Bulan ini dunia kembali memperingati Hari Habitat, yang
jatuh pada tanggal 4 Oktober 2021. Tema tahun ini adalah mempercepat aksi
perkotaan untuk dunia bebas karbon. Peringatan
ini merupakan saat tepat untuk melakukan refleksi, terhadap interaksi manusia,
ekosistem lingkungan dan bangunan yang terbangun. Interaksi yang secara masif
terlihat di wilayah yang disebut sebagai kota.
Penduduk kota sejak tahun 2007, proporsinya terus melebihi
penduduk desa, akan terus bertambah. Bahkan berdasarkan proyeksi, akan mencapai
85% dibandingkan penduduk desa, pada tahun 2050. Peningkatan populasi kota,
berimbas pada peningkatan aktivitas di kota, yang jika tidak dikendalikan dapat
mengancam daya dukung dan daya tampung lingkungan. Belum lagi ancaman efek gas
rumah kaca, yang menyebabkan pemanasan global.
Kegiatan yang diidentifikasi menghasilkan emisi gas
rumah kaca antara lain, deforestasi atau laju perambahan hutan, menyumbangkan
kontribusi 37% efek rumah kaca di Indonesia. Selanjutnya, polusi transportasi
berperan dalam produksi 114 juta ton CO2 (2015). Konsumsi energi yang digunakan
untuk menghasilkan listrik, dengan menggunakan batubara, minyak bumi dan gas,
belum mengutamakan penggunaan energi terbarukan. Produksi sampah di Indonesia
yang termasuk besar, berpengaruh terhadap emisi gas rumah kaca, karena adanya produksi
Metana, dapat mengurangi kadar oksigen pada atmosfer bumi.
Tantangan perkotaan tersebut,
perlu ditangani, secara komprehensif dan sistematis, yaitu dengan mengelola
bangunan terbangun. Bangunan gedung menurut (IPCC, 2007), berkontribusi
terhadap konsumsi 1/3 sumber daya energi dunia, 12% total air bersih, dan 40%
dari total emisi.
Kementerian PUPR, telah menginisiasi
pembangunan berbasis Bangunan Gedung Hijau (BGH), di beberapa proyek gedung. Direktur
Jenderal Cipta Karya, Kementerian PUPR menyatakan bahwa penggunaan konsep Bangunan Gedung Hijau
(BGH), merupakan salah satu upaya mengurangi emisi karbon (4/10/2021). Beberapa bangunan telah menerapkan prinsip BGH, misalnya pembangunan
beberapa kampus, pasar, rumah susun, termasuk juga bangunan arena olahraga yang
digunakan pada PON XX Papua.
Penerapan pembangunan dengan menggunakan atribut
gedung hijau, didasari oleh beberapa peraturan terkait, yaitu Permen PUPR Nomor
9 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelengggaraan Konstruksi Berkelanjutan. Selanjutnya,
Permen PUPR Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja BGH. Dua peraturan
lainnya terkait yaitu Permen PU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi
Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim tahun 2012 – 2020, dan Permen
PUPR Nomor 02 tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Hijau. Peraturan – peraturan
ini diperlukan untuk menjadi acuan normatif pengurangan emisi gas rumah kaca,
yang bersumber dari bangunan gedung.
Kontribusi keberadaan bangunan gedung hijau, dapat
mempengaruhi iklim mikro di sekitar gedung. Penerapan prinsip gedung hijau, dapat
meningkatkan efektifitas dan efisiensi konsumsi listrik, air dan energi. Hal
ini pada gilirannya dapat menjaga kelestarian lingkungan. Manfaat penerapan BGH
lainnya adalah untuk menurunkan biaya operasional dan pemeliharaan gedung.
Penghematan energi berkorelasi pada kontribusi pengurangan emisi CO2 dan
penghematan finansial.
Kesadaran untuk menggunakan energi, yang meminimalisir produksi
karbon, juga dilakukan beberapa kota di dunia. Misalnya saja kota Vancouver di
Kanada, yang mengoptimalkan pemanfaatan tenaga air, angin dan juga matahari
pada bangunan. Di Kota Vancoucer, berdiri gedung hemat energi tertinggi di
dunia, setinggi 178 meter, yang diberi nama Gedung 1075 Nelson Street. Bangunan
ini menggunakan kaca lapis tiga dengan kinerja sampai 40%, dinding berinsulasi
super 60%. Penggunaan kaca ini berguna untuk mengantisipasi kehilangan panas,
melalui selubung kulit bangunan dan memenuhi kebutuhan panas untuk bangunan.
Di sisi lain, Sekjen Perserikatan Bangsa – Bangsa Antonio
Guterres mengingatkan, rencana pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19,
memberi kesempatan kepada seluruh generasi untuk menjadikan aksi iklim, energi
terbarukan, dan pembangunan berkelanjutan sebagai pusat strategi dan kebijakan
perkotaan. Menurutnya, hanya dengan adanya partisipasi aktif kota-kota, maka
target untuk mencapai emisi karbon nol dapat tercapai. Konstruksi dan
bahan bangunan yang ramah lingkungan harus digunakan disegala tempat. Serta
bangunan itu sendiri harus hemat energi. Dengan hal ini, akan membawa
manfaat dalam hal pengurangan polusi dan risiko iklim, peningkatan lapangan
kerja, peningkatan kesehatan dan kesejahteraan.
Kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan dalam
konteks mengurangi emisi karbon, penting untuk dilakukan. Hal ini perlu
dilakukan untuk menjadi dasar pembangunan ke depan yang lebih bersifat terbuka,
inklusif, dan berkelanjutan untuk semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar