Yudha Pracastino Heston*
Balai Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Bidang Permukiman
Jl. Laksda Adisucipto No.165
Yogyakarta. Telp/fax (0274) 555205/546978
Abstrak
Definisi
Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, adalah total area atau kawasan
yang tertutupi hijau tanaman dalam satu satuan luas tertentu baik yang tumbuh
secara alami maupun yang dibudidayakan. Dalam penyelenggaraan RTH, diperlukan
sinergi peran antara Pemerintah (pusat) dan Pemerintah Daerah serta Masyarakat.
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum berupaya untuk mengembangkan
jumlah RTH di tiap daerah dengan menginisiasi Program Pengembangan Kota Hijau
(P2KH). Di dalam P2KH pemerintah memberikan stimulan bagi daerah berupa taman,
yang disebut sebagai taman kota hijau. Penyediaan taman kota hijau, membutuhkan
juga sinergi peran masyarakat, yang salah satunya adalah juga pengunjung taman.
Penelitian ini dilakukan untuk menemukan komponen pembentuk persepsi terkait
keberadaan RTH di suatu lingkungan, untuk dapat menghasilkan RTH yang lebih
optimal pelayanannya. Penelitian dilakukan dengan studi kasus daerah yang
menerima P2KH, dengan menggunakan sampel kuota.
Pendekatan penelitian kuantitatif dengan alat analisis statistik deskriptif.
Lokasi penelitian adalah Badung Bali, Tasikmalaya Jawa Barat dan Yogyakarta
DIY. Hasil penelitian
menunjukkan komponen pembentuk persepsi masyarakat terkait RTH taman kota
hijau, yang dibagi dalam dua bagian yaitu sebelum dan
sesudah adanya taman.
Kata
Kunci: ruang terbuka, taman kota, hijau, persepsi
1. Pendahuluan
Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari ruang terbuka di dalam kota. Klasifikasi
ruang terbuka menurut (Moughtin, 1996) dibagi menjadi dua kelompok besar. Dua
kelompok tersebut adalah dominasi proses alamiah dan yang didominasi tindakan
manusia. Ruang terbuka yang didominasi oleh tindakan manusia dibagi lagi
menjadi dua yaitu bentang alam tempat bekerja dan bentang alam formal. Taman
terbuka hijau masuk di dalam klasifikasi bentang alam formal. Maksud dari
bentang alam formal adalah sebuah tempat yang untuk menciptakannya membutuhkan
tenaga dan bahan material, sehingga menimbulkan dampak, ornamental dan hal
lainnya.
Beberapa ruang terbuka yang dapat diklasifikasikan sebagai ruang terbuka
hijau, terkait dengan (Harnik, 2010) lapangan bola, hutan, taman, tempat
bermain, danau, pantai, bantaran sungai, monumen, jalur hijau, jalur parkir, boulevard atau alun – alun. Aktifitas
(Harnik, 2010) yang dapat diakomodasi oleh keberadaan RTH terkait dengan dua
kelompok besar, yaitu olahraga dan non olahraga. Olahraga berbentuk tim seperti
tenis, golf, basket dapat menjadi contoh. Untuk yang non tim seperti bersepeda,
bermain skate board, lari dan juga jogging, aktivitas non olahraga bisa
berupa bermain layangan, memanjat pohon. Sedangkan aktivitas non olahraga, yang
berupa aktivitas ringan dapat berbentuk makan dan minum di taman dan hal
lainnya.
Jika mengacu pada tataran normatif, definisi Ruang Terbuka Hijau (RTH)
menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di
Perkotaan, adalah total area atau kawasan yang tertutupi hijau tanaman dalam
satu satuan luas tertentu baik yang tumbuh secara alami maupun yang
dibudidayakan. Dalam penyelenggaraan RTH, diperlukan sinergi peran antara
Pemerintah (pusat) dan Pemerintah Daerah serta Masyarakat. Pemerintah melalui
Kementerian Pekerjaan Umum berupaya untuk mengembangkan jumlah RTH di tiap
daerah dengan menginisiasi Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Di dalam
P2KH pemerintah memberikan stimulan bagi daerah berupa taman, yang disebut
sebagai taman kota hijau. Penyediaan taman kota hijau, membutuhkan juga sinergi
peran masyarakat, yang salah satunya adalah juga pengunjung taman.
Pelibatan peran masyarakat dilakukan bertahap mulai dari tahap rencana
pemanfaatan, pelaksanaan pemanfaatan dan pasca pemanfaatan (Arianti, 2010).
Penelitian ini dilakukan untuk menemukan komponen pembentuk persepsi
terkait keberadaan RTH di suatu lingkungan, untuk dapat menghasilkan RTH yang
lebih optimal pelayanannya. Penelitian dilakukan dengan studi kasus di tiga daerah
yang menerima bantuan stimulan P2KH, yaitu Kabupaten Badung Provinsi Bali, Kota
Yogyakarta Provinsi DIY dan Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat.
2. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Untuk melihat
persepsi pengunjung taman terkait keberadaan RTH yang berwujud taman stimulan
program (P2KH). Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung di tiga taman, yaitu taman Kembang Jepun di Pusat
Pemerintahan Kabupaten Badung, Taman Gajahwong di Kota Yogyakarta dan Taman kompleks
pusat pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya di Kecamatan Singaparna.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah responden terpilih dari tiga kota/kabupaten,
yang dianalisis dengan menggunakan alat analisis statistik deskriptif. Jumlah sampel dengan
menggunakan kuota minimal 30 orang agar dapat dilakukan operasi statistik,
dengan rincian sampel pengunjung di taman Kembang Jepun Badung adalah sebesar
51 orang, taman Gajahwong 37 orang dan taman Puspem Tasikmalaya 41 orang. Pengumpulan data primer dengan
menggunakan data kuesioner.
Gambar 1. Taman
Kembang Jepun dan Taman Gajahwong
3. Hasil Diskusi
Dari hasil penelitian dapat
terlihat bahwa pengunjung sadar mereka berada di taman yang merupakan bantuan
stimulan Program P2KH (gambar 2). Jika dibandingkan
dengan persepsi pengunjung terkait kepentingan keberadaan taman, akan terlihat
bahwa mayoritas pengunjung menilai keberadaan taman sangat penting.
Gambar
2. Pengetahuan terkait sumber/asal RTH dan Tingkat
kepentingan keberadaan taman
Hal ini sangat
dimungkinkan terjadi, karena dua dari tiga taman lokasi penelitian berada pada
lingkungan pemerintahan. Sehingga arus informasi terkait pembangunan taman
dapat menyebar dengan baik. Sedangkan satu taman lagi yang berada di luar
wilayah pemerintahan, informasi terkait pembangunannya, menyebar terutama
melalui warga sekitar taman.
Data primer penelitian
menunjukkan, responden mayoritas adalah pada usia produktif (gambar 3). Survey yang dilakukan di siang – sore hari menunjukkan bahwa RTH pada
kisaran waktu tersebut dikunjungi oleh pengunjung pada usia produktif.
Gambar
3. Umur Responden Pengunjung
Mayoritas responden (37%)
bekerja sebagai PNS, 16% pegawai swasta, 11% Ibu Rumah Tangga, dan 10%
pengusaha swasta.
Data penelitian
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan intensitas kunjungan ke RTH,
sebelum dan sesudah ditata (Gambar 4). Selain
faktor perbaikan kondisi RTH, fenomena ini juga sejalan dengan pendapat
(Enggar, 2006) yaitu terdapat keterkaitan antara tingkat aksesibilitas dengan
wilayah pelayanan. Mudahnya aksesibilitas membuat pengunjung memiliki intensitas
kunjungan yang tinggi. Saat berkunjung ke RTH, seorang individu cenderung
bersama keluarga dan teman.
Gambar
4. Kunjungan ke RTH dalam sebulan sebelum dan sesudah
ditata
Aspek-aspek yang mempengaruhi kualitas keberadaan taman, berdasarkan data pengunjung adalah: Kebersihan, keindahan, keamanan, dan kenyamanan. Data keberadaan taman terkait pengaruhnya terhadap persepsi kesehatan pengunjung sangat besar (gambar 5), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengunjung sudah merasakan manfaat taman bagi kesehatan.
Gambar
5. RTH dan kesehatan
Data keberadaan taman terkait pengaruhnya terhadap
persepsi interaksi sosial pengunjung juga menunjukkan hasil yang sangat besar (gambar
6). Dari bukti ini terlihat sudah
berjalannya fungsi ruang stimulan bantuan P2KH sebagai tempat interaksi sosial.
Gambar
6. RTH dan interaksi sosial
Penataan RTH menjadi taman memiliki pengaruh besar
terhadap persepsi kemanfaatan ruang yang ada (gambar 7).
Gambar
7. RTH dan manfaat
Pengunjung memiliki persepsi bahwa taman kota
hijau dapat menjadi sarana rekreasi dan media sosialisasi warga, serta sebagai
wadah pendidikan yang bermanfaat. Pengunjung memiliki persepsi bahwa
pengelolaan yang ada sudah pada taraf pengelolaan yang baik (Gambar 8).
Gambar
8. RTH dan pengelolaan
4. Kesimpulan dan Saran
Persepsi seseorang terhadap
sebuah
layanan (Handayani dkk, 2009) dapat diukur melalui dimensi tangible (sarana fisik, perlengkapan, personel dan lain-lain),
keandalan pelayanan (reliability),
ketanggapan pelayanan (responsiveness),
keyakinan/jaminan (assurance) dan
memahami kebutuhan pelanggan (empathy). Pada penelitian ini aspek tangibel tercermin pada kebersihan, keindahan, keamanan, dan
kenyamanan. aspek keandalan pelayanan dapat dilihat pada besarnya presentase
pengunjung yang merasakan pentingnya RTH. Ketanggapan pelayanan paling tidak
dapat dilihat dari data manfaat kesehatan dan interaksi sosial serta manfaat yang
meningkat setelah taman dibenahi. Dimensi memahami kebutuhan pelanggan terlihat
dari banyaknya pengunjung yang memberikan penilaian baik-sangat baik bagi
pengelolaan RTH.
5. Daftar Pustaka
Arianti, Iin, 2010. Ruang Terbuka Hijau, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Rekayasa, Januari
2010
Handayani R.S, Raharni, Gitawati R, 2009. Persepsi Konsumen Apotek terhadap Pelayanan
Apotek di Tiga Kota di Indonesia Jurnal Makara, kesehatan, vol. 13, no. 1,
juni 2009
Harnik, Peter,
2010. Urban Green Innovative Parks
for Resurgent Cities, Island Press, USA
Kemp, Roger and Stephani, Carl, Ed, 2011. Cities Going Green, Mc Farland &
Company, Inc Publisher, North Carolina
Liestiani Enggar, 2006. Pengaruh Aksesibilitas terhadap Wilayah Pelayanan Puskesmas di Kota
Magelang Berdasarkan Persepsi Pengunjung, Tugas Akhir Universitas
Diponegoro Semarang
Moughtin, Cliff and Shirley, Peter, 2005. Urban Design Green Dimensions,
Elsevier, Linacre House, Jordan Hill, Oxford
Tim Peneliti, 2013. Kajian Efektifitas Program Pengembangan Kota Hijau Mendukung Pembangunan
Kota, Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar