Senin, 09 Oktober 2017

PENGEMBANGAN WISATA SEJARAH SEBAGAI PENGUATAN IDENTITAS KAWASAN KABUPATEN PULAU MOROTAI

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Telah dipresentasikan di Seminar Samarta 2017, dan masuk dalam Proceeding Seminar Samarta 2017.

Yudha P. Heston1), Yonanda Rayi Ayuningtyas2), dan Rivaldo Okono3)
1) 2) 3)Balai Penelitian dan Pengembangan Penerapan Teknologi Permukiman
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
pracastino@gmail.com
yonandarayi@gmail.com
rivaldo.okono@gmail.com

ABSTRACT
Morotai Island District as a National Tourism Strategic Area, has a geographical condition which has potential as a marine and historical tourism destination. This study was conducted to formulate the strengthening concept of Morotai Island Regency‘s identity by finding the potential power of historical tourism. This research is conducted by reviewing the historical tourism potential development with descriptive method and qualitative approach. Analysis is done by discussing the aspect of tourism development in Morotai Island District, then by analysing the opportunity for improvement (OFI) and action for improvement (AFI), by using Kevin Lynch theory of “image of the city element“ as its framework. The results show that World War II historical tourism development can be implemented in order to strengthen the identity of Morotai Island, as tourism destination.
Keywords: tourism, history, identity, Morotai-Indonesia

ABSTRAK
Kabupaten Pulau Morotai sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, memiliki kondisi geografis yang berpotensi sebagai kawasan wisata bahari dan juga memiliki nilai sejarah yang berpotensi sebagai kawasan wisata sejarah. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab bagaimana rumusan konsep penguatan identitas Kabupaten Pulau Morotai dengan terlebih melihat pada potensi kekuatan wisata sejarah. Penelitian ini dilakukan dengan meninjau potensi pengembangan wisata sejarah dengan metode deskriptif dan pendekatan kualitatif. Analisis pembahasan dilakukan dengan membahas aspek pengembangan pariwisata di Kabupaten Pulau Morotai, kemudian melihat potensi pengembangan dan merumuskan rencana aksi pengembangan dengan menggunakan framework elemen pembentuk citra kawasan. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa pengembangan wisata sejarah dapat sejalan dengan penguatan identitas Kabupaten Pulau Morotai sebagai destinasi wisata yang memiliki nilai sejarah Perang Dunia ke II.
Kata Kunci: pariwisata, sejarah, identitas, Morotai-Indonesia

PENDAHULUAN

Kabupaten Pulau Morotai merupakan wilayah kepulauan yang terdapat di sebelah timur Indonesia dan termasuk dalam salah satu pulau terluar Indonesia (Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah, 2016). Morotai berasal dari kata Morotai yang artinya tempat tinggal orang-orang Moro. Orang moro dipercaya masyarakat sebagai manusia misterius atau orang hilang (Jawa-Moksa) yang sulit dilihat dengan mata biasa, namun memiliki kebudayaan sebagai kelompok manusia biasa. Masyarakat Kabupaten Pulau Morotai hidup cenderung berkelompok, walaupun sebagian besar berasal dari agama dan suku yang berbeda. Kegotongroyongan, saling menghargai perbedaaan keyakinan, menjadi salah satu ciri masyarakat Kabupaten Pulau Morotai. Pulau Morotai tidak memiliki penduduk asli yang menetap secara turun temurun. Penduduk yang menetap saat ini berasal dari Suku Tobelo dan Suku Galela dari Pulau Halmahera (Pemerintah Daerah Kabupaten Pulau Morotai, 2014).
Kabupaten Pulau Morotai memiliki fungsi strategis sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, Kawasan Ekonomi Khusus Morotai yang dikhususkan pada industri pengolahan, dan Kawasan Terpadu Mandiri Morotai (BPIW, 2016). Kabupaten Pulau Morotai sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, selain memiliki kondisi geografis yang berpotensi sebagai kawasan wisata bahari dan air terjun, Pulau Morotai juga memiliki potensi daya tarik wisata sejarah (BPIW, 2016; Astuti dan Noor, 2016). Mansyur (2013) menjabarkan sejarah Pulau Morotai yang dikenal sebagai pangkalan militer Pasukan Sekutu dalam upaya penyerangan terhadap kekuatan militer Jepang di Filipina. Invasi kekuatan militer Jepang, dalam Perang Dunia II, menguasai hampir seluruh kawasan Asia-Pasifik, sehingga pada 15 September 1944, Pasukan Sekutu dibawah pimpinan Jenderal Douglas Mac. Arthur berhasil melakukan pendaratan dan merebut Pulau Morotai dari militer Jepang. Pasukan Sekutu kemudian berhasil menjadikan Morotai sebagai pangkalan utama yang yang kemudian berlanjut keberhasilan mereka menguasai Filipina. Keberhasilan ini sekaligus menjadi bagian awal keberhasilan Pasukan Sekutu memenangkan Perang Dunia II. Kondisi ini menyebabkan banyaknya peninggalan perang dunia II yang perlu dilestarikan dan berpotensi sebagai daya tarik wisata. Kencana dan Arifin (2010) menegaskan pengembangan wisata sejarah dengan memberdayakan elemen dan lanskap sejarah sebagai obyek wisata merupakan salah satu cara atau bentuk pelestarian elemen dan lanskap sejarah itu sendiri.
Idid dalam Mulyadi dan Sukowiyono (2014) mengatakan bahwa heritage mengandung nilai-nilai penting dan merupakan salah satu elemen pendukung identitas suatu bangsa. Identitas didefinisikan sebagai citra atau image suatu tempat sehingga dapat membedakannya dengan tempat lain. Sedangkan menurut Rizaldi, dkk (2010) dalam rangka penguatan identitas kawasan, diperlukan juga pelestarian dan penguatan terhadap citra kawasan. Lynch dalam Wulanningrum (2014) mendefinisikan citra kawasan sebagai gambaran mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time) yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri.
Penelitian dilakukan untuk menjawab pertanyaan, bagaimana rumusan konsep penguatan identitas Kabupaten Pulau Morotai dengan terlebih melihat pada potensi kekuatan wisata sejarah?

KAJIAN PUSTAKA

Aspek Pengembangan Wisata

Zakaria & Suprihardjo (2014) berpendapat bahwa dalam kegiatan pariwisata terdapat beberapa komponen penting yang berperan dalam proses pengembangan pariwisata pada suatu kawasan yang dibagi menjadi dua faktor yaitu komponen penawar dan komponen permintaan dari pariwisata. Adapun aspek penunjang dalam proses pengembangan pariwisata menurut Mamarodia (2014), yaitu atraksi sebagai produk utama sebuah destinasi, aksesibilitas terkait sarana dan infrastruktur utama pendukung destinasi, amenitas adalah segala fasilitas pendukung dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berada di destinasi, ancilliary terkait keberadaan organisasi dan kelembagaan pengelola destinasi wisata.
Pengembangan Heritage Kawasan Wisata
Hall dan Arthur dalam Zakaria &Suprihardjo (2014) membagi cultural heritage ke dalam beberapa tipe yaitu artefacts, buildings, site (collection of building, artifact, and/or site of historical event), townscape, dan lanscape. Menurut UU No. 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya menerangkan bahwa bangunan bersejarah atau kuno adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sia-sia, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayan; benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Maryani & Logayah (2014) berpendapat adapun produk wisata budaya yang terdiri dari atraksi dan benda peninggalan. Seperti  arkeologi, sejarah dan situs budaya, pola kebudayaan yang memiliki ciri khas, seni dan kerajinan tangan, kegiatan ekonomi yang menjadi daya tarik wisatawan, daerah perkotaan yang menarik, festival budaya serta museum dan fasilitas pendukung budaya lainnya.
Elemen Pembentuk Identitas Kawasan
Identitas merupakan salah satu komponen pembentuk citra kawasan. Komponen lainnya pembentuk citra kawasan yaitu struktur sebagai potensi yang disusun atau seseorang melihat pola kawasan, dan makna sebagai potensi yang dibayangkan atau seorang dapat melihat ruang perkotaan. Sedangkan identitas sebagai potensi yang dibacakan, atau bagaimana seseorang dapat memahami gambaran perkotaan (Lynch dalam Wulanningrum, 2014). Dalam penelitian ini, elemen penguat identitas kota merujuk pada elemen citra kota yang diberikan Lynch dalam Wulanningrum (2014) yaitu: (1) Path, berupa sebuah jalur yang digunakan untuk bergerak atau berpindah; (2) Edges, merupakan sebuah batas, yang memiliki identitas yang kuat karena tampak visualnya yang jelas, dapat berupa suatu desain, jalan, sungai, dan gunung; (3) District, merupakan suatu bagian kawasan yang memiliki karakter atau aktivitas khusus yang dapat dikenali; (4) Node, merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau aktivitas saling saling bertemu dan dapat berubah kearah atau aktivitas lain. Misalnya persimpangan jalan, stasiun, lapangan terbang, jembatan, pasar, dan taman. (5) Landmark, merupakan simbol yang menarik secara visual dengan sifat penempatan yang menarik perhatian.
Peninggalan Perang Dunia II di Morotai
Kabupaten Pulau Morotai berada di Provinsi Maluku Utara yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara dan dibentuk pada tanggal 29 Oktober 2008, diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri, berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Pulau Morotai. Kabupaten Pulau Morotai sendiri memiliki sejarah tentang perang dunia II dan memiliki beberapa lokasi peningalan yang menyimpan beberapa barang bukti dari peninggalan perang dunia II. (Arsul, dkk, 2015). Berikut adalah beberapa lokasi di Kabupaten Pulau Morotai yang memiliki potensi wisata sejarah karena memiliki peninggalan serta nilai sejarah dari perang dunia II:
a.       Pulau Sum-sum, merupakan pulau kecil yang lokasinya tidak jauh dari Kota Daruba dan memiliki karakteristik pulau dengan pasir putih. Pulau sum-sum pernah didiami oleh Jenderal Douglas McArthus yang adalah pemimpin pasukan sekutu untuk kawasan Asia Pasifik ketika perang dunia II.
b.       Landasan Pitoe, merupakan landasan pacu pesawat terbang yang memiliki tujuh landasan pacu pesawat. Landasan pitoe pada september 1944 dijadikan sebagai lokasi pendaratan tentara sekutu ke Morotai yang dipimpin oleh Jenderal MacArthur. Lokasi landasan Pitoe dipilih karena lokasinya yang strategi dan dekat dengan Filipina serta berada di sisi Samudera Pasifik.
c.        Gua Air Kaca, pada perang dunia II dijadikan sebagai sumber permandian oleh Jenderal Douglas MacArthur serta juga dipercaya digunakan sebagai sumber air minum oleh tentara sekutu. Air kaca memiliki karakteristik dengan airnya yang jernih dan sebening kaca sehingga masyaratkat menyebutnya sebagai air kaca.
d.       Monumen Trikora, berada di Desa Wawama dan merupakan monumen peringatan untuk memperingati pendaratan tentara Indonesia dalam operasi Trikora. Operasi Trikora adalah operasi untuk mengambil kembali wilayah Barat Papua yang pada waktu itu Belanda menganggap wilayah tersebut masih masuk dalam provinsi Kerajaan Belanda. Lokasi Morotai yang strategis, dipilih sebagai salah satu pangkalan terluar untuk menyerang Belanda di Papua.
e.        Gua Nakamura, pada tahun 1974 atau 30 tahun setelah perang dunia II ditemukan seorang tentara Jepang yang bernama Teruo Nakamura yang bersembunyi di hutan Morotai. Nakamura bersembunyi di pengunungan Galoka kerena menolak menyerah kepada tentara sekutu dan pada akhirnya ditemukan oleh tim pencari TNI-AU atas permintaan bantuan dari Jepang.
f.        Museum Perang Dunia II, berlokasi di Desa Juanga dan merupakan museum yang baru dibangun pada tahun 2012 ketika pelaksanaan Sail Morotai yang berisi berbagai barang peninggalan –peninggalan perang selama perang dunia II.
Bentuk Arsitektur Tradisional Morotai
Kabupaten Pulau Morotai pada dasarnya tidak memiliki arsitektur tradisional khas Morotai. Arsitektur tradisonal Pulau Morotai saat ini dikembangkan dari arsitektur tradisional Kota Tobelo yang disebut sebagai rumah adat Hibualamo, yang digunakan untuk menampung aspirasi budaya masyarakat Kota Tobelo. Rumah adat Hibualamo merupakan sebuah rumah besar yang dipercaya didiamin oleh keluarga besar dari 10 suku yang tersebar di seluruh daratan Halmahera, Loloda dan Pulau Morotai sendiri. Rumah adat Hibualamo pada dasarnya berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya upacara-upacara adat dan sebagai tempat pertemuan pemimpin dan rakyat dan memiliki nilai atau makna universal yakni sebagai pusat kekerabatan tanpa membedakan asal-usul seorang selama ia menerima nilai-nilai budaya masyarakat Hibualamo (Qomariyah, dkk. 2010).

Dari sisi arsitekturnya, bangunan adat Hibualamo memiliki ciri khas berbentuk delapan sudut dengan pintu masuk mengarah ke empat mata angin. Orang Tobelo sendiri mengistilahkan dengan wange mahiwara (pintu bagian timur), wange madamunu (pintu bagian barat), koremie (pintu bagian utara) dan korehara (pintu bagian selatan), yang mengisyaratkan tentang keterbukaan, sehingga siapa saja yang datang akan di terima di Hibualamo (Qomariyah, dkk. 2010).

Arsitektur lokal Kabupaten Pulau Morotai yang ada saat ini adalah bangunan-bangunan hasil adaptasi dari bangunan adat Hibualamo yang dikemas dengan bentuk maupun fungsi bangunan yang baru. Jika dilihat lebih dalam lagi baik dari sisi bentuk dan ukurannya dibuat lebih sederhana baik dari bentuk fasadnya maupun bentukkan atapnya, untuk luasan dan pembagian ruang dalamnya disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing penghuni rumahnya sehingga lebih bervariasi antar rumah yang satu dengan yang lainnya.

Gambar 1. Bentuk Arsitektur Tradisional Morotai
Sumber: Survey Lapangan (2017)
metode penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Pulau Morotai, dengan meninjau utamanya pada potensi-potensi pengembangan kegiatan pariwisata. Penelitian dilakukan dengan memperhatikan kondisi atraksi-atraksi wisata yang telah dikembangkan sebelumnya, baik oleh instansi pusat maupun daerah, ataupun dikembangkan oleh masyarakat setempat. Penelitian dikerjakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, menggunakan metode deskriptif (Putri E.A., Suwandari A., Ridjal J.A., 2015), dimana metode ini dipakai untuk meneliti suatu objek pada masa sekarang dan bertujuan untuk membuat deskripsi atau penggambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fenomena yang diselidiki dengan lebih mengutamakan penyajian data, baik yang diperoleh secara primer maupun yang didapat dari data-data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait (Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Kesehatan, maupun data dari instansi pusat (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat).
Penentuan subyek penelitian dilakukan secara purposive atau disebut juga sebagai metode criterion based selection (Betty G., B., Widodo, Y., Tari A.I.N., 2014). Metode ini dilakukan dengan cara menempatkan subyek penelitian dengan terencana, dan memungkinkan untuk memperluas informasi yang diperlukan, karena di dalam penelitian kualitatif jumlah informan bukan menjadi penentu, namun lebih pada kualitas informasi yang dimiliki oleh sebuah subyek penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan mengedepankan studi literatur, menggunakan data sekunder, selain itu juga dilakukan observasi kawasan wisata yang ada di Kabupaten Pulau Morotai, dilakukan pada bulan April dan Juni 2017.
Analisis penelitian dilakukan dengan lebih dahulu menerjemahkan variabel dan kriteria penelitian ke dalam definisi operasional. Variabel dan kriteria yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tiga atribut, yaitu yang pertama terkait variabel pengembangan pariwisata (Mamarodia, M. D., 2014), yaitu atraksi, aksesibilitas, amenitas, dan ancilliary. Atribut kedua terkait potensi wisata yang ada di Kabupaten Pulau Morotai, yaitu wisata alam (bahari) dan wisata sejarah (heritage). Atribut terakhir terkait dengan kemungkinan untuk adanya pengembangan (Opportunity For Improvement) dan tindakan untuk pengembangan (Action For Improvement)
Gambar 2. Pola Pikir Analisis
Sumber. Analisis (2017)
Penyajian data dan analisis disajikan dalam bentuk deskriptif kualitatif. Setelah analisis dan pembahasan dilakukan, penelitian dilakukan dengan merumuskan rekomendasi, rekomendasi terkait penguatan citra kawasan dalam lingkup 5 elemen, yaitu path, node landmark, edge, dan district sesuai dengan karakteristik wilayah, mengedepankan konsep heritage, dan juga menghasilkan rekomendasi untuk pemerintah setempat dalam penyusunan dokumen perencanaan dan perijinan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Infrastruktur di Kabupaten Pulau Morotai dibangun secara besar-besaran saat persiapan event Sail Morotai 2012. Dibangunnya infrastruktur pendukung pariwisata seperti jalan utama yang hampir mengelilingi Pulau Morotai, pagar yang membentuk kesan rapi pada permukiman penduduk yang dilalui jalur utama, toilet umum, dan sarana prasarana lainnya yang dibangun secara masiv untuk mendukung event tersebut. Munculnya hotel dan penginapan, rumah makan, dan didukungnya rumah penduduk menjadi homestay oleh Pemerintah Daerah juga menjadi titik bangkitnya pariwisata di Kabupaten Pulau Morotai. Namun hal ini tidak berlangsung berkelanjutan, berdasarkan hasil wawancara dengan SKPD terkait, setelah event Sail Morotai 2012 selesai, banyak penginapan dan rumah makan yang tutup, fasilitas yang telah dibangun untuk Sail Morotai pun tidak terpelihara. Kondisi aspek-aspek pendukung pariwisata, yaitu atraksi, aksesibilitas, amenitas, dan ancillary di Kabupaten Pulau Morotai inilah yang akan dianalisis lebih lanjut untuk melihat upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat identitas Kabupaten Pulau Morotai berdasarkan potensi wisata sejarah yang ada.
Kabupaten Pulau Morotai terdiri dari 53 pulau-pulau kecil yang tersebar di sekitar Pulau Morotai dan memiliki kekayaan alam, flora dan fauna laut sehingga memiliki potensi wisata untuk dikembangkan. Salah satu potensi wisata yang dimilki Kabupaten Pulau Morotai adalah wisata sejarah, yakni terdapat beberapa spot wisata yang memiliki peninggalan perang dunia II, dan menarik untuk dikunjungi wisatawan. Produk wisata sejarah di Kabupaten Pulau Morotai terbentuk karena masih banyaknya sisa peninggalan perang Dunia ke II, berupa alat-alat perang yang masih berada di dasar laut Kepulauan Morotai, sebagian telah disimpan di Museum Perang Dunia II Morotai yang dibangun saat Sail Morotai 2012(Astuti dan Noor, 2016). Museum Perang Dunia II ini juga menjadi salah satu atraksi sejarah yang ada di Kabupaten Pulau Morotai. Namun sayangnya, dari hasil pengamatan di lapangan, fasilitas ini sudah tidak terkelola dengan baik, dan sudah tidak dibuka untuk umum.  Selain itu, untuk melihat jejak sejarah di Kabupaten Pulau Morotai, telah dibangun monument-monumen untuk menandai lokasi-lokasi bersejarah, seperti Pulau Sum-sum yang telah dibangun Patung Mc Arthur, wisatawan tidak hanya mendapat informasi sejarah, namun juga keindahan alam pasir putih dari pulau ini. Selain itu terdapat daya tarik wisata sejarah lain seperti Patung Nakamura, Gua air kaca, dan peninggalan perang dunia ke II juga dapat dinikmati dengan aktivitas snorkeling dan diving di beberapan titik di perairan Pulau Morotai. Kesenian tradisional masyarakat berupa tarian budaya seperti tarian cakalele atau tarian perang juga menjadi salah satu daya tarik wisata sejarah di Kabupaten Pulau Morotai. Namun, terdapat juga peninggalan sejarah berpotensi sebagai daya tarik wisata, namun tidak dikelola dengan baik, seperti peninggalan tank yang ada di Kecamatan Morotai Selatan, tidak dilengkapi dengan infrastruktur pendukung pariwisata yang memadai, lokasinya yang berada di permukiman, tidak adanya penanda, dan buruknya jalan akses masuk lokasi menjadi salah satu kurangnya minat wisatawan untuk berkunjung ke beberapa titik lokasi wisata sejarah di Kabupaten Pulau Morotai.
Kondisi geografis Kabupaten Pulau Morotai yang merupakan daerah kepulauan membuat kehidupan masyarakat lebih mengarah ke daerah pesisir, hal ini dapat terlihat dari sebaran permukiman penduduk yang sebagian besar berada di daerah pesisir. Akses utama dari dan ke Pulau Morotai awalnya hanya dapat ditempuh melalui jalur laut, dengan menggunakan kapal Feri atau speedboat dari dan ke Pelabuhan Daruba. Namun kini, Kabupaten Pulau Morotai telah dapat diakses melalui jalur udara melalui Bandar Udara Pitu Morotai yang merupakan Bandar Udara Militer yang sudah dibuka juga untuk penerbangan sipil. Saat ini baru satu maskapai dan satu rute penerbangan perhari yang melayani penerbangan dari dan menuju Morotai melalui Bandara Sultan Babullah Ternate. Aksesibilitas jalan utama dan jalan lingkungan di pulau besar Morotai memiliki kondisi yang baik dengan jalan utama memiliki 4 lajur jalan yang diberi pembatas. Kendaraan yang ada di Kabupaten Pulau Morotai tidak banyak. Kendaraan pribadi didominasi oleh kendaraan roda 2, sedangkan kendaraan umum didominasi oleh bentor (becak motor), dan terdapat beberapa taksi plat hitam yang lebih banyak beroperasi untuk mengantarkan penumpang dari bandara ke Kota Daruba dengan besar tarif Rp 50.000,- per orang atau Rp 150.000 per mobil jika bersama rombongan. Untuk menuju kawasan wisata yang ada di pulau-pulau kecil, wisatawan harus menggunakan speedboat atau katinting (perahu kecil yang banyak dimiliki penduduk pulau) dengan patokan harga yang belum ditentukan, sehingga ada oknum pengelola perahu yang mematok harga tinggi ke wisatawan. Hal ini juga menjadi salah satu kekurangan dalam pengelolaan pariwisata ke pulau-pulau kecil di Kabupaten Pulau Morotai.
Dari hasil pengamatan dilapangan, kondisi amenitas di Kabupaten Pulau Morotai, sudah terdapat hotel dan penginapan yang memadai. Resort D’Aloha yang dikelola oleh PT Jababeka misalnya, menjadi satu—satunya resort yang ada di Kabupaten Pulau Morotai. Adanya beberapa hotel dan penginapan lain yang ada di Kawasan Perkotaan Daruba juga belum mencukupi kebutuhan wisatawan, hal ini dapat terlihat dari susahnya mencari kamar yang memadai. Adanya rumah penduduk yang dijadikan homestay juga menjadi alternative pilihan akomodasi di Kabupaten Pulau Morotai, sekaligus dapat merasakan kehidupan masyarakat secara langsung. Keberadaan rumah makan di Kabupaten Pulau Morotai sudah banyak tersebar di Kawasan Perkotaan Daruba, ikan namun pelayanan yang didapat belum dapat maksimal, masih terdapat oknum pedagang yang memberi tarif tinggi untuk wisatawan. Selain itu, untuk penjualan cinderamata khas, Dinas Perdagangan Kabupaten Pulau Morotai telah membangun toko cinderamata yang dikelola oleh Pemerintah Daerah dengan memberikan wadah untuk kerajinan dan kuliner khas Morotai untuk memenuhi kebutuhan cinderamata wisatawan. Namun hingga bulan Juni 2017, produk yang ada belum banyak variannya, dan belum dapat memberikan gambaran produk khas Morotai. Fasilitas pendukung dasar seperti listrik dan air bersih dapat dikatakan belum memadai. Dari hasil pengamatan, listrik di Kabupaten Pulau Morotai masih belum menyala secara menerus, setiap 2 hari sekali mati listrik, hal ini membuat beberapan penginapan menyediakan genset untuk memenuhi kebutuhan listrik. Jaringan komunikasi juga sudah tersedia, walaupun hanya dengan 1 provider dan terkadang tidak ada sinyal, tetapi sudah melayani sinyal 4G untuk akses internet. Untuk memenuhi keuangan wisatawan juga sudah terdapat bank-bank yang menempatkan kantor cabang dan menyediakan anjungan tunai mandiri (ATM) di Kabupaten Pulau Morotai. Terkait dengan kebutuhan air bersih, di Kawasan Perkotaan Daruba sudah di fasilitasi oleh jaringan pipa PDAM, namun buruknya air PDAM Kabupaten Pulau Morotai menjadi permasalahan tersendiri. Air yang tidak diolah membuat air PDAM keruh pada saat musim hujan dan memiliki kandungan kapur tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya angka penyakit batu ginjal di masyarakat Kabupaten Pulau Morotai. Sedangkan untuk layanan kesehatan sudah terdapat rumah sakit umum daerah dan puskesmas di masing-masing kecamatan. Fasilitas toilet umum juga menjadi salah satu fasilitas yang dibangun saat event Sail Morotai 2012, dan hingga kini masih terdapat yang digunakan oleh masyarakat, namun untuk toilet umum yang berada di kawasan wisata yang tidak dekat dengan permukiman menjadi tidak terawat dan terbengkalai.
Dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Pulau Morotai diperlukan juga ancillary atau terkait keberadaan organisasi dan kelembagaan pengelola destinasi wisata, saat ini guide lokal dan agen wisata masih dalam jumlah terbatas. Hal tersebut juga belum didukung dengan penguasaan bahasa asing menjadi salah satu kekurangan terkait pengembangan wisata. Organisasi kemasyarakatan yang berfokus pada aktivitas pariwisata juga belum terbentuk. Pengelolaan pariwisata di Kabupaten Pulau Morotai secara umum dikelola oleh Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Pariwisata Kabupaten Pulau Morotai. Dari hasil FGD dengan instansi terkait, Dinas Pariwisata telah memberikan program kegiatan terkait pengembangan SDM terkait pariwisata, seperti guide lokal dan pengelola agen wisata.
Potensi Pengembangan (Opportunity for Improvement/OFI)
Fungsi strategis Kabupaten Pulau Morotai sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, Kawsan Ekonomi Khusus Morotai, dan Kawasan Terpadu Mandiri Morotai dapat menjadi potensi pengembangan wisata sejarah di Kabupaten Pulau Morotai. Dengan adanya rencana pengembangan kabupaten Pulau Morotai, dapat dipromosikan lebih lagi potensi sebagai pulau terluar, pengembangan bandara dan pelabuhan sebagai bagian pertahanan negara, sekaligus sebagai pengembangan perdagangan, pariwisata, dan perhubungan domestik maupun internasional. Hal tersebut dapat terlihat dari rencana pengembangan infrastruktur dan sarana di Kabupaten Pulau Morotai yang telah disusun, dan dianggarkan, yaitu 67 triliun rupiah sampai dengan tahun 2025, rencana pengembangan infrastruktur dan sarana di Kabupaten Pulau Morotai yang telah disusun, dan dianggarkan, yaitu 67 triliun rupiah sampai dengan tahun 2025. Misalnya saja terkait perbaikan infrastruktur penyediaan air bersih dan pengolahan air limbah. Secara umum air bersih di pulau Morotai, belum semuanya tersedia dengan perpipaan, dan di beberapa daerah air yang dikonsumsi mengandung kapur. Sedangkan untuk pengolahan air limbah, dapat dikembangkan instalasi terpusat untuk pengolahan lumpur tinja, termasuk di dalamnya penyediaan truk sedot tinja, dan pengembangan septik tank baik individual maupun umum.
Selain itu, kondisi geografis dan kehidupan sosial budaya masyarakat juga dapat menjadi modal potensi pengembangan wisata sejarah Kabupaten Pulau Morotai. Dengan pola permukiman yang sebagian besar berada di kawasan pesisir, memunculkan potensi untuk adanya pengembangan permukiman yang menjadikan lautan sebagai beranda depan, dan kemungkinan untuk mengembangkan potensi kehidupan dinamis pesisir laut. Adanya desain rumah tradisional Hibualamo dapat menjadi salah satu potensi pengembangan permukiman yang memiliki daya tarik wisata dengan konsep vernacular Hibualamo, terutama untuk bangunan public seperti terminal, pasar, dan TPI. Aktivitas pelayaran lokal di Kabupaten Pulau Morotai juga belum didukung dengan manajemen yang baik, sehingga wisatawan masih mengalami kendala untuk mendapatkan transportasi menuju pulau-pulau kecil dengan harga yang sesuai. Selain itu, kebutuhan untuk pelayaran lokal di Kabupaten Pulau Morotai, dapat diupayakan dengan mengembangkan dan memperbanyak SPBU untuk nelayan dan pemilik perahu wisatawan.
Terkait dengan kebutuhan akomodasi wisatawan, hotel yang masih sedikit menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk dapat membuat peraturan bagi hotel baru, agar menambahkan ornamen khusus yang mendukung penguatan kesan sebagai wilayah yang perlu dikenal karena keistimewaannya pada peristiwa perang dunia II, misalnya dengan mengatur fasad bangunan. Selain itu perlu lebih dikembangkan standar pelayanan hotel yang baik sesuai dengan kebutuhan pelayanan tamu mancanegara maupun domestik. Selain itu, perlu ada asosiasi restoran dan pengaturan standar harga makanan, sehingga tidak ditemukan adanya harga tidak wajar. Selain itu adanya potensi laut, perlu mengembangkan makanan khas dan oleh-oleh bercitarasa bahari. Minimnya cendera mata yang tersedia di pasaran Morotai, menjadi peluang untuk pengembangan usaha lokal, arah dari cendera mata perlu disesuaikan dengan citra kota yang hendak dikembangkan, yaitu heritage perang dunia II. Potensi wisata sejarah yang ada di Kabupaten Pulau Morotai juga belum didukung dengan agen wisata yang menyediakan paket wisata sejarah dan guide yang mumpuni. Kondisi obyek wisaya sejarah juga belum dilengkapi dengan penanda yang menunjukkan nilai sejarah yang ada di masing-masing lokasi wisata sejarah. Tingginya minat wisatawan yang datang dan promosi wisata di media social tentang wisata sejarah dan keindahan Pulau Morotai juga menjadi potensi dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Pulau Morotai secara umum.
Rencana Aksi Pengembangan (Action for Improvement/AFI)
Pengembangan wisata sejarah di Kabupaten Pulau Morotai dapat dilakukan dengan framework peningkatan elemen citra kawasan, yaitu path, node, landmark, district, dan edges. Peningkatan elemen citra kawasan yang ada saat ini dilakukan dengan memberikan konsep utama pengembangan kawasan dengan berdasarkan pada nilai-nilai sejarah yang dimiliki Kabupaten Pulau Morotai. Hal ini dapat sejalan dengan penguatan identitas kawasan Kabupaten Pulau Morotai yang memiliki nilai sejarah Perang Dunia ke II, dan mendukung pengembangan potensi sejarah di Kabupaten Pulau Morotai. Gambaran arahan masing-masing elemen pembentuk citra kawasan yaitu sebagai berikut:
Tabel 1. Rekomendasi Rencana Aksi Berdasar Elemen Pembentuk Citra Kawasan
Elemen
Lokasi
Rekomendasi Rencana Aksi
Path
Jalan dari obyek wisata satu ke yang lain à
jalan lingkar pesisir morotai.
Penandaan dengan menggunakan ornamen atau diistilahkan sebagai street furniture khas, dan memberikan arahan desain fasad jalan yang mengatur desain depan dan ornament yang membentuk fasad kawasan. Dalam rangka pengembangan wisata sejarah, konektivitas antar obyek wisata sejarah juga perlu dikembangkan dengan penyediaan transportasi umum, dengan standar biaya yang jelas.
Node
Bandara, Pelabuhan Daruba, Pelabuhan Feri Morotai, Taman Kota, Pasar, Terminal
Bangunan atau lokasi yang menjadi sebagai titik simpul perlu diddesain yang menggambarkan nilai sejarah dan nilai budaya khas Kabupaten Pulau Morotai. Adanya desain rumah tradisional Hubialamo dapat dijadikan sebagai konsep desain bangunan tersebut.
Landmark
Monumen trikora, Patung Mcarthur di Pulau Sum-sum, Patung Nakamura, Museum Perang Dunia Ke II, Gua Air Kaca, Gua Nakamura, Pelabuhan Daruba Pantai, Bekas Rongsokan Pesawat, Tank Amfibi Sekutu, Pendaratan Tentara Sekutu, Bandara Pitoe
Penguatan dan pemeliharaan landmark wisata sejarah yang ada saat ini dan pembangunan landmark baru di kawasan yang memiliki nilai sejarah, untuk memberikan daya tarik wisata tambahan. Hal tersebut juga perlu didukung dengan peningkatan infrastruktur pendukung pariwisata di masing-masing obyek wisata, seperti akses jalan, air bersih dan sanitasi.
District
Kawasan Perkotaan Daruba
Kawasan Perkotaan Daruba merupakan kawasan pusat aktivitas ekonomi, pusat pemerintahan, dan merupakan pintu gerbang Kabupaten Pulau Morotai. Penataan kawasan daruba dapat menggunakan konsep water front city dengan berkonsepkan desain tematik yang menggambarkan sejarah kabupaten Pulau Morotai. Konsep pengembangan ini dapat digunakan sekaligus sebagai pilot project penyediaan fasilitas umum untuk aktivitas pariwisata dan penyelesaian permasalahan air bersih dan sanitasi di Kabupaten Pulau Morotai secara umum.
Edges
Pesisir Kabupaten Pulau Morotai
Pesisir kabupaten pulau morotai menjadi salah satu daya tarik wisata dengan keindahan pantai pasir putih. Pesisir pantai juga menjadi pintu gerbang Kabupaten Pulau Morotai dari jalur laut. Hal ini dapat dikembangkan menjadi pintu gerbang yang berkarakter dengan berkonsep pada perang dunia ke II.
Sumber: Analisis (2017)
Selain dengan penguatan citra kawasan, diperlukan juga sistem pariwisata yang mendukung atau memunculkan nilai sejarah dari Kabupaten Pulau Morotai yang menjadi salah satu bagian dalam Perang Dunia ke II. Hal ini dapat dilakukan dengan dikembangkannya paket wisata sejarah dengan memberdayakan masyarakat lokal, sekaligus dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan Perang Dunia II di Kabupaten Pulau Morotai.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pengembangan wisata sejarah di Kabupaten Pulau Morotai dapat sejalan dengan penguatan identitas Kabupaten Pulau Morotai sebagai kawasan yang menjadi bagian dalam sejarah Perang Dunia ke II, dengan memberikan arahan desain elemen pembentuk citra kawasan, yaitu path, node, landmark, district, dan edges, berdasar pada nilai sejarah Kabupaten Pulau Morotai. Hingga saat ini, wisata sejarah yang ada di Pulau Morotai belum menjadi dasar prioritas utama pengembangan di sector pariwisata, dan lebih menonjolkan pada wisata bahari. Kurang terawatnya fasilitas wisata sejarah yang ada, kurangnya informasi yang tersedia, dan belum tersedianya infrastruktur yang memadai di obyek wisata sejarah, menjadi penyebab kurangnya minat wisatawan yang datang untuk berkunjung ke spot lokasi sejarah. Dari hasil penelitian ini dapat diberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pulau Morotai untuk dapat mengembangkan dan mempromosikan wisata sejarah di Kabupaten Pulau Morotai sebagai daya tarik wisata utama, dan keindahan alam Kabupaten Pulau Morotai menjadi daya tarik tambahan yang mendukung potensi wisata di Kabupaten Pulau Morotai secara keseluruhan. 
REFERENSI
Arsul, Lumenta, A.S.M., Sugiarso, B.A.,. 2015. “E-Tourism Kabupaten Pulau Morotai”. E-Journal Teknmik Elektro dan Komputer. ISSN: 2301-8402.  
Astuti, M.T.; & Noor. A.A. 2016. “Daya Tarik Morotai Sebagai Destinasi Wisata Sejarah dan Bahari. Jurnal Kepariwisataan Indonesia” Vol 11 No. 1 Juni 2016 ISSN 1907-9419
Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah. 2016. “Rencana Pembangunan Infrastruktur Terpadu MOROTAI (Marine Heritage)”.
Betty G., B., Widodo, Y., Tari A.I.N., 2014, Model Kepemimpinan Posdaya pada Kelompok Posdaya Mekarsari Desa Polokarto Kabupaten Sukoharjo, Jurnal Scriptura Vol. 4 No. 1 - Juli 2014 ISSN : 1978-385X 38
Kencana, I.P., & Arifin. N.H.S., 2010. “Studi Potensi Lanskap Sejarah untuk Pengembangan Wisata Sejarah di Kota Bogor.” Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No 1 2010.
Mamarodia, M. D., 2014, Pengembangan Agriwisata Puncak Temboan di Rurukan Satu Kecamatan Tomohon Timur, Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi [Jenis ref: Jurnal].
Mansyur, Syafruddin. 2013. “Tinggalan Perang Dunia II dan Konseptualisasi Museum di Morotai” KAPATA Arkeologi Volume 9 Nomor 1 Juli 2013: 1-12, diunduh dari http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/kapata/article/viewFile/195/182 diakses pada 27 Juli 2017
Maryani & Logayah., 2014,Pengembangan Bandung Sebagai Kota Wisata Warisan Budaya (Culture Heritage) [online], (http://103.23.244.11/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/196001211985032-ENOK_MARYANI/Dina.pdf, diakses tanggal 27 Juli 2017)
Mulyadi, L, & Sukowiyono. G. 2014. “Kajian Bangunan Bersejarah di Kota Malang sebagai Pusaka Kota (Urban Heritage) Pendekatan Persepsi Masyarakat.” Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014
Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai. 2014. “Sejarah Pulau Morotai” [online] http://www.pulaumorotaikab.go.id/profile/read/1/sejarah-pulau-morotai.html diakses 27 Juli 2017.
Putri E.A., Suwandari A., Ridjal J.A., 2015, Analisis Pendapatan dan Efisiensi Biaya Usaha tani Tembakau Maesan di Kabupaten Bondowoso, JSEP Vol. 8 No.1 Maret 2015
Qomariyah, Kirman, & Dwi Wicaksono., 2010, Kearifan Lokal Pada Perancangan Kota Tua Tobelo, [online] (http://localwisdom.ucoz.com/_ld/0/8_2nd-2-jolw-yuyu.pdf, diakses tanggal 27 Juli 2017)
Rizaldi, T.L.F.; Hariyani,S.; Wardhani,D.K. 2010. “Pelestarian Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah Kawasan Kayutangan Kota Malang.” Arsitektur e-jurnal, Volume 3 Nomor 2, Juli 2010
Wulanningrum, Sinta D. 2014. “Elemen-elemen pembentuk Kota yang Berpengaruh terhadap Citra Kota (Studi kasus: Kota Lama Semarang).” Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kora Volume 10 (2): 197-204 Juni 2014. Biro Penerbit Planologi Undip.

Zakaria., & Suprihardjo., 2014, ’Konsep Pengembangan Kawasan Desa Wisata di Desa Bandungan Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan’ Jurnal Teknik Pomits Vol.3,


Cepat Merespons Pandemi, Platform Manajemen Kota Perlu Disiapkan untuk Hadapi Situasi Disrupsi

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...