona kedua 5.624 rumah. Total daya tampung limbah IPAL komunal ini mencapai 2.700 meter kubik  per hari.

Namun penggunaan IPAL dirasa tidak optimal. Hal ini seperti terjadi di Desa Cikawau, Kecamatan Pacet. Dengan dana tiap IPALRp 500 juta, 5 dari 7 IPAL komunal yang dibangun sejak 2012 terbengkalai. “IPAL dibangun salah tempat sehingga sekadar menjadi monumen, “ kata wakil Yayasan Elemen Lingkungan, Dani.

IPAL terbengkalai karena jauh dari permukiman warga, yakni 2-3 kilometer dengan medan menanjak. IPAL dibangun jauh dari warga karena mengejar syarat penyediaan lahan hibah. Selain itu, IPAL ini tidak diserati pipa induk. Bangunan pun terlalu bagus untuk ukuran warga setempat. “Jangan ada kesan untuk hidup sehat itu harus mahal. Masyarakat tidak perlu mewah,” kata Dani.

Adapun dua IPAL komunal bisa dikelola warga dan komunitas dengan baik. Skalanya kecil, hanya untuk 50 KK, dan kualitas infrastrukturnya skala desa. Namun metode pelaksanaan tetap melibatkan masyarakat sehingga sarana tersebut dapat digunakan secara efektif.

Partisipasi bersama

Keberadaan dan kebutuhan pembangunan IPAL dan IPLT beserta penggunaanya memang tidak lepas dari dukungan dan partisipasi bersama antara pemerintah,  warga, dan komunitas setempat. Sebab masyarakat di sekitar hulu Sungai Citarum mendapat dampak langsung terhadap baik-buruknya sungai tersebut.

Pemerintah Propinsi Jawa Barat telah mencanangkan program “Citarum Bestari” untuk restorasi Citarum, bahkan menargetkan air Citarum bisa diminum pada 2019. Sejauh ini, sejumlah komunitas pun telah turut berupaya peduli terhadap kebersihan sungai Citarum.

Ini seperti ditunjukkan Komunitas Bangkit Bersama di Kilometer 77 Citarum, yang mengolah sampah plastik dan eceng gondok menjadi produk bernilai jual.  Komunitas Warga Peduli Lingkungan (WPL) bahkan membuat filter air sehingga sungai air Citarum sehat untuk dikonsumsi. “Kami membuat kegiatan  yang memang diperlukan oleh masyarakat supaya warga merasa ikut memiliki sungai,” ujar Yogantara dari WPL sekaligus anggota TKPSDA.

Juga beberapa komunitas yang melakukan aktivitas susur sungai guna mendokumentasikan kondisi hayati Citarum dan melakukan langkah konservasi. Tidak ketinggalan pula langkah konservasi dari komunitas budaya seperti gelaran Festival Citarum 2014 lalu.

Namun, tidak bisa dimungkiri pula, masih ada warga di bantaran Sungai Citarum yang kurang peduli terhadap sungai ini. Sebagian warga masih menganggap dan berperilaku seakan sungai adalah tempat sampah.

Sehingga tak mengherankan jika hingga kini masih ditemukan buangan rumah tangga yang mengotori aliran Sungai Citarum. Tim TKPSDA Citarum bahkan mencatat 40-45% dari 3,5 juta warga Kabupaten Bandung belum punya akses sanitasi sehingga limbah dibuang ke sungai terutama Citarum.

Oleh karena itu, bukan hanya penyediaan dan peningkatan fasilitas pengendalian pencemaran air seperti IPAL dan IPLT, upaya restorasi hulu Sungai Citarum juga sangat memerlukan cara pandang, perilaku, dan budaya warga yang lebih peduli terhadap lingkungan, terutama untuk sungai terbesar di Jawa Barat tersebut.

Sebagai tambahan informasi, Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada tahun anggaran 2016 ini melakukan kegiatan penelitian Perbaikan Tata Kelola IPAL dan IPLT untuk Mengatasi Pencemaran Air Baku DAS Citarum, yang akan menghasilkan rekomendasi kebijakan.


Referensi:

Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup, Peranan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai untuk Mendukug Pelestarian Sumber Daya Air, Jakarta 2015

Endah Murniningtyas, Meningkatkan Efektivitas Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu di Indonesia, Banjarnegara, 2015

Nana Mulyana Arifjaya, Tata Ruang DAS untuk Kesejahteraan Masyarakat, Banjarnegara, 2015

PDAM Tirtawening, Instalasi Pengolahan Air Limbah Bojongsoang, Bandung, tanpa tahun.

Suratman, Renaisan Yogya untuk Gerakan Restorasi Sungai Indonesia, Yogyakarta, 2015.

Tim Roadmap Program pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu di Wilayah Sungai Citarum, Aliran Kehidupan di Sungai Citarum, Jakarta, 2013.




*) Peneliti Madya bidang Sosiologi Permukiman, Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi



Jumat, 08 November 2013

PENGUATAN KEMAMPUAN SOSIAL PADA PENATAAN KAWASAN KUMUH PERKOTAAN

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(Studi Kasus Kelurahan Cigugur Tengah Cimahi)
Social Enrichment In Slum Urban Areas Rearrangement Program
Yudha P. Heston[1], Ahmad Yusuf A

Diterima : 11 Februari 2013    Disetujui : 26 April 2013
Abstraksi : Fokus penelitian ini adalah untuk mengukur dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menguatkan kemampuan sosial, baik bagi pemerintah maupun masyarakat pada penataan kawasan kumuh perkotaan dengan mengambil studi kasus di kelurahan Cigugur Tengah kota Cimahi. Metode penelitian yang dilakukan adalah Participatory Research Appraisal (PRA). Metode penelitian ini digunakan untuk memastikan keterlibatan aktif dari masyarakat yang menjadi kelompok sarasan. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memiliki kesimpulan bahwa keberhasilan penguatan sosial pada penataan daerah kumuh perkotaan sangat bergantung pada peningkatan kapasitas governansi pemerintah dan komunitas masyarakat. Peningkatan kapasitas governansi pemerintah dapat dilakukan dengan mendorong Pimpinan Daerah, memberikan komitmen untuk menetapkan Kawasan Prioritas dalam peningkatan kualitas sosial wilayah. Membentuk unit kerja Pengelola Kawasan yang memiliki tugas meningkatkan kualitas sosial pada penataan kawasan kumuh. Peningkatan kapasitas governansi komunitas masyarakat dapat dilakukan dengan pemberian komitmen warga, terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, perencanaan, implementasi, pemeliharaan, pengawasan dan kontribusi peningkatan kualitas sosial ekonomi pada penataan kawasan kumuh prioritas.

Kata kunci : penguatan, sosial, penataan, kawasan, kumuh.





Key words:enrichment, social, rearrangement, areas, slum.

Pendahuluan

Kota sebagai tempat konsentrasi penduduk yang berpenghidupan non agraris (Sinulingga; 1999 dalam Hermanto, 2011), memiliki tugas untuk dapat melayani, memperhatikan, menguntungkan semua lapisan warga yang ada di dalamnya. Strategi pembangunan yang berpusat pada rakyat memiliki tujuan (Harry, 2000) untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat berkaitan dengan aspirasi individu dan kolektif, dalam tradisi budaya- perilaku kebiasaan yang berlaku. Sehingga kota perlu mengembangkan program yang tanggap kebutuhan sosial, termasuk dalam hal melakukan penataan kawasan kumuh.
Penataan kawasan kumuh di kawasan perkotaan memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah terkait pemahaman standar permukiman yang layak. Selain itu faktor fungsional permukiman juga terkait dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya, teknologi, ekologi bahkan politik (Suprijanto, 2004). Permasalahan terkait aspek sosial yang berhasil diidentifikasi Balai Litbang Sosial Ekonomi Bidang Permukiman (Tim Peneliti, 2010) adalah terkait dengan: belum optimalnya peran, kapasitas institusi dan pengelolaan dari pemerintah (kota) serta masyarakat terkait program penataan kawasan  kumuh. Komunikasi pemerintah (kota) - masyarakat belum terlembaga dengan baik struktur dan fungsinya. Belum jelasnya konsep dan strategi implementasi program dari masing-masing dinas dan swasta terkait penataan kawasan kumuh.
Kondisi ideal yang diharapkan dari sebuah upaya peningkatan kemampuan sosial pada wilayaha kumuh perkotaan adalah ditemukannya kesiapan untuk berubah, adanya lahan yang dapat ditata dan meningkatnya peran dari masyarakat.

Tujuan penelitian

Penelitian dilakukan untuk mengukur dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menguatkan kemampuan sosial, baik bagi pemerintah maupun masyarakat pada penataan kawasan kumuh perkotaan dengan mengambil studi kasus di kelurahan Cigugur Tengah kota Cimahi.

Metodologi

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode Participatory Research Appraisal (PRA). Metode penelitian ini digunakan untuk memastikan keterlibatan aktif dari masyarakat yang menjadi kelompok sarasan. Penelitian PRA (Handayani, 2009) menempatkan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran sebagai ‘subjek’ dalam proses kegiatan, dan bukan sebagai ‘objek’. Dalam PRA, peneliti adalah pihak yang terlibat aktif di dalam program kegiatan. Pelaksanaan kegiatan penelitian dilakukan dengan menyusun rencana, instrumen/indikator, melakukan pengumpulan data, pengolahan, analisis dan menyusun laporan bersama kelompok sasaran.
Penelitian di lakukan di Kelurahan Cigugur Tengah Kota Cimahi yang merupakan kawasan strategis di lingkungan industri dan pedagangan di Kota Cimahi. Terdapat juga kawasan perdagangan di Jalan Leuwigajah dan Jalan Cimindi yang membatasi wilayah Cigugur Tengah. Luas wilayah Cigugur Tengah adalah 235 hektar, yang penuh dengan bangunan, dengan jarak antar bangunan sebagian besar sempit. Subyek penelitian adalah masyarakat di RW 05, meliputi seluruh RT (1-9) yang ada di dalam RW tersebut.
Gambaran Lokasi Penelitian
Jumlah penduduk Kota Cimahi, tahun 2010 607,514 jiwa. 18% atau kurang lebih 80 ribu jiwa adalah penduduk Pra Keluarga Sejahtera (pra KS). Tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk Kota Cimahi adalah  %/tahun. Kepadatan penduduk rata-rata tahun 2011 adalah 151 jiwa/ha. Wilayah kelurahan Cigugur Tengah (235 jiwa/ha) di Kota Cimahi merupakan wilayah terpadat  ketiga setelah Cibereum (267 jiwa/ha) dan Melong 240 (jiwa/ha). Gambaran kondisi sosial penduduk di RW 05 dan kepadatannya dapat diperhatikan pada tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Asalnya di Kawasan RW.05 Kelurahan Cigugur Tengah

Tabel 2. Kepadatan Penduduk RW. 05 Kel. Cigugur Tengah
Penggunaan lahan di RW. 05 didominasi permukiman, dengan luas 4.6623 ha, status kepemilikan tanah dapat diperhatikan pada tabel 3.
Tabel 3. Kepadatan Penduduk RW. 05 Kel. Cigugur Tengah

Kajian Pustaka

Peningkatan rata-rata penduduk perkotaan pertahun (Andini, 2013) adalah sebesar 3,45% berdasarkan laporan Divisi Kependudukan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (2006). Pada tahun 2001, UN-Habitat menghitung perkiraan proporsi penduduk Indonesia yang tinggal di daerah padat kumuh, yaitu sebesar 23%, (sekitar 21 juta jiwa) dari seluruh penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan.
Daerah kumuh adalah daerah di mana rumah dan kondisi hunian masyarakat di daerah tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya (Kurniasih Sri, 2007 dalam Andini, 2013).
Penyediaan perumahan dan permukiman, harus dapat menjawab beberapa kebutuhan sesuai dengan standar kelayakan tinggal (Depkes RI, 2005 dalam www.Indonesia-publichealth.com), yaitu dapat memenuhi kebutuhan fisiologis (pencahayaan, penghawaan, ruang gerak yang cukup dan terhindar dari gangguan kebisingan), kebutuhan psikologis (privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antara anggota keluarga), memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit (penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran) dan memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, (garis sepadan jalan, konstruksi yang kuat, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung menimbulkan kecelakaan bagi penghuninya). Penyediaan permukiman dilakukan dengan melaksanakan program pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan terkait penataan wilayah, menurut Utomo, 2003 (dalam Widigdo) mempunyai tiga dimensi, yaitu: Ekonomi, terkait ekonomi lokal, lapangan kerja, peningkatan pendapatan rakyat, pasar yang adil dan fair. Sosial, politis dan budaya, terkait konsep berbasis komunitas, yaitu pembangunan adil sosial, demokratis terbuka, otonomi daerah dan lokal, peka keragaman budaya, peran serta dan pemberdayaan penduduk lokal. Lingkungan, terkait perencanaan lingkungan, yaitu hemat sumber daya, teknologi tepat guna dan mengurangi limbah, memperhitungkan daya dukung lingkungan, konservasi dan preservasi alam.
Tumbuhnya pusat-pusat perdagangan dan permukiman (Basri dkk, 2010) mendorong masyarakat dalam mengoptimalkan pemanfaatan lahan, mengakibatkan tekanan terhadap daya dukung lingkungan, sehingga lingkungan cenderung menjadi kumuh. Penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan mensinkronkan kebijaksanaan Pemerintah Kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat. Masyarakat disini dapat didefinisikan sebagai konsumen akhir dari pasar perumahan.
Menurut Tjuk Kuswartojo (Tanuwidjaja, 2009), seharusnya tahapan yang harus ditempuh dalam pembangunan perumahan itu didasarkan kepada analisa terhadap kebutuhan perumahan dan demografi yang ada. Kemudian dituangkan dalam kebijakan perumahan dan instrumen penerapannya agar sesuai sasaran. Sehingga, dengan kata lain harus muncul pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan perumahan dan permukiman. 
Tujuan pemberdayaan adalah untuk memperkuat kemampuan khususnya bagi kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal, maupun kondisi eksternal (Edi Suharto, 2005 dalam Andini, 2013). Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.

Analisis

Analisis yang dilakukan dengan mencari nilai-nilai penting terkait fenomena sosial, dalam pelaksanaan kegiatan dibagi menjadi tiga fase yaitu: fase persiapan partisipasi masyarakat, fase perancangan program dan fase partisipasi masyarakat. Masing –masing fase dapat dijelaskan sebagai berikut.
Fase Persiapan Partisipasi Masyarakat
Pada fase persiapan, dilakukan perencanaan untuk melibatkan warga dalam pengumpulan data dan identifikasi masalah setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Cimahi serta melakukan kunjungan lapangan. Kegiatan ini mendapatkan temuan terkait kondisi psikologis warga yang trauma terhadap program konsolidasi lahan dan rumah susun, perlu adanya keterlibatan tokoh warga untuk menjamin keberhasilan program, adanya perbedaan definisi kumuh antara pemerintah kota dengan warga. Langkah ini dilanjutkan dengan merencanakan adanya kegiatan “pemetaan swadaya”. Pemetaan swadaya dikenal di Direktorat Jenderal Cipta Karya sebagai Survey Kampung Sendiri.
Sosialisasi pemetaan swadaya, dilakukan serial mulai dari tingkat kelurahan (Cigugur Tengah), tingkat RW (05), tingkat RT (1-9) termasuk tokoh masyarakat. Sosialisasi dibantu tenaga fasilitator yang mengenal budaya dan perilaku setempat.
Pemetaan swadaya dilakukan dengan membentuk Tim Pendamping Masyarakat (TPM) yang dilakukan warga masyarakat dalam forum rembug warga. Metode ini digunakan untuk memastikan kepercayaan warga akan program dan pelaksananya. Hasilnya adalah bahwa TPM beranggotakan para Ketua RT di RW 05 Cigugur Tengah. TPM bertugas menggali informasi, potensi dan permasalahan di lingkungan. TPM kemudian dibekali materi teknis pelaksanaan pemetaan swadaya oleh Tim Peneliti.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner, wawancara dan diskusi, dan memetakan kondisi lingkungan serta permasalahan yang dihadapi. Data yang dikumpulkan terkait identifikasi jumlah Kepala Keluarga, kondisi prasarana dan sarana permukiman, kondisi sumber daya manusia, potensi ekonomi dan sumber daya alam.
Data yang terkumpul kemudian diolah dalam diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD). Dalam FGD pertama ditemukan hasil terkait kondisi rumah yang kurang memenuhi standar kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan. FGD kedua memiliki agenda penentuan prioritas tindak lanjut penanganan masalah yang dituangkan dalam Rancangan Program RW 5. Beberapa kebutuhan yang terungkap terkait: penanganan limbah cair rumah tangga dan limbah padat, rencana program penanganan sampah, perbaikan saluran drainase, penambahan sumber air bersih, perbaikan jalan lingkungan, penghijauan, dan penataan permukiman/bangunan. FGD ketiga dilakukan dengan melibatkan beberapa instansi pemerintah yang diperkirakan memiliki jawaban permasalahan yang sudah dirumuskan pada FGD kedua.
Fase Perancangan Program
Perancangan program dilakukan dengan menginisiasi pembentukan Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) yang beranggotakan pegawai dari instansi terkait pada Pemerintah Kota Cimahi untuk melaksanakan program di Cigugur Tengah. Pembentukan Pokjanal dilanjutkan dengan rembug warga di setiap wilayah RT. Dalam rembug warga disampaikan rencana pemberian stimulan yang harus dikelola oleh kelompok usaha. Rembug warga berikutnya dilakukan untuk membentuk Kelompok Usaha Warga Ciputri Cimahi (KUWACI) pada 9 RT.
Setelah Pokjanal dan KUWACI terbentuk, Tim Peneliti melaksanakan FGD (KUWACI) untuk memperkenalkan penyusunan proposal dan pengelolaan keuangan kelompok. Dalam FGD juga ditentukan prioritas program yaitu perbaikan drainase dan jalan lingkungan. Sebagai pendukung program, disiapkan peta swadaya drainase dan jalan lingkungan dengan bimbingan dari Pokjanal. FGD (Pokjanal) kemudian dilakukan untuk mendiskusikan Rancangan Program Pokjanal 2010 yang akan dilaksanakan di wilayah Cigugur Tengah. Hal ini perlu dilakukan supaya terjadi keterpaduan program antara setiap instansi. FGD berikutnya dilakukan dengan tujuan untuk mensinkronisasi kebutuhan KUWACI dengan program Pokjanal. Dalam FGD ini ditemukan cara kompetisi untuk penerapan insentif kelompok.
Fase Implementasi
Pada tahun 2010 kegiatan memasuki fase implementasi program. Program kegiatan yang dilaksanakan terkait dengan perbaikan saluran drainase dan jalan lingkungan. Aspek fisik program dilakukan bersamaan dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat (KUWACI). Materi peningkatan kapasitas terkait: penyusunan program kelompok, simulasi penyusunan proposal, dan simulasi pengelolaan dana kelompok. Selain itu juga disiapkan dana stimulan Rp 3 juta per kelompok.
Kegiatan dengan melibatkan keterpaduan unsur pemerintah dan komunitas warga memunculkan hasil kesimpulan terkait dengan perlunya sinkronisasi dan integrasi program instansi Pemerintah (Pusat dan Daarah), evaluasi kinerja kelompok dan penentuan prioritas program di masyarakat.
Model Penguatan Sosial
Penguatan sosial dilakukan untuk dapat mencapai keterpaduan dan keberlanjutan peran dan kapasitas pemangku kepentingan yang terlibat dalam penataan kawasan kumuh perkotaan. Keterpaduan dan keberlanjutan dilakukan dengan mengintegrasikan program dan mensinergikan kinerja antar pemangku peran.
Peningkatan peran dan kapasitas masyarakat dilakukan melalui kegiatan disemua fase: Persiapan (pelaksanaan SKS, Analisis hasil SKS, dan penyusunan usulan prioritas program), Perancangan Program (Sinkronisasi program masyarakat dengan program Dinas/Badan di lingkungan Pemerintah Kota Cimahi, dan Implementasi program (mendukung dan melaksanakan program terpadu). Peran masyarakat dalam implementasi program, yaitu dengan partisipasi sebagian masyarakat merelakan tanahnya untuk pembangunan prasarana umum (drainase dan jalan lingkungan).
Peningkatan peran dan kapasitas Pemerintah Daerah dilakukan dengan: Pembentukan Kelompok Kerja Operasional (pokjanal), yang membuktikan komitmen Pemerintah Kota Cimahi untuk pengelolaan program penataan kawasan kumuh. Forum koordinasi antara Pokjanal dengan masyarakat yang dilaksanakan dalam Focus Group Discussion (FGD), dengan agenda membahas tentang penanganan permasalahan dan pengembanngan potensi kawasan. Program kerjasama antara Pemerintah Kota Cimahi yang terdiri dari institusi Dinas dan Badang dengan komunitas masyarakat, yang bertujuan untuk menata kawasan kumuh dapat diperhatikan pada tabel 4.
Tabel 4. Capaian Program Pemerintah (Sumber: Bappeda Kota Cimahi, 2010)

Penguatan sosial masyarakat dalam penataan kawasan kumuh dapat ditempuh melalui pembentukan dan perkuatan kelembagaan yang ada di masyarakat. Dalam kasus kegiatan ini diwujudkan dalam pembentukan KUWACI disetiap RT. KUWACI dimaksudkan sebagai embrio bagi terwujudnya Kelompok Pengelola Kawasan tingkat RT.
Penguatan KUWACI dilakukan melalui pembekalan materi dan simulasi dalam FGD. Materi yang disampaikan terkait: Tata Cara Penyusunan Program, Simulasi Penyusunan Proposal dan Simulasi Pengelolaan Dana Kelompok. Disiapkan pula Dana Stimulan sebagai sarana praktek pembelajaran pengelolaan dana kelompok. Hal ini perlu untuk dilakukan, sebagai usaha mewujudkan kelompok masyarakat yang akuntabel, transparan, dan dipercaya oleh lembaga keuangan, sehingga dapat mengakses sumber pembiayaan pemerintah atau swasta yang ada. Evaluasi dilakukan kepada pengelolaan dana stimuan pada KUWACI dengan hasil pada tabel 5 dan 6.

Rangking
KUWACI
Keterangan
1
Kuwaci 01
Informasi Riil & Adm Sistematis
2
Kuwaci 05
Adm Sitematis, belum sepenuhnya terbuka
3
Kuwaci 03
Pemanfaatan pada kegiatan pinjaman social
4
Kuwaci 06
Perguliran lancar tetapi masih seputar keluarga pengurus
5
Kuwaci 08
Bergulir tetapi adm pinjaman belumm tertata
6
Kuwaci 02
Jujur, menerapkan sanksi tegas pada peminjam yang macet
7
Kuwaci 09
Bergulir tapi tidak focus pada bidang usaha bsar pinjaman yang digulirkan sedikit rata2 100rb/kk
8
Kuwaci 07
Adanya pergantian RT manajemen belum rapi
9
Kuwaci 04
Tidak ada Data
Tabel 5. Urutan dan keterangan KUWACI (sumber: tim peneliti, 2010)

Kuwaci
Stimulan awal
(yg digulirkan)
Anggota peminjam awal
Anggota perguliran
Jumlah s/d maret
aset yg digulirkan
kas
Rata-rata pinjaman
Ranking
01
3,000,000
10
5
15
3,060,000
315,000
300,000
1
02
3,000,000
10
0
10
3,715,000
36,000
300,000
6
03
3,000,000
10
2
12
3,399,000
1,199,000
300,000
3
04
3,000,000
10
0
10
3,000,000
-
300,000
9
05
3,000,000
10
10
20
3,000,000
240,000
300,000
2
06
3,000,000
10
3
13
3,000,000
12,000
300,000
4
07
3,000,000
10
0
10
3,000,000
120,000
300,000
7
08
3,000,000
10
5
15
3,000,000
67,000
300,000
5
09
2,500,000
10
12
22
3,500,000
500,000
200,000
8
Jumlah
26,500,000
90
37
127
28,674,000
2,489,000

 














Tabel 6. Tahapan dan capaian Kuwaci Oktober 2009 - Maret 2010 (tim peneliti, 2010)

Sinergitas kinerja dan integrasi program yang dilakukan, terbukti dapat meningkatkan efektivitas program kerja pemerintah daerah, terkait penataan kawasan dan mengembangkan kapasitas kemitraan pemerintah daerah dan masyarakat, dalam penanganan kawasan kumuh. Penguatan sosial diperlukan dengan tujuan akhir untuk menyiapkan masyarakat kearah perubahan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Adanya partisipasi masyarakat berupa kontribusi lahan untuk investasi infrastruktur dan peningkatan peran masyarakat dalam proses penataan daerah kumuh. Dalam proses mencapai tujuan ini dapat muncul dinamika masyarakat mulai dari adanya penolakan, pencarian informasi sampai munculnya komitmen.
Tiga aspek utama terkait penataan wilayah yaitu institusi, infrastruktur dan intervensi selektif dipandu oleh manajemen perubahan nyata dalam kasus penataan kawasan kumuh di Cigugur Tengah kota Cimahi. Variabel tersebut perlu ditambah dengan pengelolaan komunikasi, terkait dengan metode, waktu, agenda, tempat dan hal lain dalam komunikasi.
Input yang diperlukan untuk keberhasilan penguatan sosial pada penataan kawasan kumuh paling tidak terdiri dari empat hal, yaitu penggalian potensi masyarakat, sinkronisasi program pemerintah, pengembangan potensi kawasan, dan aplikasi kebijakan dan peraturan. Dinamika penguatan sosial dapat diperhatikan pada tabel 6.
Potensi masyarakat
Program pemerintah
Potensi kawasan
Kebijakan&peraturan
institusi
peningkatn kapasitas
komunikasi
intervensi
Kesiapan berubah
Pengadaan lahan
Peningkatan peran masyarakat
 












            INPUT                                  PROSES                             OUTPUT        
Tabel 6. Alur proses penguatan sosial (sumber: tim peneliti, 2010)
Kawasan Kumuh Perkotaan sebagaimana kawasan lainnya di perkotaan, harus dapat mengakomodasi prinsip sinergi kerja antara pemerintah, komunitas, profesional, dan pengguna layanan. Hal ini diperlukan untuk pengambilan keputusan, perancangan dan implementasi program bagi peningkatan aspek sosial dengan menggunakan sumber daya, komitmen dan keahlian yang ada. Penguatan sosial pada kawasan kumuh perkotaan dilakukan dengan mengumpulkan dan mengolah data untuk pelaksanaan kegiatan. Kegiatan diawali dengan membuat daftar kebutuhan data, dilanjutkan dengan melakukan pengumpulan data (misal dengan pemetaan swadaya), penggunaan data, dan pengembangan sistem informasi.
Rancangan kegiatan seperti terlihat dalam tabel 7, menunjukan peran governansi, yaitu pengelolaan wewenang dalam mengatur kehidupan publik dari pihak pemerintah dan masyarakat, berperan penting dalam aspek sosial-ekonomi. Sebagai upaya mengantisipasi karakter dan profil psikodemografis daerah kumuh yang beragam, pola governansi dilakukan untuk menjamin peningkatan kualitas sosial. Masyarakat perlu dengan jelas melihat nilai tambah yang ditawarkan dan bagaimana nilai tambah ini sampai ke mereka. Kegiatan penataan kawasan kumuh harus dapat memastikan bagaimana nilai tambah ini diciptakan, terutama oleh aktivitas utama masyarakat bersama-sama mitra kerja.



 










Tabel 7. Aktifitas Penguatan Sosial pada Penataan Kawasan Kumuh Perkotaan
(sumber: tim peneliti, 2010)

Kesimpulan

Peningkatan kapasitas governansi pemerintah dapat dilakukan dengan mendorong Pimpinan Daerah, memberikan komitmen untuk menetapkan Kawasan Prioritas dalam peningkatan kualitas sosial wilayah. Membentuk unit kerja Pengelola Kawasan yang memiliki tugas meningkatkan kualitas sosial pada penataan kawasan kumuh.
Peningkatan kapasitas governansi komunitas masyarakat dapat dilakukan dengan pemberian komitmen warga, terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, perencanaan, implementasi, pemeliharaan, pengawasan dan kontribusi peningkatan kualitas sosial ekonomi pada penataan kawasan kumuh prioritas.
Sinergitas kerja pemerintah dan masyarakat dapat diwujudkan dalam kerangka kemitraan, yaitu kerjasama operasional berbasis lokasi atau kerjasama berbasis sumber luar/ out source. Pembiayaan kegiatan dapat berbentuk uang tunai maupun natura lain, yang komposisinya mempertimbangkan efektifitas tujuan program.

Daftar Pustaka

Andini, Ike, 2013, Sikap dan Peran Pemerintah Kota Surabaya terhadap Perbaikan Daerah Kumuh di Kelurahan Tanah Kalikedinding Kota Surabaya, Kebijakan dan Manajemen Publik, Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
Basri, Hasyim dan Ispurwono, dan Soemardiono, 2010, Model Penanganan Permukiman Kumuh, Studi Kasus Permukiman Kumuh Kelurahan Pontap Kecamatan Wara Timur Kota Palopo, Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010
Suprijanto, Iwan, 2004, Reformasi Kebijakan & Strategi Penyelenggaraan Perumahan & Permukiman, Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 32, No. 2, Desember 2004: 161 – 170, Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra.
Tim Peneliti, 2010, Peningkatan Kualitas Sosial dan Ekonomi Dalam Rangka Penataan Kawasan Kumuh Perkotaan, Balai Litbang Sosial Ekonomi Bidang Permukiman. Yogyakarta
Tim Peneliti, 2008, Laporan Penelitian Pengembangan Model Pendampingan Masyarakat dalam Peremajaan Kawasan Kumuh Perkotaan, Balai Litbang Sosial Ekonomi, Yogyakarta
Handayani, Sri, 2009, Penerapan Metode Penelitian Participatory Research Apraisal dalam Penelitian Permukiman Vernakular (Permukiman Kampung Kota), Proceeding Seminar Nasional Penelitian Arsitektur – Metoda dan Penerapannya Seri 2 UNDIP Semarang
Harry Hikmat, (2000), Andalsos : Pascasarjana Manajemen Pembangunan Sosial, Analisis Dampak Lingkungan Sosial : Strategi Menuju Pembangunan Berpusat Pada Rakyat (People Centred Development), UI, Jakarta
Hermanto, E, 2011, Permasalahan Lingkungan di Permukiman Kumuh Kota Medan (Studi Kasus di Kecamatan Medan Belawan), Semai Teknologi, Volume 5, Nomor 1, Juni  2011
Heston, Yudha, 2011, Peran Aspek Sosial Ekonomi dalam Penataan Kawasan Kumuh Perkotaan, Buletin Cipta Karya - 08/Tahun IX/Agustus 2011
Tanuwidjaja, Gunawan, Mustakim, Hidayat, Maman, Sudarman, Agus, 2009, Integrasi Kebijakan Perencanaan dan Desain Rumah Susun yang Berkelanjutan, dalam Konteks Pembangunan Kota yang Berkelanjutan In: Seminar Nasional 2009 oleh Univ.Kristen Maranatha, 15 Agustus 2009, Bandung.
Widigdo, Wanda dan Hartono, Samuel, Bantaran Kali Jagir, Surabaya sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). http://fportfolio.petra.ac.id/



[1] Peneliti Balai Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Permukiman

PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA PROYEK THE DEVELOPMENT AND UPGRADING OF THE STATE UNIVERSITY OF JAKARTA (PHASE 2) CIVIL WORKS (Studi Kasus Pekerjaan Pemasangan Dinding Bata Ringan)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...