Selasa, 24 Februari 2015

PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTIF MASYARAKAT (DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA (TTG) BIDANG PERMUKIMAN PASCA BENCANA GUNUNG BERAPI)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
buku modul.
versi lengkap dapat menghubungi alamat yang tertera pada web ini.

TIM PENELITI

DIMAS HASTAMA NUGRAHA
YUDHA PRACASTINO HESTON
ANNISA INDAH MASITHA
AHMAD YUSUF ALJUNAID
DWI ARDIANTA



© Balai Litbang Sosekling Bid. Permukiman, Puslitbang Sosekling, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum, 2012

BAB I

PENDAHULUAN

Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Lingkungan permukiman yang hancur dan porak-poranda akibat bencana alam menjadi tempat tinggal yang tidak kalah bahayanya dengan sumber bencana itu sendiri. Beberapa contoh seperti tercemarnya sumber air, sampah yang menumpuk menjadi tempat hidup berbagai vektor penyakit, dan genangan air yang menjadi tempat hidup nyamuk.
Indonesia termasuk dalam daerah yang dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (Ring of Fire) yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik. Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi di dunia dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang Cincin Api ini. Daerah gempa berikutnya (5 – 6% dari seluruh gempa dan 17% dari gempa terbesar) adalah sabuk Alpide yang membentang dari Jawa ke Sumatra, Himalaya, Mediterania hingga ke Atlantika. Gambar Ring of Fire terdapat pada Gambar 1.1

Gambar 1. 1   Ring of Fire
129 gunung api aktif di Indonesia, Merapi termasuk yang paling terkenal, Konsekeunsi dari adanya Ring of Fire, Indonesia rentan terhadap beragam bencana seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, badai dan angin topan, wabah penyakit, kekeringan dan gunung api. Bencana muncul ketika ancaman alam (seperti gunung api) bertemu dengan masyarakat yang rentan (perkampungan di lereng gunung api) yang mempunyai kemampuan rendah atau tidak mempunyai kemampuan untuk menanggapi ancaman itu (tidak ada pelatihan atau pemahaman tentang gunung api atau tidak siap siaga). Dampak yang muncul adalah terganggunya kehidupan masyarakat seperti hancurnya lingkungan permukiman, kerusakan harta benda serta korban jiwa.
Pada penghujung tahun 2010, Gunung Merapi yang merupakan salah satu gunung teraktif di dunia meletus dengan dahsyat. Diantara diantaranya karena aktivitas vulkaniknya yang tinggi, serta letaknya di bagian tengah pulau Jawa di jantung budaya Jawa yang kental aspek kultural, mitologi dan sosial politik. Dengan sifatnya yang sering erupsi (meletus), secara vulkanologis Gunung Merapi menguntungkan untuk menjadi laboratorium alam dalam rangka melakukan ujicoba berbagai peralatan dan metodologi penelitian.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, penduduk yang bermukim di lereng Merapi cukup padat menyebabkan tingkat ancaman bahaya Merapi menjadi tinggi. Merapi adalah fenomena alam yang mampu memberikan sumber kehidupan yang baik dari kesuburan tanahnya dan kenyamanan untuk bertempat tinggal di sana. Lingkungan gunungapi akan membentuk pola masyarakat yang khas. Masyarakat di lereng Merapi berdasarkan tinjauan sosiologis relatif homogen dari segi etnisitas dan agama, sebagian besar masih menjalankan tradisi Jawa, berbahasa jawa, hidup komunal dan mempunyai sifat kekeluargaan gotong royong, mayoritas mata pencaharian agraris, sebagian kecil bergerak di bidang pertambangan, kepariwisataan dan pegawai negeri (BPPTK, 2010).
Ketika terjadi erupsi pada bulan November 2010, dampak primer yang terjadi sangat besar seperti gas beracun, awan panas, lahar, dan berbagai material yang dimuntahkan. Kesemua dampak primer tersebut langsung menerjang wilayah permukiman warga sehingga mengakibatkan korban jiwa, harta benda, lingkungan permukiman, kebun-kebun, dan lain-lain. Pada saat itu, proses evakuasi dan tanggap darurat dilakukan oleh masyarakat dibantu oleh para relawan, komponen pemerintah dari tingkat terkecil RT/RW, kelurahan, kecamatan, hingga pemerintah pusat.
Di tempat lain di Pulau Jawa, ada Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Aktivitas Gunung Semeru akhir- akhir ini juga menampakkan aktivitas yang fluktuatif. Pada tahun 2010 yang lalu, Gunung Semeru yang terletak di Kabupaten Lumajang juga meletus. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa dan kerusakan seperti Merapi, tetapi letusannya juga menyebabkan penduduk sekitar lereng meninggalkan rumah mereka masing- masing.
Baik dari Gunung Merapi maupun Semeru, untuk mengembalikan lagi kondisi masyarakat di lerang merapi, maka telah dan akan dilakukan berbagai upaya-upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada tahap ini, teknologi tepat guna permukiman sangat dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan fisik penduduk. Selain teknologi, sebagai pendukung, dari kebijakan eksisting yang ada, Pemerintah Provinsi DIY sendiri sudah menyiapkan rancangan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang penanganan daerah lokasi pasca bencana Gunung Merapi. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Lumajang sudah memberikan rencana kontigensi terkait dengan kerusakan akibat bencana Gunung Semeru.
Dalam konteks teknologi tersebut, diperlukan upaya-upaya yang jitu agar penerapan berbagai teknologi tersebut dapat memberikan manfaat yang signifikan kepada masyarakat korban bencana. Diharapkan dengan adanya penerapan teknologi bidang permukiman, secara sosial, ekonomi dan lingkungan akan memulihkan kehidupan masyarakat baik secara sosial, ekonomi dan lingkungan secara berkelanjutan.
Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Dengan demikian definisi adaptasi selalu berkaitan erat dengan pengukuran, dimana tingkat keberhasilan suatu organisme dapat bertahan hidup. Sejauh mana, dapat dikenali bahwa adaptasi dapat dikatakan berhasil atau tidak. Adaptasi adalah salah satu tahap dalam proses relokasi penduduk pasca bencana dimana tahap sebelumnya adalah persiapan dan sesudahnya adalah pemberdayaan. Kemampuan adaptasi terhadap penerapan TTG pasca bencana bermanfaat untuk tetap eksis dalam berbagai perubahan kondisi yang terjadi karena adanya bencana. Dengan adanya strategi adaptasi dapat memberi manfaat. Manfaat yang diperoleh dari adaptasi melalui TTG ini adalah peningkatan kapasitas adaptif yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas masyarakat yang sebelumnya bergantung dan fatalisme menjadi masyarakat yang mandiri dan inovatif (Usman, 2011).

1.2.    Rumusan Masalah DAN TUJUAN Penelitian
Merujuk pada latar belakang, maka pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah apa model peningkatan kapasitas adaptif masyarakat dalam penerapan TTG Bidang permukiman pasca bencana gunung berapi mendukung relokasi penduduk?

Tujuan penelitian adalah menyusun model peningkatan kapasitas adaptif masyarakat dalam Penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) Bidang Permukiman Pasca Bencana Gunung Berapi yang termasuk didalamnya penyusunan instrumen pemetaan dasar dan evaluasi hasil peningkatan kapasitas adaptasi




BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.   KONSEP ADAPTIVE CAPACITY
Smith and Wandel (2006) menyatakan bahwa adaptasi dalam konteks perubahan global biasanya mengacu pada suatu proses, tindakan atau hasil dalam suatu sistem (rumah tangga, komunitas, kelompok, sektor, wilayah, negara) agar sistem tersebut dapat mengatasi, mengelola atau hanya menyesuaikan diri dengan lebih baik terhadap perubahan, tekanan, bahaya, risiko atau peluang. Berbagai literatur tentang adaptasi sebagian besar membahas mengenai perubahan iklim sebagai tema umum. Brooks (2003, hal. 8), menjelaskan adaptasi sebagai “penyesuaian dalam perilaku sistem dan karakteristik yang dapat meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi tekanan (stress) eksternal”. Smit dkk (2000, hal. 225), menyampaikan dalam konteks perubahan iklim, adaptasi dilihat sebagai ''penyesuaian dalam sistem ekologi-sosial-ekonomi dalam menanggapi rangsangan iklim aktual atau yang diharapkan, termasuk efek atau dampaknya''. Pielke (1998, hal. 159), juga dalam konteks iklim, mendefinisikan adaptasi sebagai ''penyesuaian dalam kelompok-kelompok individu dan perilaku kelembagaan untuk mengurangi kerentanan masyarakat terhadap iklim''. Berdasarkan waktu, adaptasi dapat diantisipasi atau reaktif, dan tergantung pada derajat spontanitas, dapat secara mandiri atau dapat juga direncanakan (Fankhauser et al, 1999; Smit et al, 2000).
Konsep adaptasi, kapasitas adaptasi, kerentanan, ketahanan, besaran dampak, dan sensitivitas adalah hal-hal yang saling terkait dan dikaji secara luas dalam bidang ilmu perubahan global. Analisis dapat dilakukan pada level individu atau rumah tangga terhadap dampak tertentu seperti kekeringan, level masyarakat terhadap beberapa tekanan, serta manusia secara umum (atau ekosistem global) terhadap semua tekanan dan ancaman. Penerapannya juga bervariasi tergantung fenomena kepentingan (biologi, ekonomi, sosial, dan lain-lain), dan dengan skala waktu (seketika, bulanan, tahunan, dekade, abad). Berbagai kajian sudah dilakukan terkait dengan kerentanan dan adaptasi dari sistem fisik atau biologi, misalnya ketahanan ekosistem dan sistem ekologi sosial ditinjau oleh Folke (2006).
Aspek-aspek adaptive capacity dapat mencakup 4 bidang utama, yaitu [1]:
a.       faktor yang berpengaruh dalam kapasitas adaptif dan interaksinya,
b.       skala spasial dan temporal yang relevan dengan kapasitas adaptif,
c.       kaitan antara kapasitas adaptif, kerentanan (vulnerability) dan penanganannya,
d.       hubungan teoritis antara adaptasi dan keberlanjutan.
Secara skematis, aspek-aspek penting terkait kapasitas adaptif disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 2. 1   Aspek Penting terkait Adaptive Capacity

2.2.   Peningkatan ADAPTIVE CAPACITY
Pemahaman yang baik mengenai aspek-aspek penting kapasitas adaptif akan memungkinkan disusun berbagai variasi adaptasi (proses, bentuk dan strategi) dan membantu membangun jalur adaptasi (adaptation pathways) sebagai upaya peningkatan kapasitas adaptasi.
Berbagai kajian memperlihatkan inisiatif praktis yang secara kongkrit dapat mengatasi dan meningkatkan kapasitas adaptasi sosial, sehingga mengurangi kerentanan, diharapkan dapat terjadi pada tingkat komunitas (Kates, 2000; Kelly dan Adger, 2000; Ford dan Smit, 2004). Ada banyak contoh inisiatif internasional dan nasional yang memiliki potensi untuk berkontribusi untuk pengurangan kerentanan pada tingkat individu yang efeknya dapat dilihat pada tingkat masyarakat. Misalnya, Rencana Aksi Adaptasi Nasional (National Adaptation Plans of Action  - NAPAs), jika diterapkan secara efektif, harus menghasilkan hasil yang nyata dalam komunitas. Komunitas didefinisikan sebagai agregasi rumah tangga, yang saling berhubungan, dan dengan batas spasial yang terbatas, menurut Coombes dkk. (1988) disebut “lokalitas'.
Jalur adaptasi yang dilakukan merupakan bagian dari jalur pembangunan berkelanjutan, yang terdiri dari aspek proses, bentuk, serta strategi yang diambil, sebagaimana secara skematis disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 2. 2   Jalur Adaptasi
Analisis spesifik dari kapasitas adaptif dapat mengaktifkan antara lain pengetahuan yang spesifik dan konkrit mengenai ketiga aspek tersebut. Lebih jauh, pandangan ini memungkinkan mengkarakterisasi, dengan sistem yang ada, jalur adaptasi dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi.



[1] For a better understanding of adaptive capacity to climate change: a research framework, Alexandre Magnan (IDDRI-Sciences Po), N°02/10 May 2010


BAB V

KESIMPULAN
·         Model peningkatan kapasitas adaptif terdiri atas empat tahapan yang mencakup penilaian, pemetaan kapasitas adaptif, pemilihan strategi, dan rencana tindak lanjut (model AMSA)
·         Untuk melakukan penilaian, maka digunakan indikator penilaian kapasitas adaptif masyarakat,
·         Untuk melakukan pemetaan kapasitas adaptif dapat dilakukan dengan metode jaring laba-laba
·         Untuk melakukan pemilihan strategi digunakan model strategi peningkatan kapasitas adaptif masyarakat berdasarkan indikator tinggi, sedang, rendah.
·         Untuk menentukan rencana tindak lanjut dapat dilakukan dengan alat matriks rencana tindak per lokasi studi dan jenis TTG.
REKOMENDASI
·         Perlu diuji untuk skala yang lebih luas, untuk memvalidasi dan men-generalisasi model terutama terkait keterwakilan populasi yang diteliti.
·         Mengambil data pada proyek-proyek yang daur siklus proyek (SIDLACOM: Survey,Investigation,Land Acquisition,Contruction,Operation and Maintenance) telah selesai.
·         Obyek penelitian sebaiknya ada yang populasinya sama (within), dan populasi yang tidak sama (between) sehingga bisa dilakukan triangulasi.
·         Aspek lokasi perlu diperhatikan kembali terkait dengan teknologi tepat guna yang diterapkan
·         Agar lebih mengenali karakteristik teknologi tepat guna yang diteliti
·         Agar penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Sosekling terintegrasi dengan penelitian puslitbang teknis lainnya sebaiknya dilakukan kerjasama penelitian dengan melibatkan tenaga puslitbang teknis lainnya kedalam tim penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Adger, W Neil; Nick Brooks, Graham Bentham, Maureen Agnew and Siri Eriksen, January 2004,  New Indicators Of Vulnerability And Adaptive Capacity, Tyndall Centre for Climate Change Research
Folke, C., 2006. Resilience: the emergence of a perspective for social–ecological systems analyses. Global Environmental Change 16 (3), 253–267
http://www.csiro.au/org/ClimateAdaptationFlagship.html
Klein, Richard J.T, 13–14 March 2002, Climate Change, Adaptive Capacity and Sustainable Development, OECD Informal Expert Meeting on Development and Climate Change, Paris, France
Magnan, Alexandre,  May 2010, For a better understanding of adaptive capacity to climate change: a research framework, IDDRI-Sciences Po, N°02/10 May 2010
Nielsen, Debbie, March 2007 The City Of Iqaluit’s Climate Change Impacts, Infrastructure Risks & Adaptive Capacity Project
Preston, B.L. and Stafford-Smith, M. (2009). Framing Vulnerability And Adaptive Capacity Assessment: Discussion paper. CSIRO Climate Adaptation Flagship Working paper No. 2.
Sarket, Ashish, Monirul Mirza and William Gough, Adaptive Capacity of a Flood Vulnerable Community in Rural Bangladesh-A Case Study of the Kaliganga River Basin, Environment Canada
Smit, Barry Smit and Johanna Wandel, 2006, Adaptation, Adaptive Capacity And Vulnerability, Global Environmental Change 16 (2006) 282–292, Department of Geography, University of Guelph, Guelph, Ont., Canada N1G 2W1
Sutomo, Heru, Sulistiono, Amiruddin Lutfi, 2011, Kajian Aksesibilitas Tanggap Darurat Pada Bencana Letusan Gunung Merapi, Hibah Bersaing Penelitian Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Usman, Sunyoto, Mark Brussel, Juhri Iwan Agriawan, 2011, Pengembangan Infrastruktur Hunian Sementara Bagi Korban Bencana Letusan Gunung Merapi, Hibah Bersaing Penelitian Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
W. Neil Adger, Katharine Vincent, 2004, Uncertainty In Adaptive Capacity,Tyndall Centre for Climate Change Research, School of Environmental Sciences, University of East Anglia, Norwich, UK

Tidak ada komentar:

Cepat Merespons Pandemi, Platform Manajemen Kota Perlu Disiapkan untuk Hadapi Situasi Disrupsi

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...