Tampilkan postingan dengan label Tasikmalaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tasikmalaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Mei 2014

Ruang Terbuka dan Pembentukan Persepsi Sosial Pengunjung

----------------------------------------------------------------------------------------------------------



Yudha Pracastino Heston*
Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Bidang Permukiman
Jl. Laksda Adisucipto No.165 Yogyakarta. Telp/fax (0274) 555205/546978

 

Abstrak


Definisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, adalah total area atau kawasan yang tertutupi hijau tanaman dalam satu satuan luas tertentu baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan. Dalam penyelenggaraan RTH, diperlukan sinergi peran antara Pemerintah (pusat) dan Pemerintah Daerah serta Masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum berupaya untuk mengembangkan jumlah RTH di tiap daerah dengan menginisiasi Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Di dalam P2KH pemerintah memberikan stimulan bagi daerah berupa taman, yang disebut sebagai taman kota hijau. Penyediaan taman kota hijau, membutuhkan juga sinergi peran masyarakat, yang salah satunya adalah juga pengunjung taman. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan komponen pembentuk persepsi terkait keberadaan RTH di suatu lingkungan, untuk dapat menghasilkan RTH yang lebih optimal pelayanannya. Penelitian dilakukan dengan studi kasus daerah yang menerima P2KH, dengan menggunakan sampel kuota. Pendekatan penelitian kuantitatif dengan alat analisis statistik deskriptif. Lokasi penelitian adalah Badung Bali, Tasikmalaya Jawa Barat dan Yogyakarta DIY. Hasil penelitian menunjukkan komponen pembentuk persepsi masyarakat terkait RTH taman kota hijau, yang dibagi dalam dua bagian yaitu sebelum dan sesudah adanya taman.

Kata Kunci: ruang terbuka, taman kota, hijau, persepsi

 

1.      Pendahuluan
Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari ruang terbuka di dalam kota. Klasifikasi ruang terbuka menurut (Moughtin, 1996) dibagi menjadi dua kelompok besar. Dua kelompok tersebut adalah dominasi proses alamiah dan yang didominasi tindakan manusia. Ruang terbuka yang didominasi oleh tindakan manusia dibagi lagi menjadi dua yaitu bentang alam tempat bekerja dan bentang alam formal. Taman terbuka hijau masuk di dalam klasifikasi bentang alam formal. Maksud dari bentang alam formal adalah sebuah tempat yang untuk menciptakannya membutuhkan tenaga dan bahan material, sehingga menimbulkan dampak, ornamental dan hal lainnya.
Beberapa ruang terbuka yang dapat diklasifikasikan sebagai ruang terbuka hijau, terkait dengan (Harnik, 2010) lapangan bola, hutan, taman, tempat bermain, danau, pantai, bantaran sungai, monumen, jalur hijau, jalur parkir, boulevard atau alun – alun. Aktifitas (Harnik, 2010) yang dapat diakomodasi oleh keberadaan RTH terkait dengan dua kelompok besar, yaitu olahraga dan non olahraga. Olahraga berbentuk tim seperti tenis, golf, basket dapat menjadi contoh. Untuk yang non tim seperti bersepeda, bermain skate board, lari dan juga jogging, aktivitas non olahraga bisa berupa bermain layangan, memanjat pohon. Sedangkan aktivitas non olahraga, yang berupa aktivitas ringan dapat berbentuk makan dan minum di taman dan hal lainnya.
Jika mengacu pada tataran normatif, definisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, adalah total area atau kawasan yang tertutupi hijau tanaman dalam satu satuan luas tertentu baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan. Dalam penyelenggaraan RTH, diperlukan sinergi peran antara Pemerintah (pusat) dan Pemerintah Daerah serta Masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum berupaya untuk mengembangkan jumlah RTH di tiap daerah dengan menginisiasi Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Di dalam P2KH pemerintah memberikan stimulan bagi daerah berupa taman, yang disebut sebagai taman kota hijau. Penyediaan taman kota hijau, membutuhkan juga sinergi peran masyarakat, yang salah satunya adalah juga pengunjung taman. Pelibatan peran masyarakat dilakukan bertahap mulai dari tahap rencana pemanfaatan, pelaksanaan pemanfaatan dan pasca pemanfaatan (Arianti, 2010).
Penelitian ini dilakukan untuk menemukan komponen pembentuk persepsi terkait keberadaan RTH di suatu lingkungan, untuk dapat menghasilkan RTH yang lebih optimal pelayanannya. Penelitian dilakukan dengan studi kasus di tiga daerah yang menerima bantuan stimulan P2KH, yaitu Kabupaten Badung Provinsi Bali, Kota Yogyakarta Provinsi DIY dan Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat.
2.      Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Untuk melihat persepsi pengunjung taman terkait keberadaan RTH yang berwujud taman stimulan program (P2KH). Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung di tiga taman, yaitu taman Kembang Jepun di Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung, Taman Gajahwong di Kota Yogyakarta dan Taman kompleks pusat pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya di Kecamatan Singaparna.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah responden terpilih dari tiga kota/kabupaten, yang dianalisis dengan menggunakan alat analisis statistik deskriptif. Jumlah sampel dengan menggunakan kuota minimal 30 orang agar dapat dilakukan operasi statistik, dengan rincian sampel pengunjung di taman Kembang Jepun Badung adalah sebesar 51 orang, taman Gajahwong 37 orang dan taman Puspem Tasikmalaya 41 orang. Pengumpulan data primer dengan menggunakan data kuesioner.











Gambar 1. Taman Kembang Jepun dan Taman Gajahwong

3.      Hasil Diskusi
Dari hasil penelitian dapat terlihat bahwa pengunjung sadar mereka berada di taman yang merupakan bantuan stimulan Program P2KH (gambar 2). Jika dibandingkan dengan persepsi pengunjung terkait kepentingan keberadaan taman, akan terlihat bahwa mayoritas pengunjung menilai keberadaan taman sangat penting.








Gambar 2. Pengetahuan terkait sumber/asal RTH dan Tingkat kepentingan keberadaan taman
Hal ini sangat dimungkinkan terjadi, karena dua dari tiga taman lokasi penelitian berada pada lingkungan pemerintahan. Sehingga arus informasi terkait pembangunan taman dapat menyebar dengan baik. Sedangkan satu taman lagi yang berada di luar wilayah pemerintahan, informasi terkait pembangunannya, menyebar terutama melalui warga sekitar taman.
Data primer penelitian menunjukkan, responden mayoritas adalah pada usia produktif (gambar 3). Survey yang dilakukan di siang – sore hari menunjukkan bahwa RTH pada kisaran waktu tersebut dikunjungi oleh pengunjung pada usia produktif. 

 







Gambar 3. Umur Responden Pengunjung
Mayoritas responden (37%) bekerja sebagai PNS, 16% pegawai swasta, 11% Ibu Rumah Tangga, dan 10% pengusaha swasta. 
Data penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan intensitas kunjungan ke RTH, sebelum dan sesudah ditata (Gambar 4). Selain faktor perbaikan kondisi RTH, fenomena ini juga sejalan dengan pendapat (Enggar, 2006) yaitu terdapat keterkaitan antara tingkat aksesibilitas dengan wilayah pelayanan. Mudahnya aksesibilitas membuat pengunjung memiliki intensitas kunjungan yang tinggi. Saat berkunjung ke RTH, seorang individu cenderung bersama keluarga dan teman.






Gambar 4. Kunjungan ke RTH dalam sebulan sebelum dan sesudah ditata

Aspek-aspek yang mempengaruhi kualitas keberadaan taman, berdasarkan data pengunjung adalah: Kebersihan, keindahan, keamanan, dan kenyamanan.  Data keberadaan taman terkait pengaruhnya terhadap persepsi kesehatan pengunjung sangat besar (gambar 5), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengunjung sudah merasakan manfaat taman bagi kesehatan.

Gambar 5. RTH dan kesehatan
Data keberadaan taman terkait pengaruhnya terhadap persepsi interaksi sosial pengunjung juga menunjukkan hasil yang sangat besar (gambar 6).  Dari bukti ini terlihat sudah berjalannya fungsi ruang stimulan bantuan P2KH sebagai tempat interaksi sosial.

Gambar 6. RTH dan interaksi sosial
Penataan RTH menjadi taman memiliki pengaruh besar terhadap persepsi kemanfaatan ruang yang ada (gambar 7).


Gambar 7. RTH dan manfaat
Pengunjung memiliki persepsi bahwa taman kota hijau dapat menjadi sarana rekreasi dan media sosialisasi warga, serta sebagai wadah pendidikan yang bermanfaat. Pengunjung memiliki persepsi bahwa pengelolaan yang ada sudah pada taraf pengelolaan yang baik (Gambar 8).
 






Gambar 8. RTH dan pengelolaan

4.      Kesimpulan dan Saran
Persepsi seseorang terhadap sebuah layanan (Handayani dkk, 2009) dapat diukur melalui dimensi tangible (sarana fisik, perlengkapan, personel dan lain-lain), keandalan pelayanan (reliability), ketanggapan pelayanan (responsiveness), keyakinan/jaminan (assurance) dan memahami kebutuhan pelanggan (empathy). Pada penelitian ini aspek tangibel tercermin pada kebersihan, keindahan, keamanan, dan kenyamanan. aspek keandalan pelayanan dapat dilihat pada besarnya presentase pengunjung yang merasakan pentingnya RTH. Ketanggapan pelayanan paling tidak dapat dilihat dari data manfaat kesehatan dan interaksi sosial serta manfaat yang meningkat setelah taman dibenahi. Dimensi memahami kebutuhan pelanggan terlihat dari banyaknya pengunjung yang memberikan penilaian baik-sangat baik bagi pengelolaan RTH.
5.      Daftar Pustaka
Arianti, Iin, 2010. Ruang Terbuka Hijau, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Rekayasa, Januari 2010
Handayani R.S, Raharni, Gitawati R, 2009. Persepsi Konsumen Apotek terhadap Pelayanan Apotek di Tiga Kota di Indonesia Jurnal Makara, kesehatan, vol. 13, no. 1, juni 2009
Harnik, Peter,  2010. Urban Green Innovative Parks for Resurgent Cities, Island Press, USA
Kemp, Roger and Stephani, Carl, Ed, 2011. Cities Going Green, Mc Farland & Company, Inc Publisher, North Carolina
Liestiani Enggar, 2006. Pengaruh Aksesibilitas terhadap Wilayah Pelayanan Puskesmas di Kota Magelang Berdasarkan Persepsi Pengunjung, Tugas Akhir Universitas Diponegoro Semarang
Moughtin, Cliff and Shirley, Peter, 2005. Urban Design Green Dimensions, Elsevier, Linacre House, Jordan Hill, Oxford
Tim Peneliti, 2013. Kajian Efektifitas Program Pengembangan Kota Hijau Mendukung Pembangunan Kota, Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman


 

Jumat, 01 April 2011

pamsimas, problem and stages

The implementation program of Water Supply and Sanitation Community-based drink, otherwise known as PAMSIMAS, has been running for approximately two years. The program which began in 2008, initially had problems related to the coordination and synchronization program each agency involved in the program. Change the controlling institution / executing agency of the Ministry of Health to the Ministry of Public Works, cause problems at the beginning of the program. At the beginning of the year 2008, according to one official PAMSIMAS program, PAMSIMAS must walk with the limitations of existing devices [1].
The issue of coordination between sectors visible, when the program has reached the stage of construction, in some places, the raw water to be used, test results have not come out. Though PAMSIMAS water tested by Public Health Service mandatory, and must have qualified as clean water.
Implementation PAMSIMAS not only hindered the coordination problem. As an illustration, we can see in three locations PAMSIMAS implementation, namely the city of Kupang, Kabupaten Banjar and Tasikmalaya regency. In three places, there are some problems, which need to be considered PAMSIMAS stakeholders.

Kupang City
In the city of Kupang, the main problem for PAMSIMAS program is looking for sources of water that can be used as raw water PAMSIMAS. In addition, the availability of raw water, too often a constraint, this is due to a decrease in discharge due to climate island of Timor. Sources of water available in the city of Kupang is uneven. Because of the difficulty of finding water sources, managers need to get the owners of water sources (wells) that the social spirit, to make private wells as a source of raw water.
Geological structure of land in the city of Kupang prone to contamination. This is due to soil type Kupang quickly reduce waste water on the surface, so water is easily contaminated underground. The solution is to perform first wastewater discharged into the ground.
Infrastructure materials PAMSIMAS many brought in from outside the island, this led to the expensive infrastructure installed. Another problem related to the management of sanitation is poor. Spatial changes that are less controlled. The performance of the facilitators, especially related to the problem of frequent delays in receiving salaries and difficulty in obtaining a facilitator with sufficient capability to handle the management of PAMSIMAS.
Beneficiary communities in the city of Kupang, the results of research are also still feel burdened and heavy to be able to collect the money themselves. There is also internal strife community self-supporting institution or with outside parties. Managing behavior problems, suggesting the need for attention to the stage time PAMSIMAS program.
Banjar Regency
In Banjar District found a problem related to community concern about the use and maintenance of the water. There are behavioral defecate on the banks of the river using a toilet float. Communities also feel burdened by the self-generated funds. This condition can be caused by, yet uneven provision of good sanitation facilities in schools and neighborhoods, trash, and sewer line. This occurred mainly in rural areas and suburbs. There are limitations to local government budgets, causing the construction of clean water and sanitation infrastructure has not been evenly distributed in Banjar district.
Found a consultant with the communications gap between government agencies. This led to the determination of target villages, not in accordance with the priority scale. Entry List for Use of Budget PAMSIMAS program at Banjar District, in 2010, fell not on time so that implementation is delayed. From two years of implementation PAMSIMAS in Banjar district can be concluded, that the time for the preparation process of empowerment and behavior change, too limited or narrow, not sufficient.

Tasikmalaya District
Problems in Tasikmalaya regency PAMSIMAS program related to the management and maintenance of facilities and infrastructure PAMSIMAS, after waking up. Necessary unity of understanding between agencies involved in program development PAMSIMAS. Included in the administration of agency budgets in the development PAMSIMAS.
In Tasikmalaya Regency is the case, means PAMSIMAS built first, and checked the quality of the water, indicating a gap of communication and coordination between sectors.
Community activities related to the culture ponds and sanitation, is a challenge for program PAMSIMAS. Community empowerment program in the program PAMSIMAS require more attention and time of implementation guidelines.


Program Stages
In three of the City / County location PAMSIMAS program implementation, shown the importance of community empowerment in the phase of the program execution time PAMSIMAS. To explore the effectiveness of time, an examination of the perceptions, knowledge and experience of managing the program, which consists of facilitators, village, and the management of water and sanitation sector institutions in society.
The result is, all the stages which are not categorized as effective, is in the planning stages. Most of the form of empowerment. The nine stages are: sectoral coordination of districts, the preparation longlist districts, establishment of villages PAMSIMAS location, method of MPA-PHST, Preparation proaksi, triggers with CLTS, Mobilization CHAPTER behavior changes, behavior changes CHAPTER Certification, and Preparation RKM . Left stages of implementation according to the guidelines PAMSIMAS compared with the time stage of the research results can be seen in table 1.


Table 1.
Stages PAMSIMAS Activities


 
 





















From the research, it can be concluded that in general, providing time to implement the program PAMSIMAS is enough, especially for construction activities. The process of empowerment in PAMSIMAS programs, need to be noticed and corrected, especially in the determination of the village until the certification CHAPTER behavior, which included community and changing patterns of behavior.
The capacity of recipient communities varied programs, influential in the effectiveness phase of the program. Communities that have high capacity (terutam of educational background and economic ability) will be easier in mengembangankan program.
Needed clarity in the material aspects or stages of socialization in the community, particularly regarding the sequence of the socialized aspects. PAMSIMAS program managers need to do an evaluation after a socialization, so if there is a lack of unfamiliarity in the community, can be fixed. From the results of Focus Group Disscusion found, still needs to be disseminated lanjtuan to implementing the program, because it still met the inequality defining the program.
Increased preparedness community self-supporting institution in terms of quantity and quality, to capture and develop programs PAMSIMAS, became one of the research findings. The ability of the community in social institutions, their economic ability to pay dues and the preservation of the environment around water sources become important elements of program sustainability.
Improved coordination across sectors need to be more intensive, because of the Focus Group Disscusion there are sectors that have not been involved, even the working group that should exist at the district / city has not seen its existence. The results of the assessment phase, the effectiveness of time as can be seen in table 2.





Table 2.
Stages Assessment Activities PAMSIMAS


 

 










 








































Recommendations for program managers
As a step to streamline the time, necessary to formulate the coordination structures at district / city (in terms of schedule, agenda, agencies involved, roles and responsibilities, budget and related issues), so as to create coordination between programs and sectors, at every stage of activity through regular meeting agreed.
To improve the effectiveness of time associated with the stages of PAMSIMAS, may be setting time (time management / schedule), with periodic re-warning (reminding), for interested parties submit the village to the list.
From the research, empowerment activities can not be implemented simultaneously with the physical development projects, which need to be prepared in a different time (the process is done first, so if time is less empowerment, there is still time in years the implementation of physical development).
At the time of socialization in the community, the need for clarity and decisiveness on stage PAMSIMAS activities.
Managers need to consider the availability of water resources, water quality (physical, chemical, biological) and quantity (liters / family), which is distributed to the beneficiaries.
PAMSIMAS Managers need to consult and coordinate with the taps, especially regarding service areas, water resources, maintenance of infrastructure, quality of water services and the determination of family contributions of beneficiaries. Managers need to conduct value-benefit calculation, the results are communicated to the beneficiary community, after they implemented the program PAMSIMAS. So that together they try to maintain the sustainability of their drinking water supplies independently, through the maintenance of infrastructure institutional management, order fee, and increase the capacity and capability in the management of drinking water. Mainly because the value of great benefits, cause payback period can be very quickly accomplished.

Recommendations for beneficiary communities
Details of activities to be carried out in RKM prepared by involving the community. Not only handed over to the companion of society (empowerment, health, engineering).
Needs and capabilities improvement program receiving communities can be bridged by increasing the quality and ability of community companion.
SPAM Management Agency need to think about PAMSIMAS development, as a business unit of the community (make bussiness plan), to sustain operations and further development.
MFI and BP SPAM needs to increase the number of women's involvement in the composition of its membership, given the contribution of women in the household water supply.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA PROYEK THE DEVELOPMENT AND UPGRADING OF THE STATE UNIVERSITY OF JAKARTA (PHASE 2) CIVIL WORKS (Studi Kasus Pekerjaan Pemasangan Dinding Bata Ringan)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...