Senin, 09 Mei 2016

Mengoptimalkan IPAL di Hulu Citarum

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
* telah diterbitkan di Buletin Dinamika Riset Balitbang PUPR, 2016

Yudha P. Heston* dan Arif K. Hernawan

Sambil menyisihkan sampah, Jajang, 56 tahun, menyeka keringatnya. Meski medio Februari 2016 itu sudah memasuki musim hujan, siang itu matahari bersinar sangat terik. “Kalau musim kemarau sampah hanya 1 kubik perhari, tapi kalau musim hujan sampah bisa sampai 4-5 kubik perhari,” kata warga Desa Bojongsoang, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung itu.  
Gambar 1. Jajang memberikan informasi
Sumber: peneliti, 2016

Jajang salah satu petugas di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Bojongsoang. Tugasnya membersihkan sampah-sampah yang menyumbat di saluran dan kolam pada IPAL yang berlokasi di dua desa yakni Bojongsoang dan Bojongsari ini.
IPAL berfungsi untuk mengolah air buangan rumah tangga menjadi air yang aman untuk dimanfaatkan di lingkungan. Dibangun pada 1990, IPAL Bojongsoang beroperasi sejak 1992. Berdiri di atas lahan 85 hektar, IPAL ini meliputi area kolam pengolahan yang terdiri 14 kolam.

Bukan hanya mengolah limbah, IPAL Bojongsoang juga ditata dengan cantik dan asri. IPAL dihiasi tanaman bunga seperti anggrek, sedapmalam, bahkan tanaman obat, juga sejumlah satwa dan puluhan burung yang dilepasliarkan. Pemandangan di kolam-kolam IPAL juga mempesona dengan latar belakang Gunung Geulis dan Batu Asahan. Sejumlah sekolah dan instansi bahkan wakil beberapa negara menjadikan IPAL Bojongsoang sebagai tujuan wisata edukasi.

Instalasi ini menjadi instalasi pengolahan air buangan domestik terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara karena berasal dari aliran Sungai Citarum. Sungai Citarum adalah sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Untuk predikat tersebut di Pulau Jawa, Citarum menempati posisi ketiga.  Oleh karena itu, kondisi badan sungai dan daerah aliran sungai (DAS) Citarum,  juga pengelolaannya beserta peran serta semua pemangku kepentingan di sungai itu menjadi amat penting.  


Negeri seribu sungai
Sebagai negeri maritim, Indonesia bukan hanya terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan melainkan juga dialiri banyak sungai. Indonesia memiliki lebih dari 5500 sungai dengan 65 ribu anak sungai. Panjang total sungai utama mencapai 94.573 km dengan luas daerah aliran sungai mencapai 1.512.466 kilometer persegi.
Masyarakat menjadikan sungai sebagai bagian kehidupan mereka. Sebab sekitar 80% dari 250 juta masyarakat Indonesia tidak memiliki akses air melalui pipa. Selama 1999-2000, penggunaan sungai untuk air minum berada di kisaran 22%, dan terus meningkat.  Pada periode yang sama terjadi peningkatan penggunaan air sungai untuk mandi dan mencuci sebanyak 66%.

Kebutuhan dan Konsumsi air bersih terus meningkat secara signifikan. Namun sebagai penyumbang 6% dari sumberdaya air dunia, dan 21% dari Asia-Pasifik, Endah Murniningtyas (2015) menyatakan, Indonesia justru mengalami masalah besar dalam penyediaan air bersih.  Total permintaan air tahun 2000 sekitar 156 juta meter kubik  per tahun. Tahun 2015 jumlah itu diperkirakan menjadi dua kali lipat atau sekira 356,575 juta meter kubik per tahun.

Namun penyediaan air bersih menurun karena degradasi lingkungan dan polusi air. Tingkat degradasi sumberdaya air sekitar 15-35% per kapita per tahun. Kondisi tersebut lepas dari kondisi DAS sebagai sistem hidrologi yang jadi regulator untuk mengatur masukan air dari hujan menjadi keluaran dalam bentuk aliran air sungai. DAS juga menampung, menyimpan dan mengalirkan air dari curah hujan ke outlet seperti danau dan laur secara alami.

DAS meliputi seluruh wilayah daratan yang menjadi satu kesatuan antara sungai dan anak-anaknya. Salah satu ciri DAS yang sehat adalah kemampuannya untuk menjaga ketersediaan air dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas air.

Air pada DAS terdiri atas air hijau dan air biru. Green Water merupakan air yang tersimpan di dalam pori-pori tanah, juga air yang diikat oleh butiran tanah, serta air yang ada
dalam tanaman. Jumlah idealnya 65 %.  Adapun Blue Water adalah semua air segar atau tawar yang berada dalam sungai, danau, rawa, kolam/tambak dan air bawah tanah serta air aliran permukaan senilai 35 %.

Namun kini proporsi Blue Water di dalam DAS semakin tinggi dibandingkan dengan Green water. Misalnya blue water yang mengalir di Jakarta sudah mencapai lebih dari 40 %. Bahkan terdapat DAS dengan proporsi keduanya yang berkebalikan: blue waternya lebih tinggi daripada green water.
Mayoritas DAS di Indonesia pun digolongkan dalam kondisi kritis. Dari total 458 DAS,  22 DAS dalam kondisi kritis pada tahun 1984. Jumlah itu bertambah menjadi 39 DAS pada 1992, kemudian naik lagi jadi 62 DAS pada 2005, dan catatan terakhir 68 DAS kritis pada tahun 2012. Kurang dari tiga dekade, peningkatan kerusakan DAS di Indonesia meningkat lebih dari tiga kali lipat.

Suratman (2015), akademisi Universitas Gadjah Mada sekaligus koordinator Gerakan Restorasi Sungai Yogyakarta, bahkan merinci bahwa terdapat 60 DAS dalam kondisi kritis berat, 222 kritis, dan 176 berpotensi kritis. Selain itu, sebanyak 50 dari 155 DAS di Jawa tutupan hutannya sangat rendah.

Setidaknya, menurut pengajar ITB Nana Mulyana Arifjaya (2015), masalah DAS di Indonesia dikategorikan dalam 18 aspek. Pertama, 14 masalah besar dalam aspek biofisik, yaitu banjir, sampah, perambahan kawasan, kerusakan bentang alam, erosi dan sedimentasi tinggi, juga produktivitas lahan menurun.  Selain itu, teknik budidaya tidak ramah lingkungan, kelangkaan air bersih, pendangkalan sungai, limpasan permukaan tinggi, penurunan kualitas air, penurunan kuantitas air, dan kerusakan DTA.

Pada aspek lain, ada tiga masalah besar meliputi kapasitas SDM, kelembagaan dan hukum yang lemah; kemudian implementasi tata ruang masih rendah; dan partisipasi masyarakat masih minim. Tidak kalah penting terdapat masalah DAS dalam aspek sosial-ekonomi menyangkut kesejahteraan dan kualitas hidup yang menurun.
Pemerintah menetapkan lima DAS prioritas  untuk dijaga atau dipulihkan kondisinya. Upaya itu antara lain dengan indikasi terjaga atau meningkatnya jumlah mata air  melalui konservasi sumber daya air. Kelima DAS tersebut adalah DAS Ciliwung, Citarum, Serayu, Bengawan Solo, dan Brantas.
Restorasi Citarum
Sebagai sungai terbesar di Jawa Barat, dan ketiga di Pulau Jawa, Sungai Citarum menjadi situs penting dan strategis. Citarum termasuk sungai purba. Ia berhulu di Gunung
Wayang, Kabupaten Bandung, dengan ketinggian 1.700 m dpl dan  mengalir sejauh 297 kilometer menuju muaranya di pantai utara Pulau Jawa, di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi. DAS Citarum mencapai 30 ribu hektar.

Potensi sumber daya air Sungai Citarum diperkirakan mencapai 13 milyar m3/tahun, namun pemanfaatannya baru sekitar 7,5 milyar m3/tahun. Potensi inilah yang membuat bendungan terbesar di Indonesia dibangun di sungai ini yakni  Bendungan Jatiluhur pada  1957, kemudian bendungan Saguling (1985) dan Cirata (1988).

Pemanfaatan air Sungai Citarum digunakan untuk pemenuhan kebutuhan lainnya seperti sebagai sumber air irigasi pertanian, pendukung kegiatan industri, serta sebagai sumber air
minum penduduk Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi, Karawang, dan pemenuhan air baku untuk 80% penduduk Jakarta.

Namun kondisi Citarum memprihatinkan. Di hulu Citarum, tata guna lahan tidak sesuai peruntukan. Karena kekurangan lahan tanam, warga menjadikan kawasan hutan lindung sebagai lahan pertanian konvensional. Dengan demikian, fungsi konservasi hutan berkurang. Pada pertanian itu, pupuknya pun menggunakan pupuk kimia. Akibatnya kualitas tanah menurun berkurang dan ketika hujan terjadi erosi sehingga tanah turun ke sungai.
Daerah resapan bukan hanya berkurang di bagian hulu melainkan juga di tengah Citarum. Bantaran sungai digunakan untuk perumahan secara tidak tepat. Kemudian terjadi kerusakan dasar dan alur sungai karena penambangan pasir dan kerikil. Penggunaan lahan bekas sudetan sungai ikut tak terkendali.
Problem selanjutnya adalah pencemaran limbah industri dan sampah domestik seperti plastik dan kotoran manusia juga kotoran ternak. Beban pencemaran terbanyak disumbang oleh sektor domestik yakni sebesar 245,95 ton BOD per hari.
Jumlah itu disusul sektor industri dan UMKM dengan 185,17 ton BOD per hari limbah. Bidang peternakan, pertanian, dan lain-lain membebani Citarum dengan pencemaran masing-masing 12,58 ton, 3,01 ton, dan 6,5 ton BOD per hari.
Dari total beban pencemaran 453,21 ton BOD per hari, angka pencemaran sektor domestik berkontribusi terhadap lebih dari separuh beban pencemaran tersebut.

Dengan kondisi demikian, kualitas air menurun dibandingkan dengan standar baku/ kelas peruntukan sungai (tercemar ringan sampai sedang). Tidak kalah penting berkurangnya keanekaragaman hayati di sepanjang Citarum.
Sungai Citarum pun tercatat mengalami sedimentasi hingga 10 juta meter kubik per tahun dan kerugianya mencapai 923 ribu dolar. Sebuah media internasional menobatkan Sungai Citarum sebagai sungai paling kotor di dunia.

Restorasi dan pengelolaan Sungai Citarum pun menjadi langkah mendesak. Meski tiap sungai memiliki karakter berbeda, suksesnya restorasi sungai bisa dilihat di Sungai Cheonggye, Seoul, Korea Selatan. sungai itu jadi permukiman kumuh dan kotor pada 1950, namun kini berkembang asri jadi kawasan ekonomi dan tujuan wisata.
Restorasi untuk meningkatkan eksistensi dan mengembalikan esensi sungai, seperti disebutkan Agus Maryono (http://nasional.republika.co.id/) mencakup lima konsep. Antara lain  restorasi hidrologi : yakni pemantauan  kuantitas dan kualitas air; restorasi ekologi dengan pemantauan terhadap flaura dan fauna; restorasi morfologi dengan meninjau kembali bentuk keaslian sungai.
Selain itu, dengan restorasi sosial ekonomi yang bertujuan melihat manfaat sungai secara ekonomis serta mengajak masyarakat ikut serta untuk memperoleh ilmu pengetahuan di bidang sungai dan menumbuhkan rasa cinta terhadap lingkungan; dan restorasi Kelembagaan dan peraturan yang fokus untuk membuat peraturan-  peraturan yang dapat menjaga kelestarian sungai.
Adapun tujuan restorasi sungai, seperti yang ditawarkan Suratman, demi menjadikan sungai memiliki predikat Pancadaya Kali Istimewa. Pertama, “kali urip” yakni sungai yang bisa memberikan pengkayaan sumber kehidupan yang lestari bagi makhluk hidup. 
Kedua “kali waras” di mana ekosistem dan sosiosistem sungai terjaga secara harmonis dengan sumber air berkualitas, multiguna, dan memenuhi kehidupan manusia. Selanjutnya “kali wasis” yaitu sungai yang tak pernah surut mendukung inovasi dan kreativitas masyarakat,  juga menginspirasi kecerdasan intelektual, sosial, dan spiritual.
Berikutnya “kali digdaya”, sungai yang memiliki ketangguhan dalam pengelolaan ancaman bencana dan punya keunggulan pengelolaan gotong royong. Hingga pada puncaknya, “kali rahayu” sungai mengalirkan derajad kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan.
Untuk hulu Sungai Citarum, sejumlah langkah konservasi lahan dan konservasi air sudah ditempuh sejumlah pihak pemangku kepentingan Citarum. Antara lain dengan pengaturan tata guna lahan dengan membandingkan secara proporsional cathment area dan lahan pertanian juga ladang.
Penataan rumah warga di bantaran pun coba mengacu pada konsep 3M:  madhep, mundur, munggah (menghadap, mundur, naik dari sungai).  Selain itu, menjaga hutan sebagai tampungan buatan, membuat sumur resapan dan biopori. Berbagai langkah tersebut memerlukan upaya lebih optimal dan kontinyu untuk menunjukkan hasil.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pun telah menyusun masterplan restorasi hulu Sungai Citarum. Masterplan ini berupaya mewujudkan adanya pemodelan kualitas air, strategi pengendalian pencemaran air, juga pengnedalian erosi, sedimentasi, dan banjir.

Mengingat beban pencemaran terbesar datang dari sektor domestik, pengendalian pencemaran di sektor ini mendapat prioritas. Selain itu, karena sektor ini bersentuhan langsung sekaligus melibatkan peran serta masyarakat dan komunitas bantaran hulu Sungai Citarum.

Mengoptimalkan IPAL
Wujud pengendalian pencemaran sektor domestik adalah dengan pembangunan dan perbaikan tata kelola instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan instalasi pengolahan IPLT. Berbagai upaya dan rencana untuk membuat IPAL telah dicetuskan, seperti wacana pembangunan IPAL raksasa di aliran Sungai Citarum lama sampai rencana menggandeng pihak Korea Selatan yang berpengalaman dalam merestorasi sungai.

Hingga kini sejumlah IPAL dan IPLT skala domestik telah dibangun. Namun jumlah dan kondisi IPAL domestik masih jauh dari harapan. Pemerintah sedang dalam tahap perencanaan pembangunan IPAL domestik di Kota Cimahi. Namun, dari segi kebutuhan, IPAL domestik juga perlu dibangun di Kopo Sayati, Cilampeni-Soreang, Rancaekek, dan Majalaya.

IPAL-IPAL baru tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk menunjang fungsi IPAL yang sudah berdiri seperti IPAL Bojongsoang. Sejak beroperasi pada 1992, IPAL ini belum melakukan pengembangan.

Bagian depan IPAL Bojongsoang berupa manual bar screen untuk memisahkan sampah-sampah dari air limbah secara manual. Air limbah kemudian mengalir ke crew pump atau pompa ulir  yang menyedot air dan memompanya ke bak penampungan. Alat ini terdiri atas tiga penyedot dengan tiga mesin motor berkapasitas besar yang bekerja secara bergantian.

Gambar 2. Petugas mengambil sampah organik
Sumber: tim peneliti, 2016




Air limbah kemudian disalurkan ke  kolam penampungan biologi. Sebanyak 14 kolam biologi melakukan tiga proses biologis yaitu proses anaerobik, fakultatif dan maturasi.

Kolam anaerobik dalamnya 4 meter dan luas 4,04 hektar. Proses Anaerobik merupakan upaya penurunan bahan organik secara anaerobik dengan bantuan mikroba anaerob. Karakteristik kolam anaerobik antara lain dengan debit 80,835 m3 /hari, beban volumetrik 275 g BOD/m3/hari.  Kolam ini memiliki total beban organik 20,100 kg BOD/hari, waktu detensi 2 hari, temperatur 22,5 0C. BOD influent 360 mg/l dan BOD efluent 144 mg/l.

Gambar 3. Kolam anaerob
Sumber: tim peneliti, 2016

Proses fakultatif adalah upaya penurunan bahan organik secara anaerob dan aerob untuk stabilisasi air buangan. Karakteristik kolam ini debit 80,835 m3/hari, beban volumetrik 300 gr BOD/m3/hari, total beban organik 11,640 kg BOD/ hari.  Waktu detensi 5,6-7 hari. Kedalaman kolam ini 2 m  dengan luas area 29,8 ha dan bertemperatur 22,5 0C. BOD influent 144 mg/l dan BOD efluent 50 mg/l.

Proses maturasi atau  pematangan merupakan proses pematangan air buangan sebagai penyempurnaan dari kualitas efluen akhir sesuai dengan standar baku mutu yang berlaku sebelum dibuang ke perairan luar. Karakteristik kolam maturasi yaitu debit 80,835 m3 /hari, fecal coli 5000 MPN/100ml, dengan waktu detensi 3 hari.  Kedalaman kolam ini 1,5 m dengan luas area 32,2 ha dan temperatur 22,5 0C. BOD influent 50 mg/l dan BOD efluent 30 mg/l. Outlet kolam-kolam ini menuju ke anak sungai Citarum. 

Dengan segala teknologi pengolahan air limbah itu, IPAL Bojongsoang ternyata masih memerlukan peningkatan kapasitas dan pengelolaan. Sekitar 50 staf IPAL harus melakukan perawatan rutin untuk mesin dan pompa hingga pengurasan kolam tiga bulan sekali.

Hal itu mengingat mesin dan pompa IPAL berusia tua, bahkan sejak jaman Belanda.  Selain susahnya suku cadang, tingkat korosinya juga tinggi sehingga alat mudah berkarat. Kondisi ini diperburuk dengan suplai listrik yang hanya mengandalkan aliran PLN. “Kalau listrik PLN mati, pompa tidak beroperasi. Genset hanya untuk lampu. Tapi kalau emergency, bisa cepat nyala kembali,” ujar Kepala IPAL Bojongsoang Dadang Juarsa.

Tantangan lain pengelolaan IPAL ini yakni masyarakat belum sepenuhnya sadar pentingnya IPAL. Pada saluran sepanjang tiga kilometer, petani dan warga yang mengelola perikanan tak jarang membendung aliran IPAL untuk keperluan mereka. Padahal pihak IPAL sudah melakukan sosialisasi ke masyarakat dengan membuat papan peringatan. Sejauh ini relasi antar warga dan pihak IPAL juga baik, dengan adanya pengecekan kualitas air sumur warga oleh staf IPAL, juga berbagai kegiatan sosial.

Begitu pula halnya untuk IPLT. Kendati telah berdiri di Majalaya, Ciparay, dan Soreang, keberadaan IPLT untuk buangan tinja tersebut masih amat minim karena setidaknya diperlukan sembilan IPLT tinja lagi di bantaran sungai di hulu Citarum.

Selain IPAL domestik dan IPLT tinja, warga bantaran hulu Sungai Citarum juga memerlukan IPAL komunal. Sarana ini hendaknya didirikan di tiap kecamatan dengan jumlah seluruhnya mencapai 63 instalasi.

Di Kecamatan Majalaya misalnya, pemerintah telah dianggarkan pembangunan IPAL komunal  senilai Rp 127 miliar untuk dua zona yang meliputi enam desa. Zona pertama untuk 2.670 sambungan rumah dan zona kedua 5.624 rumah. Total daya tampung limbah IPAL komunal ini mencapai 2.700 meter kubik  per hari.

Namun penggunaan IPAL dirasa tidak optimal. Hal ini seperti terjadi di Desa Cikawau, Kecamatan Pacet. Dengan dana tiap IPALRp 500 juta, 5 dari 7 IPAL komunal yang dibangun sejak 2012 terbengkalai. “IPAL dibangun salah tempat sehingga sekadar menjadi monumen, “ kata wakil Yayasan Elemen Lingkungan, Dani.

IPAL terbengkalai karena jauh dari permukiman warga, yakni 2-3 kilometer dengan medan menanjak. IPAL dibangun jauh dari warga karena mengejar syarat penyediaan lahan hibah. Selain itu, IPAL ini tidak diserati pipa induk. Bangunan pun terlalu bagus untuk ukuran warga setempat. “Jangan ada kesan untuk hidup sehat itu harus mahal. Masyarakat tidak perlu mewah,” kata Dani.

Adapun dua IPAL komunal bisa dikelola warga dan komunitas dengan baik. Skalanya kecil, hanya untuk 50 KK, dan kualitas infrastrukturnya skala desa. Namun metode pelaksanaan tetap melibatkan masyarakat sehingga sarana tersebut dapat digunakan secara efektif.

Partisipasi bersama

Keberadaan dan kebutuhan pembangunan IPAL dan IPLT beserta penggunaanya memang tidak lepas dari dukungan dan partisipasi bersama antara pemerintah,  warga, dan komunitas setempat. Sebab masyarakat di sekitar hulu Sungai Citarum mendapat dampak langsung terhadap baik-buruknya sungai tersebut.

Pemerintah Propinsi Jawa Barat telah mencanangkan program “Citarum Bestari” untuk restorasi Citarum, bahkan menargetkan air Citarum bisa diminum pada 2019. Sejauh ini, sejumlah komunitas pun telah turut berupaya peduli terhadap kebersihan sungai Citarum.

Ini seperti ditunjukkan Komunitas Bangkit Bersama di Kilometer 77 Citarum, yang mengolah sampah plastik dan eceng gondok menjadi produk bernilai jual.  Komunitas Warga Peduli Lingkungan (WPL) bahkan membuat filter air sehingga sungai air Citarum sehat untuk dikonsumsi. “Kami membuat kegiatan  yang memang diperlukan oleh masyarakat supaya warga merasa ikut memiliki sungai,” ujar Yogantara dari WPL sekaligus anggota TKPSDA.

Juga beberapa komunitas yang melakukan aktivitas susur sungai guna mendokumentasikan kondisi hayati Citarum dan melakukan langkah konservasi. Tidak ketinggalan pula langkah konservasi dari komunitas budaya seperti gelaran Festival Citarum 2014 lalu.

Namun, tidak bisa dimungkiri pula, masih ada warga di bantaran Sungai Citarum yang kurang peduli terhadap sungai ini. Sebagian warga masih menganggap dan berperilaku seakan sungai adalah tempat sampah.

Sehingga tak mengherankan jika hingga kini masih ditemukan buangan rumah tangga yang mengotori aliran Sungai Citarum. Tim TKPSDA Citarum bahkan mencatat 40-45% dari 3,5 juta warga Kabupaten Bandung belum punya akses sanitasi sehingga limbah dibuang ke sungai terutama Citarum.

Oleh karena itu, bukan hanya penyediaan dan peningkatan fasilitas pengendalian pencemaran air seperti IPAL dan IPLT, upaya restorasi hulu Sungai Citarum juga sangat memerlukan cara pandang, perilaku, dan budaya warga yang lebih peduli terhadap lingkungan, terutama untuk sungai terbesar di Jawa Barat tersebut.

Sebagai tambahan informasi, Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada tahun anggaran 2016 ini melakukan kegiatan penelitian Perbaikan Tata Kelola IPAL dan IPLT untuk Mengatasi Pencemaran Air Baku DAS Citarum, yang akan menghasilkan rekomendasi kebijakan.


Referensi:

Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup, Peranan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai untuk Mendukug Pelestarian Sumber Daya Air, Jakarta 2015

Endah Murniningtyas, Meningkatkan Efektivitas Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu di Indonesia, Banjarnegara, 2015

Nana Mulyana Arifjaya, Tata Ruang DAS untuk Kesejahteraan Masyarakat, Banjarnegara, 2015

PDAM Tirtawening, Instalasi Pengolahan Air Limbah Bojongsoang, Bandung, tanpa tahun.

Suratman, Renaisan Yogya untuk Gerakan Restorasi Sungai Indonesia, Yogyakarta, 2015.

Tim Roadmap Program pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu di Wilayah Sungai Citarum, Aliran Kehidupan di Sungai Citarum, Jakarta, 2013.




*) Peneliti Madya bidang Sosiologi Permukiman, Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi



Tidak ada komentar:

Cepat Merespons Pandemi, Platform Manajemen Kota Perlu Disiapkan untuk Hadapi Situasi Disrupsi

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...