Yudha Pracastino
Heston*)
Sungai Citarum sebagai sungai
terbesar di Jawa Barat, memiliki banyak fungsi penting, salah satu yang utama adalah
sebagai sumber air baku bagi masyarakat Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Wilayah hulu sungai Citarum meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung,
Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung Barat.
Kualitas sungai Citarum sampai
saat ini cenderung masih memprihatinkan karena tercemar oleh berbagai limbah.
Pencemaran sungai ditandai dengan adanya polutan organik terlarut (BOD dan
COD), yang melebihi ambang batas dan mengakibatkan berkurangnya kadar oksigen
di dalam air. Limbah domestik berupa sampah, limbah cair dan tinja menjadi
sumber pencemar terbesar sungai.
Sebagai upaya mencegah pencemaran
limbah domestik cair dan tinja, telah disiapkan instalasi pengolahan air limbah
disingkat IPAL dan IPLT (lumpur tinja). Sampai saat ini secara jumlah,
kebutuhan IPAL/IPLT masih belum mencukupi, selain itu terdapat beberapa masalah
dalam tata kelola, yaitu aspek pengambilan keputusan pengelolaan IPAL/IPLT.
Tulisan ini menjadi ekstraksi
dari laporan penelitian berjudul Perbaikan Tata Kelola IPAL dan IPLT untuk
Mengatasi Pencemaran Air Baku DAS Citarum, Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman,
di tahun 2016, yang dikerjakan penulis bersama tim peneliti.
Masalah Tata Kelola
Masalah non teknis terkait tata
kelola IPAL/IPLT di DAS Citarum yang dapat teridentifikasi, misalnya terkait
dengan regulasi atau aspek peraturan. Sampai saat ini belum terdapat aturan
setingkat undang-undang dan peraturan pemerintah, yang spesifik mengatur
pengolahan air limbah domestik, sebagai sumber pencemar utama sungai Citarum.
Acuan aturan dalam pengelolaan limbah domestik saat ini, lebih mengikuti
peraturan menteri lingkungan hidup. Hal ini juga diikuti dengan upaya penegakan
peraturan yang juga cenderung masih lemah dan permisif.
Sumber pendanaan untuk kebutuhan investasi
alat dan operasional IPAL/IPLT terpusat, selain IPAL Bojongsoang milik PDAM
Tirta Wening Kota Bandung, masih lebih mengandalkan anggaran pemerintah (daerah
maupun pusat). Sehingga ditemukan kesulitan ketika IPAL memerlukan pemeliharaan
dalam skala besar dan kebutuhan pengembangan layanan.
Masalah lain terkait ketersediaan
tenaga kerja sektor limbah, terbukti dengan banyak operator yang masuk usia
purna bakti dan masih dikaryakan, tenaga kerja yang tidak sebanding dengan luas
daerah layanan dan jumlah pelanggan. Kompetensi petugas untuk kebutuhan
pekerjaan teknis maupun administratif yang kurang sesuai. Pelatihan teknis dan administratif menjadi
sebuah kebutuhan, yang perlu diadakan secara berkala dan berkelanjutan, bagi para pegawai selama menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Struktur organisasi pengelolaan juga
menjadi bagian yang perlu
ditinjau kembali.
Solusi Tata Kelola
Untuk mewujudkan tata kelola IPAL/IPLT yang baik, diperlukan perbaikan kebijakan dalam tiga aspek utama,
sebagaimana dibahas, yaitu regulasi,
pendanaan, dan kelembagaan. Solusi kebijakan terkait aspek regulasi, yang dapat dilakukan misalnya
dengan melakukan kajian menyeluruh
mengenai regulasi terkait tata kelola IPAL/IPLT, sehingga dapat diidentifikasi kesenjangan peraturan dan peraturan
yang tumpang tindih. Jikalau diperlukan dapat dibentuk tim
khusus untuk merumuskan peraturan-peraturan sebagai payung hukum pengelolaan
IPAL/IPLT, yang meliputi
pengelolaan air limbah (domestik), struktur organisasi (termasuk uraian tugas dan jabatan) pengelolaan air limbah, penentuan retribusi atau tarif, perlindungan
kesehatan dan keselamatan kerja, dan
sanksi yang perlu untuk diterapkan. Peninjauan, pembentukan atau penguatan lembaga pengelola air limbah, perlu
dilakukan setelah dilakukan penjajakan kebutuhan.
Beberapa contoh solusi
dari aspek pendanaan, yaitu diperlukan priotisasi alokasi dana,
terutama dari APBD untuk operasional
dan perbaikan sarana-prasarana pengelolaan air limbah, agar pengelolaan air limbah berkelanjutan. Kebutuhan kolaborasi dengan pihak swasta sehingga dapat membantu penyediaan kebutuhan pendanaan IPAL/IPLT. Kemitraan dengan pihak swasta ini bertujuan untuk mewujudkan penyediaan sanitasi yang aman terutama sarana pengelolaan air limbah
domestik.
Perbaikan kelembagaan dapat dilakukan sesuai kemampuan daerah dan kebutuhan
pelayanan, dengan pilihan
bentuk berupa Unit Pelayanan Teknis
Badan (UPTB), Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), maupun kerjasama dengan Badan Usaha (swasta). Diperlukan adanya kajian akademis terkait pembagian wewenang dalam
pembangunan, operasi, pengembangan, dan pengawasan IPAL/IPLT.
Selanjutnya diperlukan penyusunan dokumen
prosedur standar operasional, untuk memastikan proses tata kelola IPAL/IPLT
dapat berjalan sesuai
dengan tujuan yang akan dicapai. Upaya
peningkatan kualitas dan kuantitas sumber
daya manusia, yang terlibat dalam pengelolaan limbah, melalui pelatihan, supervisi, pengawasan dan evaluasi secara rutin dan berkala. Pemberian penghargaan bagi pengelola
instalasi berprestasi dapat dikembangkan untuk mengapresiasi kinerja. Dapat
juga ditingkatkan lagi peran penilik sanitasi, untuk dapat mengawasi kinerja fasilitas sanitasi keluarga dan
komunitas.
Selain rekomendasi kebijakan dalam aspek regulasi, pendanaan, dan
kelembagaan, beberapa strategi tambahan untuk mewujudkan tata kelola IPAL/IPLT berkelanjutan, yaitu memberdayakan
masyarakat dalam tahap persiapan dan pengelolaan instalasi, juga berpartisipasi
dalam menjaga pentingnya sarana prasarana, perilaku sanitasi yang benar dan pentingnya pembayaran retribusi. Sebagai catatan akhir diperlukan upaya yang sungguh dari pengelola,
sehingga muncul keuntungan
pengelolaan IPAL/IPLT minimal 2-3% dari total biaya, sehingga dapat dialokasikan untuk pengembangan, yang didukung penerapan inovasi teknologi memanfaatkan bahan
lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar