Tampilkan postingan dengan label kesiapan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kesiapan. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 September 2014

Permukiman dan Upaya Kesiapan Menghadapi Bencana*

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


(telah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat Jumat,19 September 2014)

Permukiman dapat dilihat sebagai sebuah bentuk rumah besar dari sekelompok manusia. Salah satu tujuan keberadaan permukiman adalah sebagai bentuk penyesuaian kehidupan manusia terhadap kondisi alam. Bentang alam tempat lokasi permukiman dapat berada pada wilayah tepian air (laut/sungai/danau) atau biasa disebut sebagai waterfront, daerah lembah atau dataran tinggi, daerah pegunungan atau dataran tinggi. Lokasi ini menentukan karakteristik fenomena alam yang dihadapi Permukiman. Karena sebagai bagian dari alam, tentunya permukiman tidak lepas dari dinamika peristiwa alam, baik yang sifat kejadiannya terjadi berkala (rutin) maupun yang insidental. Sesuatu yang rutin terjadi dalam dinamika alam diistilahkan sebagai siklus, misalnya saja siklus hidrologi, nitrogen, biogeokimia, letusan erupsi gunung berapi, dan siklus lainnya. Baik siklus maupun insidental terjadi untuk mencapai keseimbangan baru dalam komposisi alam.
Indonesia merupakan negara yang berada di cincin api pasifik atau lingkaran api pasifik, atau sering disebut sebagai ring of fire, karena posisinya berada di cekungan Samudera Pasifik, memiliki banyak potensi bencana gemba dan letusan gunung berapi. Belum lama ini kita mendengar adanya bencana gunung berapi di sekitar gunung Sinabung di Kabupaten Karo, gunung Lokon di Sulawesi Utara dan terakhir adalah gejolak gunung Slamet di Jawa Tengah. Bencana gempa sering juga kita dengar, bahkan juga kita alami. Selain bencana gunung berapi dan gempa, saat-saat ini kita juga ikut merasakan kesusahan warga, yang kesulitan mencari air bersih karena kemarau yang begitu kering, misalnya terjadi di beberapa wilayah Jawa Tengah misalnya di Wonogiri, Rembang, Grobogan, Kudus, wilayah Nusa Tenggara Barat, juga di wilayah DI Yogyakarta seperti di Kulonprogo dan Gunungkidul. Beberapa contoh bencana yang juga berdampak kepada wilayah permukiman, ini memberikan bukti bawa perlu ada langkah-langkah sistematis dan spesifik yang perlu disiapkan dalam menghadapi bencana.
Aspek Normatif Bencana
Definisi bencana berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kejadian bencana (Sarwidi dan Winarno, 2008) dapat dilihat sebagai interaksi dari aspek: eskalasi ancaman kejadian, kerentanan bangunan dan infrastruktur (permukiman), dan kesiapan-ketangguhan komunitas.
Alternatif Solusi Kesiapan Wilayah Permukiman
Pada aspek eskalasi ancaman kejadian, perlu disiapkan model komunikasi yang dinilai paling efektif, untuk dapat memberitahukan potensi ancaman ke seluruh manusia yang tinggal di permukiman. Selanjutnya perlu disiapkan database riwayat/sejarah kejadian bencana spesifik, dan strategi penanganan sesuai dengan bencana yang dihadapi.  Kerentanan bangunan dan infrastruktur dapat diminimalisir dengan menerapkan standar (SNI), pedoman, manual, petunjuk teknis, kriteria terkait struktur dan konstruksi. Selain itu penataan ruang wilayah permukiman perlu mendapat perhatian khusus, karena daya dukung dan daya tampung lingkungan, dapat menentukan gradasi kerentanan bagian wilayah permukiman. 
Khusus untuk pengelolaan kesiapan-ketangguhan komunitas, langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan pemetaan kondisi baik aspek fisik permukiman, maupun sosial ekonomi dan lingkungan pada sektor spesifik, misalnya dalam menghadapi bencana gunung berapi, gempa, atau ketersediaan air bersih. Peta yang dihasilkan berguna untuk menyiapkan rencana/strategi solusi peningkatan kesiapan-ketangguhan, juga menyiapkan analisis dampak yang terjadi, baik dari segi materiil, non materiil dan jiwa di lingkungan permukiman.
Balai Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, sebagai salah satu unit di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum, memiliki peran sebagai salah satu simpul layanan SNI terkait Struktur dan Konstruksi, menyiapkan layanan perpustakaan, dimana tiap institusi atau bagian dari masyarakat dapat mencari informasi untuk mengurangi kerentanan bangunan dan infrastruktur yang ada di permukimannya. Selain itu hasil-hasil penelitian terkait bencana telah dilakukan, dengan hasil antara lain penilaian kesiapan adaptasi bencana gunung berapi, dan model peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat daerah rentan air minum.

*) Yudha Pracastino Heston, ST,MT
Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan,
Peneliti Muda Sosial Permukiman,
Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman
pracastino@blogspot.com, pracastino@yahoo.com

Kamis, 16 Mei 2013

Identifikasi faktor-faktor determinan dalam penyediaan air minum terkait kesiapan masyarakat dalam perubahan iklim

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Perubahan iklim diidentifikasikan oleh IPCC, 2012 sebagai perubahan dari iklim yang dapat diidentifikasi (misalnya dengan alat statistik) yang nyata dari perubahan rata-rata dan atau variasi kondisi yang berlangsung dalam beberapa tahun atau dekade. Perubahan iklim dapat terjadi karena proses internal maupun tekanan eksternal, ataupun perubahan komposisi atmosfer dan dalam penggunaan lahan. Pengaruh dari perubahan iklim mengharuskan adanya upaya adaptasi terkait perubahan tersebut. Adaptasi terkait perubahan iklim secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu adaptasi dari sistem manusia dan alam. Tujuan dari upaya adaptasi adalah untuk mencapai ketahanan dari sebuah sistem dan komponennya.
Teori lain terkait dengan manajemen komunitas dalam menghadapi perubahan, dikemukakan (Plester, B, dkk, 2006) dalam buku Community Readiness. Kesiapan adalah tingkat dimana sebuah komunitas menyiapkan sebuah tindakan terkait masalah tertentu. Sehingga kesiapan sangat terkait dengan masalah yang dihadapi, dapat terukur, terukur dengan beberapa dimensi, dapat bersilang antar segmen komunitas, dapat ditingkatkan, dan merupakan pengetahuan dasar untuk pengembangan strategi dan intervensi.
                Komunitas yang terkena dampak perubahan iklim, akan dapat melihat perubahan ini dari kemampuan mereka, untuk menyiapkan tindakan dan beradaptasi sehingga tercapai sebuah kondisi ketahanan dari sistem komunitas dan komponennya. Upaya adaptasi ditujukan untuk meminimalisasi pengaruh negatif perubahan iklim. Upaya ini dapat muncul dengan sendiri (autonomous) atau dengan melakukan perencanaan sebelumnya.
                Salah satu sistem yang terpengaruh oleh adanya perubahan iklim adalah sistem pengelolaan air minum. Mulai dari sumber air, pengelolaan, distribusi dan konsumsi, dapat terpengaruh adanya perubahan iklim. Berdasarkan penelitian (Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, 2013), yang berjudul Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim oleh Masyarakat dalam Ketersediaan Air Minum, telah dapat diidentifikasi faktor-faktor determinan dalam penyediaan air minum terkait kesiapan masyarakat dalam perubahan iklim, yang dibagi menjadi 3 kelompok besar (gambar 1.).





gambar 1.
Perubahan iklim dan Kesiapan Masyarakat
Sumber: Kusnanto, 2011 diolah

                Dalam gambar 1. dapat terlihat bahwa faktor dampak perubahan iklim yang terkait langsung dengan kesiapan masyarakat adalah kapasitas adaptasi. Kapasitas adaptasi akan menentukan kerangka adaptasi yang disusun berdasarkan bukti (dapat diukur), kompetensi dan integrasi kebijakan. Kerangka adaptasi dapat dilanjutkan dalam adaptasi yang berbasis kebutuhan lokal. Adaptasi berbasis kebutuhan lokal dibentuk dari kesiapan masyarakat, yang terdiri dari tiga segmen yaitu lembaga, komunitas dan keluarga atau individu.
                Kesiapan individu dibentuk dari tujuh indikator. Indikator pertama adalah karakteristik individu. Indikator ini terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Indikator berikutnya adalah pengetahuan dan kesiapan sikap. Indikator berikutnya terkait dengan kesiapan perilaku individu dalam penggunaan air sehari-hari. Indikator ini dapat diuraikan dalam faktor jumlah dan jenis air yang dimiliki keluarga, ketersediaan sumber air yang dimiliki keluarga, kesediaan mengeluarkan biaya untuk berganti sumber air yang lebih baik, kesediaan membayar untuk mendapatkan sumber air, kesediaan mengeluarkan biaya untuk merawat instalasi sumber air secara rutin, perubahan sumber air berdasarkan musim. 
Indikator kelima dalam segmen kesiapan individu terkait dengan status atau kondisi penyakit karena masalah air. Beberapa istilah penyakit yang terkait air adalah: water-borne disease, water-washed disease, water-base disease, water-related disease dan water-dispersed disease. Indikator selanjutnya terkait dengan kesiapan perilaku individu dalam penggunaan air saat musim langka air yang diuraikan menjadi faktor: terjadinya perubahan kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumber air, Terjadinya pembatasan penggunaan air saat musim langka air, Terjadi kebiasaan menyimpan air, Penambahan pengeluaran biaya, Persiapan menghadapi perubahan musim langka air, Mengurangi kegiatan saat musim langka air, Munculnya konflik saat musim langka air, dan Menderita sakit. Indikator terakhir terkait kesiapan individu adalah perilaku pemanfaatan air untuk usaha.
Kesiapan Komunitas dibentuk dari enam indikator. Indikator pertama terkait dengan karakteristik komunitas terdiri dari uraian tingkat usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kedudukan tokoh dan lamanya menjabat di masyarakat. Indikator berikutnya terkait dengan kearifan lokal terdiri dari uraian pengetahuan lokal, mempunyai dan menjalankan keterampilan dan kearifan lokal, mengetahui dan menggunakan sumber air alami, mempunyai dan mematuhi peran sosial. Indikator berikutnya yaitu pengelolaan air pada musim langka air yang terdiri dari perubahan kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumber air, perbedaan cara memperoleh air, upaya mengatasi kelangkaan air, dan upaya untuk aspek pengelolaan (tata atur). Indikator keempat yaitu keterlibatan komunitas dalam organisasi terdiri dari uraian terlibat dalam pembuatan sarana fasilitas umum, keinginan membayar terhadap out put proyek, dan terlibat dalam pemeliharaan fisik.
Indikator selanjutnya terkait kesiapan komunitas adalah kepemimpinan yang diterjemahkan menjadi uraian mempunyai visi, cara memilih pemimpin, cara memilih pengurus, cara mendelegasikan tugas kepada anggota, cara pengambilan keputusan, cara berinteraksi dengan anggota, melakukan evaluasi, dan melakukan monitoring. Indikator terakhir dari kesiapan komunitas adalah keberadaan organisasi, yang terdiri dari uraian (penunjukkan pengurus organisasi, adanya aturan untuk masyarakat dalam PAB, adanya pemeliharaan rutin sarana air bersih, adanya struktur organisasi, dan membuat AD/ART. 
Kesiapan kelembagaan di bentuk dari indikator terkait jaringan (network), Ketersediaan informasi yang diidentifikasikan sebagai banyaknya informasi yang diperoleh lembaga dalam 6 bulan terakhir, menyampaikan informasi kepada warga dan mudah untuk dijangkau. Indikator selanjutnya terkait dengan saluran/ channel komunikasi yaitu banyaknya saluran komunikasi yang ada di masyarakat dan penanganan terhadap pengaduan memuaskan. Indikator keempat terkait dengan kesepakatan program dan dukungan kebijakan tentang penyediaan air bersih yang terdiri dari uraian mengikuti musyawarah, mempunyai catatan kesepakatan, mencari pendanaan, memiliki rencana pembangunan air bersih tertulis, masyarakat mengetahui program-program air bersih kelompok, masyarakat mengetahui program-program air bersih pemerintah, pemerintah melakukan pembinaan, mempunyai kepercayaan terhadap pemerintah daerah tentang PAB, puas terhadap pelayanan PAB pemerintah, dan bersedia mematuhi kebijakan pemerintah terkait air bersih di daerah. Indikator terakhir terkait dengan manfaat yang diuraikan sebagai: semua keluarga telah memanfaatkan sumber air bersih komunal, layanan sumber air bersih komunal dapat terjangkau sepanjang tahun, keinginan dan kelancaran membayar masyarakat terhadap output fasilitas komunal, dan adanya usaha untuk menjaga ketersediaan sumber air bersih.
Faktor-faktor kesiapan masyarakat dalam beradaptasi menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum terkait perubahan iklim, pada tingkat kesiapan individu setelah diuji secara statistik menghasilkan empat faktor determinan, faktor tersebut adalah: pengetahuan tentang perubahan iklim, sikap tentang perubahan iklim, perilaku tentang perubahan iklim dan perilaku tentang penggunaan air sehari-hari. Faktor-faktor kesiapan masyarakat pada tingkat kesiapan komunitas-kelembagaan setelah diuji secara statistik menghasilkan faktor determinan gabungan yaitu: kesepakatan program, jaringan, kepemimpinan, kearifaan lokal, saluran (channel),  ketersediaan informasi, community action plan dan manfaat fasilitas komunal.
Manfaat ditemukannya faktor – faktor determinan dalam penyediaan air minum terkait kesiapan masyarakat dalam perubahan iklim, adalah untuk memberikan gambaran bagi pemilik dan pengelola program terkait penyediaan air minum untuk dapat memberikan perhatian lebih terhadap faktor tersebut, sehingga masyarakat dapat memiliki kesiapan lebih, dalam menghadapi perubahan iklim terkait air minum.

Daftar Pustaka
IPCC, 2012, Managing The Risks of Extreme Events and Disasters To Advance Climate Change Adaptation, Special Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, NewYork, USA
Plester, B, dkk, 2006, Community Readiness, Colorado, USA
Tim Peneliti Balai Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Permukiman, 2012, Laporan Akhir Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim oleh Masyarakat dalam Ketersediaan Air Minum, Yogyakarta
 

PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA PROYEK THE DEVELOPMENT AND UPGRADING OF THE STATE UNIVERSITY OF JAKARTA (PHASE 2) CIVIL WORKS (Studi Kasus Pekerjaan Pemasangan Dinding Bata Ringan)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...