(telah dipublikasikan di majalah dinamika riset edisi II tahun 2015)
Indonesia
yang memiliki jumlah penduduk 237 juta jiwa pada tahun 2010 (sensus BPS),
dan diproyeksikan pada tahun 2015 mencapai jumlah ± 250 juta jiwa, perlu untuk
memperhatikan pemenuhan kebutuhan air bersih sebagai kebutuhan primer. Berdasarkan
catatan Direktorat Sumber Daya Air (2013) Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, Indonesia memiliki cadangan air sebanyak 3.906 miliar m3/
tahun. Jika kita coba menghitung kebutuhan air bersih menggunakan standar WHO
yaitu 30 liter/hari maka diperlukan 7,5 miliar liter/hari atau 2.737 miliar m3/
tahun. Melihat perbandingan kebutuhan dan ketersediaan itu tentunya masih
banyak cadangan airnya, namun perlu diingat bahwa keberadaan air yang kita
miliki tidaklah merata, dan tergantung oleh faktor curah hujan, letak geografis
dan kondisi geologis wilayah. Kondisi tidak meratanya ketersediaan air,
menyebabkan saat ini masih terdapat 100 juta orang di Indonesia yang memiliki
kesulitan dalam mengakses air bersih (Ditjen SDA, 2013), bahkan 70 persen
penduduk Indonesia mengkonsumsi air dari sumber – sumber yang tercemar.
Ukuran
layanan air bersih diistilahkan dengan singkatan 4 K, yaitu kuantitas, kualitas,
kontinuitas dan keterjangkauan. Dalam tulisan ini kita akan melihat
permasalahan layanan air pada aspek kuantitas dan kualitasnya, dan secara
khusus juga melihat adanya potensi kehilangan air baku air bersih.
Penduduk dan Kuantitas Air
Kalau
kita lihat secara normatif, berdasarkan PP No. 69 Tahun 2014 tentang Hak Guna
Air disebutkan, pemenuhan air bersih untuk kebutuhan pokok minimal sehari-hari
diberikan dengan ketentuan sebesar 60 liter/orang/hari dan diperoleh dari
Sumber Air/ tempat pengambilan Air, yang disediakan oleh pemerintah
kabupaten/kota dengan waktu tempuh paling lama 20 menit, dengan jalan kaki dari
permukiman. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut, kita perlu melihat proyeksi
sebaran penduduk Indonesia (tabel 1), yang selama ini masih menunjukkan
dominasi penduduk berada di pulau Jawa.
Tabel 1.
Penduduk per provinsi

Sumber: Neraca Air Baku Nasional, Dit
Jen Sumber Daya Air, 2015
Dengan
melihat sebaran penduduk tersebut, kita dapat melihat kebutuhan air per
provinsi (tabel 2), yang jika dijumlahkan total akan mencapai kurang lebih 15
miliar liter/hari.
Tabel 2.
Kebutuhan air

Sumber: Neraca Air Baku Nasional, Dit
Jen Sumber Daya Air, 2015
Pemerintah
melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pada kurun waktu 2015
- 2019 memiliki rencana untuk menambah jumlah penyediaan air baku sampai
sejumlah 66,84 m3/detik di berbagai wilayah provinsi di Indonesia. Jika
rencana penyediaan air baku ini dibandingkan dengan sebaran kebutuhan air,
dapat terlihat wilayah provinsi (tabel 3) yang masih memerlukan penambahan air
baku.
Tabel 3.
Kekurangan air


Beberapa
provinsi yang perlu waspada terkait kekurangan air bersih adalah Sumatera
Utara, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, NTT dan Papua.
Kehilangan
air baku
Masalah
lain terkait kuantitas air baku air bersih selain penyiapan kebutuah air baku
baru, adalah adanya potensi kehilangan air. Sebagai contoh kasus di Waduk
Wonogiri (tahun 2014-2015), dari jumlah produksi 1.308 m3/ detik
dalam satu tahun, terdapat kehilangan air 290 m3/detik atau sebesar
22% nya. Jika kita teliti di dalam 3 musim tanam (tabel 4) maka akan terlihat
kehilangan terbesarnya justru pada musim tanam I yaitu 35%, pada tanggal 1
November – 23 April. Sedangkan pada musim tanam II (30 April-4 Juli) terkecil
kehilangannya (8%) dan musim tanam III (5 Juli-31 Oktober) berada diantaranya
yaitu sebesar 13 %. Hal ini menunjukkan adanya fluktuasi kehilangan air dengan
faktor utama terkait musim, dan kebutuhan air oleh penduduk.
Tabel 4. Kehilangan
Air Baku




Sumber:
Pola Operasi Waduk Wonogiri, PJT 1, 2015
Keterangan
1: air yang tidak hilang, 2: kehilangan
air baku
Contoh
ini hanya kasus kejadian, dengan kurun waktu, dan wilayah spesifik, data lain
terkait kehilangan air baku untuk air minum, masih dalam tahapan penelitian
Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Permukiman.
Kualitas Air Baku
Sumber air untuk air minum dapat berasal dari
beberapa sumber air, misalnya air permukaan, air tanah, mata air maupun air di
angkasa. Sumber air yang berasal dari mata air, tentunya tidak memiliki masalah
dengan kualitasnya, namun lebih kepada kuantitas akibat dari alih fungsi lahan
dan perambahan hutan. Sumber air baku dari air permukaan sebagian besar telah
terkontaminasi dengan zat berbahaya bagi kesehatan, sehingga membutuhkan
pengolahan sebelum dapat dikonsumsi.
Dalam
proses pengolahan air, infrastruktur pertama untuk pengambil air diistilahkan
sebagai intake, dapat direncanakan
untuk dapat menangkap air dengan kualitas yang paling baik, menghindari ikan
dan benda mengambang, endapan kasar dan benda terlarut lainnya. Saluran air baku,
boleh menggunakan saluran terbuka jika air belum diolah, namun untuk yang telah
diolah, diharuskan menggunakan saluran tertutup
untuk menghindari pencemaran atau penurunan kualitas air.
Kualitas
air baku dapat berada pada kondisi memenuhi syarat baku mutu, ataupun tidak
seluruhnya memenuhi syarat baku mutu. Ketidaksesuaian dengan syarat baku mutu
ini dapat diselesaikan dengan pengaturan penggunaan
bahan kimia. Namun hal ini juga dapat memberikan dampak munculnya limbah
lumpur, yang membutuhkan pembilasan pada bangunan pengolah air. Hal ini
menyebabkan munculnya tambahan kebutuhan air untuk produksi akibat kualitas
yang tidak standar. Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Lingkungan Bidang Permukiman, di tahun 2015 ini mencoba untuk memformulasi
potens kehilangan air baku akibat kualitas yang tidak baik, yang mengakibatkan
adanya tambahan air yang terbuang dalam proses produksi.
Sebagai catatan akhir tulisan ini perlu diperhatikan bersama
terkait peran dari masyarakat dan kita bersama untuk dapat menjaga sumber air baku, untuk
menghindari in efisiensi pengolahan air, memperkuat kemampuan adaptif terhadap
faktor musim (baik penghujan dan kemarau), dan manajemen infrastruktur (sumber
air baku, pengolahan, produksi dan distribusi) yang baik.
Referensi:
·
(Sumber daya air dalam angka,
Direktorat Jenderal SDA, 2013)
·
(http://ciptakarya.pu.go.id/water/post.php?q=101-Satu-Orang-Indonesia-Konsumsi.html)
·
Pola Operasi Waduk Wonogiri, PJT
1, 2015
·
Neraca Air Baku Nasional, Dit Jen
Sumber Daya Air, 2015
·
Effendi, Hefni, 2003. Telaah Kualitas
Air: Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar