buku modul.
versi lengkap dapat menghubungi alamat yang tertera pada web ini.
TIM PENELITI
DIMAS
HASTAMA NUGRAHA
YUDHA
PRACASTINO HESTON
ANNISA
INDAH MASITHA
AHMAD
YUSUF ALJUNAID
DWI
ARDIANTA
©
Balai Litbang Sosekling Bid. Permukiman, Puslitbang Sosekling, Balitbang
Kementerian Pekerjaan Umum, 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Bencana merupakan peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan faktor non-alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Lingkungan permukiman
yang hancur dan porak-poranda akibat bencana alam menjadi tempat tinggal yang
tidak kalah bahayanya dengan sumber bencana itu sendiri. Beberapa contoh
seperti tercemarnya sumber air, sampah yang menumpuk menjadi tempat hidup
berbagai vektor penyakit, dan genangan air yang menjadi tempat hidup nyamuk.
Indonesia termasuk dalam daerah yang dikelilingi oleh Cincin Api
Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (Ring
of Fire) yang sering mengalami
gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra
Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang
40.000 km. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik. Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi di
dunia dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang Cincin Api ini.
Daerah gempa berikutnya (5 – 6% dari seluruh gempa dan 17% dari gempa terbesar)
adalah sabuk Alpide yang membentang dari Jawa ke Sumatra, Himalaya, Mediterania
hingga ke Atlantika. Gambar Ring of Fire terdapat
pada Gambar 1.1
129 gunung api aktif di Indonesia,
Merapi termasuk yang paling terkenal, Konsekeunsi dari adanya Ring of Fire,
Indonesia rentan terhadap beragam bencana seperti gempa bumi, tsunami,
banjir, tanah longsor, badai dan angin topan, wabah penyakit, kekeringan dan
gunung api. Bencana muncul ketika ancaman alam (seperti gunung api) bertemu
dengan masyarakat yang rentan (perkampungan di lereng gunung api) yang
mempunyai kemampuan rendah atau tidak mempunyai kemampuan untuk menanggapi
ancaman itu (tidak ada pelatihan atau pemahaman tentang gunung api atau tidak
siap siaga). Dampak yang muncul adalah terganggunya kehidupan masyarakat
seperti hancurnya lingkungan permukiman, kerusakan harta benda serta korban
jiwa.
Pada penghujung tahun 2010, Gunung
Merapi yang merupakan salah satu gunung teraktif di dunia meletus dengan
dahsyat. Diantara diantaranya karena aktivitas vulkaniknya yang tinggi, serta
letaknya di bagian tengah pulau Jawa di jantung budaya Jawa yang kental aspek
kultural, mitologi dan sosial politik. Dengan sifatnya yang sering erupsi
(meletus), secara vulkanologis Gunung
Merapi menguntungkan untuk menjadi laboratorium alam dalam rangka
melakukan ujicoba berbagai peralatan dan metodologi penelitian.
Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah, penduduk yang bermukim di lereng Merapi cukup padat menyebabkan tingkat
ancaman bahaya Merapi menjadi tinggi. Merapi adalah fenomena alam yang mampu
memberikan sumber kehidupan yang baik dari kesuburan tanahnya dan kenyamanan
untuk bertempat tinggal di sana. Lingkungan gunungapi akan membentuk pola
masyarakat yang khas. Masyarakat di lereng Merapi berdasarkan tinjauan sosiologis
relatif homogen dari segi etnisitas dan agama, sebagian besar masih menjalankan
tradisi Jawa, berbahasa jawa, hidup komunal dan mempunyai sifat kekeluargaan
gotong royong, mayoritas mata pencaharian agraris, sebagian kecil bergerak di
bidang pertambangan, kepariwisataan dan pegawai negeri (BPPTK, 2010).
Ketika terjadi erupsi pada bulan
November 2010, dampak primer yang terjadi sangat besar seperti gas beracun,
awan panas, lahar, dan berbagai material yang dimuntahkan. Kesemua dampak
primer tersebut langsung menerjang wilayah permukiman warga sehingga
mengakibatkan korban jiwa, harta benda, lingkungan permukiman, kebun-kebun, dan
lain-lain. Pada saat itu, proses evakuasi dan tanggap darurat dilakukan oleh
masyarakat dibantu oleh para relawan, komponen pemerintah dari tingkat terkecil
RT/RW, kelurahan, kecamatan, hingga pemerintah pusat.
Di tempat lain di Pulau Jawa, ada Gunung Semeru yang merupakan gunung
tertinggi di Pulau Jawa. Aktivitas Gunung Semeru akhir- akhir ini juga
menampakkan aktivitas yang fluktuatif. Pada tahun 2010 yang lalu, Gunung Semeru yang terletak di
Kabupaten Lumajang juga meletus. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa dan
kerusakan seperti Merapi, tetapi
letusannya juga menyebabkan penduduk sekitar lereng meninggalkan rumah mereka
masing- masing.
Baik dari Gunung Merapi maupun Semeru, untuk mengembalikan lagi
kondisi masyarakat di lerang merapi, maka telah dan akan dilakukan berbagai upaya-upaya rehabilitasi dan
rekonstruksi. Pada tahap ini, teknologi
tepat guna permukiman sangat dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan
kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan fisik penduduk. Selain teknologi, sebagai pendukung, dari kebijakan eksisting yang
ada, Pemerintah Provinsi DIY sendiri sudah menyiapkan rancangan Peraturan
Gubernur (Pergub) tentang penanganan daerah lokasi pasca bencana Gunung Merapi.
Sedangkan Pemerintah Kabupaten Lumajang sudah memberikan rencana kontigensi
terkait dengan kerusakan akibat bencana Gunung Semeru.
Dalam konteks teknologi tersebut,
diperlukan upaya-upaya yang jitu agar penerapan berbagai teknologi tersebut
dapat memberikan manfaat yang signifikan kepada masyarakat korban bencana. Diharapkan dengan adanya penerapan
teknologi bidang permukiman, secara sosial, ekonomi dan lingkungan akan
memulihkan kehidupan masyarakat baik secara sosial, ekonomi dan lingkungan secara berkelanjutan.
Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha
untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Dengan demikian
definisi adaptasi selalu berkaitan erat dengan pengukuran, dimana tingkat
keberhasilan suatu organisme dapat bertahan hidup. Sejauh mana, dapat dikenali
bahwa adaptasi dapat dikatakan berhasil atau tidak. Adaptasi adalah salah satu tahap dalam proses relokasi
penduduk pasca bencana dimana tahap sebelumnya adalah persiapan dan sesudahnya
adalah pemberdayaan. Kemampuan adaptasi terhadap penerapan TTG pasca bencana bermanfaat untuk tetap eksis dalam berbagai
perubahan kondisi yang terjadi karena adanya bencana. Dengan adanya strategi adaptasi dapat memberi manfaat.
Manfaat yang diperoleh dari adaptasi melalui TTG ini adalah peningkatan kapasitas adaptif yang pada gilirannya
akan meningkatkan kualitas masyarakat yang sebelumnya bergantung dan fatalisme
menjadi masyarakat yang
mandiri dan inovatif (Usman, 2011).
Merujuk pada latar belakang, maka pertanyaan penelitian pada penelitian ini
adalah apa model peningkatan
kapasitas adaptif masyarakat dalam penerapan TTG Bidang permukiman pasca
bencana gunung berapi mendukung relokasi penduduk?
Tujuan penelitian adalah menyusun model peningkatan
kapasitas adaptif masyarakat dalam Penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) Bidang
Permukiman Pasca Bencana Gunung Berapi yang termasuk didalamnya
penyusunan instrumen pemetaan dasar dan evaluasi hasil peningkatan kapasitas
adaptasi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Smith and Wandel (2006) menyatakan
bahwa adaptasi dalam konteks perubahan global biasanya mengacu pada
suatu proses, tindakan atau hasil dalam suatu sistem (rumah tangga, komunitas,
kelompok, sektor, wilayah, negara) agar sistem tersebut dapat mengatasi,
mengelola atau hanya menyesuaikan diri dengan lebih baik terhadap perubahan, tekanan, bahaya, risiko atau
peluang. Berbagai literatur tentang
adaptasi sebagian besar membahas mengenai perubahan iklim sebagai tema
umum. Brooks (2003, hal. 8), menjelaskan adaptasi sebagai “penyesuaian dalam
perilaku sistem dan karakteristik yang dapat meningkatkan kemampuannya untuk
mengatasi tekanan (stress)
eksternal”. Smit dkk (2000, hal. 225), menyampaikan dalam konteks perubahan iklim, adaptasi dilihat
sebagai ''penyesuaian dalam sistem ekologi-sosial-ekonomi dalam menanggapi
rangsangan iklim aktual atau yang diharapkan, termasuk efek atau dampaknya''. Pielke (1998, hal. 159),
juga dalam konteks iklim, mendefinisikan adaptasi sebagai ''penyesuaian dalam
kelompok-kelompok individu dan perilaku kelembagaan untuk mengurangi kerentanan
masyarakat terhadap iklim''. Berdasarkan waktu, adaptasi dapat diantisipasi
atau reaktif, dan tergantung pada derajat spontanitas, dapat secara mandiri
atau dapat juga direncanakan (Fankhauser et al, 1999; Smit et al, 2000).
Konsep adaptasi, kapasitas adaptasi, kerentanan, ketahanan, besaran
dampak, dan sensitivitas adalah
hal-hal yang saling terkait dan dikaji
secara luas dalam bidang ilmu perubahan global. Analisis dapat dilakukan pada level individu atau rumah tangga terhadap
dampak tertentu seperti kekeringan, level masyarakat terhadap beberapa tekanan, serta manusia secara umum (atau ekosistem global) terhadap semua tekanan dan ancaman. Penerapannya juga bervariasi tergantung
fenomena kepentingan (biologi,
ekonomi, sosial, dan lain-lain), dan dengan skala waktu (seketika, bulanan,
tahunan, dekade, abad). Berbagai kajian sudah dilakukan terkait dengan
kerentanan dan adaptasi dari sistem fisik atau biologi, misalnya ketahanan ekosistem dan sistem ekologi
sosial ditinjau oleh Folke (2006).
Aspek-aspek
adaptive capacity dapat mencakup 4
bidang utama, yaitu [1]:
a. faktor yang berpengaruh dalam kapasitas adaptif dan
interaksinya,
b. skala spasial dan temporal yang relevan dengan kapasitas
adaptif,
c. kaitan antara kapasitas adaptif, kerentanan (vulnerability)
dan penanganannya,
d. hubungan teoritis antara adaptasi dan keberlanjutan.
Secara skematis, aspek-aspek penting
terkait kapasitas adaptif disajikan dalam gambar berikut:
Pemahaman yang baik mengenai
aspek-aspek penting kapasitas adaptif akan memungkinkan disusun berbagai
variasi adaptasi (proses, bentuk dan strategi) dan membantu membangun jalur
adaptasi (adaptation pathways)
sebagai upaya peningkatan kapasitas adaptasi.
Berbagai kajian memperlihatkan inisiatif praktis yang secara kongkrit dapat mengatasi dan meningkatkan kapasitas adaptasi sosial, sehingga
mengurangi kerentanan, diharapkan dapat terjadi pada tingkat komunitas (Kates, 2000; Kelly dan Adger,
2000; Ford dan Smit, 2004). Ada banyak contoh inisiatif internasional dan
nasional yang memiliki potensi untuk berkontribusi untuk pengurangan kerentanan
pada tingkat individu yang
efeknya dapat dilihat pada tingkat masyarakat. Misalnya, Rencana Aksi Adaptasi Nasional (National Adaptation Plans of Action - NAPAs), jika diterapkan secara efektif, harus menghasilkan hasil yang nyata
dalam komunitas. Komunitas
didefinisikan sebagai agregasi rumah tangga, yang saling berhubungan, dan dengan batas spasial yang
terbatas, menurut Coombes
dkk. (1988) disebut “lokalitas'.
Jalur adaptasi yang dilakukan
merupakan bagian dari jalur pembangunan berkelanjutan, yang terdiri dari aspek
proses, bentuk, serta strategi yang diambil, sebagaimana secara skematis
disajikan dalam gambar berikut:
Analisis spesifik dari kapasitas
adaptif dapat mengaktifkan antara lain pengetahuan yang spesifik dan konkrit
mengenai ketiga aspek tersebut. Lebih jauh, pandangan ini memungkinkan
mengkarakterisasi, dengan sistem yang ada, jalur adaptasi dalam mengantisipasi
perubahan yang terjadi.
[1]
For a better understanding of adaptive capacity to climate change: a research
framework, Alexandre Magnan (IDDRI-Sciences Po), N°02/10 May 2010
BAB V
KESIMPULAN
·
Model
peningkatan kapasitas adaptif terdiri atas empat tahapan yang mencakup
penilaian, pemetaan kapasitas adaptif, pemilihan strategi, dan rencana tindak
lanjut (model AMSA)
·
Untuk
melakukan penilaian, maka digunakan indikator penilaian kapasitas adaptif
masyarakat,
·
Untuk
melakukan pemetaan kapasitas adaptif dapat dilakukan dengan metode jaring
laba-laba
·
Untuk
melakukan pemilihan strategi digunakan model strategi peningkatan kapasitas
adaptif masyarakat berdasarkan indikator tinggi, sedang, rendah.
·
Untuk
menentukan rencana tindak lanjut dapat dilakukan dengan alat matriks rencana
tindak per lokasi studi dan jenis TTG.
REKOMENDASI
·
Perlu
diuji untuk skala yang lebih luas, untuk memvalidasi dan men-generalisasi model
terutama terkait keterwakilan populasi yang diteliti.
·
Mengambil
data pada proyek-proyek yang daur siklus proyek (SIDLACOM:
Survey,Investigation,Land Acquisition,Contruction,Operation and Maintenance)
telah selesai.
·
Obyek
penelitian sebaiknya ada yang populasinya sama (within), dan populasi yang
tidak sama (between) sehingga bisa dilakukan triangulasi.
·
Aspek
lokasi perlu diperhatikan kembali terkait dengan teknologi tepat guna yang
diterapkan
·
Agar
lebih mengenali karakteristik teknologi tepat guna yang diteliti
·
Agar
penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Sosekling terintegrasi dengan
penelitian puslitbang teknis lainnya sebaiknya dilakukan kerjasama penelitian
dengan melibatkan tenaga puslitbang teknis lainnya kedalam tim penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Adger, W Neil;
Nick Brooks, Graham Bentham, Maureen Agnew and Siri Eriksen, January 2004, New Indicators Of Vulnerability And Adaptive
Capacity, Tyndall Centre for Climate Change Research
Folke, C., 2006.
Resilience: the emergence of a perspective for social–ecological systems
analyses. Global Environmental Change 16 (3), 253–267
http://www.csiro.au/org/ClimateAdaptationFlagship.html
Klein, Richard
J.T, 13–14 March 2002, Climate Change, Adaptive Capacity and Sustainable
Development, OECD Informal Expert Meeting on Development and Climate Change,
Paris, France
Magnan,
Alexandre, May 2010, For a better
understanding of adaptive capacity to climate change: a research framework,
IDDRI-Sciences Po, N°02/10 May 2010
Nielsen, Debbie,
March 2007 The City Of Iqaluit’s Climate Change Impacts, Infrastructure Risks
& Adaptive Capacity Project
Preston, B.L. and
Stafford-Smith, M. (2009). Framing Vulnerability And Adaptive Capacity
Assessment: Discussion paper. CSIRO Climate Adaptation Flagship Working paper
No. 2.
Sarket, Ashish,
Monirul Mirza and William Gough, Adaptive Capacity of a Flood Vulnerable
Community in Rural Bangladesh-A Case Study of the Kaliganga River Basin,
Environment Canada
Smit, Barry Smit
and Johanna Wandel, 2006, Adaptation, Adaptive Capacity And Vulnerability,
Global Environmental Change 16 (2006) 282–292, Department of Geography,
University of Guelph, Guelph, Ont., Canada N1G 2W1
Sutomo, Heru, Sulistiono,
Amiruddin Lutfi, 2011, Kajian Aksesibilitas Tanggap Darurat Pada Bencana
Letusan Gunung Merapi, Hibah Bersaing Penelitian Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
Usman, Sunyoto, Mark
Brussel, Juhri Iwan Agriawan, 2011, Pengembangan Infrastruktur Hunian Sementara
Bagi Korban Bencana Letusan Gunung Merapi, Hibah Bersaing Penelitian Dosen Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
W. Neil Adger, Katharine
Vincent, 2004, Uncertainty In Adaptive Capacity,Tyndall Centre for Climate
Change Research, School of Environmental Sciences, University of East Anglia,
Norwich, UK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar