Jumat, 22 Mei 2015

Rekognisi Bangunan dan Citra Kota

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Telah dipublikasikan di Prosiding Seminar SCAN UAJY 2015


 Rekognisi Bangunan dan Citra Kota
Annisa Indah Masitha 1 Yudha Pracastino Heston2
  1. Peneliti, Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jalan Laksda Adisucipto 165 Yogyakarta 55281
  2. Peneliti, Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jalan Laksda Adisucipto 165 Yogyakarta 55281

ABSTRAK

Citra kota dibentuk dari beberapa elemen menurut Kevin Lynch yakni: Landmarks, edges, pathways, nodes, dan districts. Bangunan sebagai ruang yang dibentuk untuk mewadahi aktifitas warga kota dapat menjadi salahsatu elemen pembentuk citra kota. Bangunan-bangunan yang memiliki nilai arsitektural tinggi seringkali diidentikkan dengan citra sebuah kota. Misalnya bangunan Operahouse yang identik dengan kota Sydney, bangunan Whitehouse di Washinton D.C, dan lain-lain. Bangunan-bangunan yang memiliki nilai keberadaan yang tinggi dalam kurun waktu tertentu dapat menjadi bangunan cagar budaya. Akan tetapi seharusnya kriteria klasifikasi bangunan cagar budaya tidak semata-mata ditentukan oleh dimensi waktu usia bangunan. Komunitas yang mempunyai kewenangan untuk menilai keberadaan sebuah bangunan terhadap citra kota dan cagar budayanya perlu memiliki kearifan lokal yang terkait dengan arsitektur dan tata ruang. Penelitian dilakukan untuk menguji citra kota terkait rekognisi terhadap bangunan yang ada di dalamnya. Penelitian dilakukan dengan mengambil informan yang dipandang memiliki kompetensi terkait arsitektur dan penataan ruang. Kota yang menjadi lokasi sampel penelitian dipilih dengan pertimbangan telah dikenal secara umum dan banyak memiliki bangunan cagar budaya  yaitu: Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Surakarta. Hasil penelitian diharapkan menjadi masukan dalam menentukan kriteria bangunan cagar budaya dan pengembangannya

Kata kunci : bangunan cagar budaya, arsitektur, citra kota.

1.    PENDAHULUAN
            Kota adalah tempat bertemunya berbagai macam entitas yang terbentuk dari berbagai macam budaya dan bersifat dinamis. Jaringan pembentuk kota sangat beragam. Kevin Lynch (1960) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kota terdiri atas beberapa elemen yakni path (jalur), edges (tepian), district (kawasan), nodes (simpul), dan landmark (tetenger).
            Landmark dapat diartikan sebagai penanda sebuah kota. Keberadaan sebuah landmark dapat membantu seseorang untuk mengenali suatu daerah. Landmark dapat membentuk identitas dan citra suatu kota. Landmark merupakan bentuk visual yang menonjol dari sebuah kota, baik berupa bentuk alam maupun buatan (gedung, monument, patung, dan lain-lain. Didalam buku Perancangan Kota Secara Terpadu (Markus Zahnd, 2006), landmark adalah titik referensi seperti elemen node, tetapi orang tidak masuk ke dalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota.  Keberadaan landmark akan memperkaya wajah kota melalui gaya bangunan dan tata kota.
            Di era globalisasi ini, kota-kota di dunia dihadapkan pada dinamisnya kehidupan sosial masyarakatnya. Kota-kota terus berkembang mengikuti perubahan jaman. Perkembangan kawasan kota salah satunya akan lebih banyak bergerak pada dimensi ekonomi dimana peningkatan daya tarik kota dan daya saing secara global (urban competitiveness) (Astuti, 2014). Untuk menghadapi persaingan ekonomi global, kota harus memiliki identitas dan citra yang menonjol. Alat dan strategi yang dipakai adalah melalui proses marketing dan branding. Aspek yang menunjang branding adalah citra kota yang merupakan gambaran identitas yang melekat pada kota dan dapat menciptakan representasi kota bagi penduduk maupun pengunjungnya. Lynch (dalam Purwanto, 2013) mengungkapkan bahwa persoalan yang menyebabkan kurangnya kualitas lingkungan kota adalah tidak adanya identitas dan kemudahan lingkungan untuk dikenali.
            Kuatnya citra sebuah kota akan membantu kota tersebut dalam menghadapi persaingan global. Bangunan atau gedung sebagai salah satu elemen pembentuk citra kota seharusnya dapat memegang peranan penting dalam menghadapi urban competitiveness. Namun sayangnya, banyak bangunan atau gedung cagar budaya yang menjadi pusaka perkotaan menjadi korban arus globalisasi dengan menjamurnya  bangunan modern.
            Keberadaan bangunan cagar budaya sebagai bagian dari pusaka perkotaan mempunyai peranan penting dalam membentuk citra kota. Kawasan atau zona yang telah dibangun dari mas lalu yang tetap bertahan hingga jaman modern ini menjadi ikon atau identitas kota yang menggambarkan perkembangan kota dari masa ke masa. Pusaka perkotaan menjawab tantangan perkembangan zaman dimana kota-kota perlu memiliki kekhasan ditengah keseragaman agar dapat bersaing dan berkompotesi dengan kota-kota lain (Astuti, 2014). Dari penjabaran diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah: Sejauhmana efektivitas keberadaan landmark bangunan/gedung untuk membentuk citra sebuah kota?


2.    KAJIAN PUSTAKA
Teori citra kota diformulasikan oleh Kevin Lynch seorang tokoh peneliti kota. Menurutnya, citra mental sangat penting untuk masyarakat karena membantu kemampuan berorientasi dengan mudah agar tidak tersesat, identitas yang kuat terhadap suatu tempat, dan keselarasan hubungan dengan tempat-tempat yang lain. Menurut Lynch, elemen citra kota terdiri dari path (jalur), edge (tepian), district (kawasan), nodes (simpul), serta landmark (tengeran). Interaksi kelima elemen tersebut sangat berkaitan, dan tidak dapat dipisahkan.
Landmark merupakan titik referensi, atau elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang paling menonjol dari sebuah kota. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya, ada sekuens dari beberapa landmark (merasa nyaman dalam orientasi) serta ada perbedaan skala.

Gambar 1. Contoh Landmark Kawasan
Sumber : Elemen Citra Pembentuk Ruang Kota_Planologi.htm


Lynch (dalam Purwanto, 2001) menyarankan bahwa kota yang citra lingkungannya baik harus memperhatikan tiga atribut yaitu :
1.    Identitas, yaitu perbedaan suatu objek dengan bjek yang lain sebagai entitas yang terpisah (contoh: sebuah tugu/monumen)
2.    Struktur, yaitu hubungan spasial sebuah obyek terhadap pengamat dan obyek lain (contoh : posisi tugu/ monumen tersebut dalam konteks lingkungan)
3.    Makna, yaitu arti dari sebuah objek yang berkaitan dengan pengalaman emosional secara individu bagi pengamat (contoh : tugu/monumen sebagai penanda orientasi atau identitas lingkungan serta mempunyai konteks kejadian tertentu).

Menurut Budihardjo (dalam Purwanto,2001), terdapat enam tolok ukur yang sepantasnya digunakan dalam pengalian, pelestarian dan pengembangan citra kota, yaitu :
1). Nilai kesejarahan; baik dalam arti sejarah perjuangan nasional (Gedung Proklamasi, Tugu Pahlawan) maupun sejarah perkembangan kota (Kota Lama di Semarang, Kawasan Malioboro di Yogyakarta)
2). Nilai arsitektur lokal/tradisional; (terdapat keraton, rumah pangeran)
3). Nilai arkeologis; (candi-candi, benteng)
4). Nilai religiositas; (masjid besar, tempat ibadah lain)
5). Nilai kekhasan dan keunikan setempat; baik dalam kegiatan sosial ekonomi maupun sosial budaya
6). Nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimiliki.

            Nilai kesejarahan dalam sebuah kota dapat direpresentasikan melalui keberadaan bangunan cagar budaya. Menurut Peraturan Menteri PU dan Perumahan Rakyat nomor 01/PRT/M/2015 tentang Bangunan Cagar Budaya yang Dilestarikan, bangunan gedung cagar budaya adalah bangunan gedung yang sudah ditetapkan statusnya sebagai bangunan cagar budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang cagar budaya. Peraturan ini bertujuan agar bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan memenuhi persyaratan bangunan gedung, persyaratan pelestarian, dan tertib penyelenggaraan. Bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan harus memperhatikan persyaratan teknis bangunan gedung dan persyaratan pelestarian
Untuk memahami citra kota, faktor imagibilitas dan legabilitas merupakan faktor penting  karena menentukan seberapa besar sebuah kota dapat dipahami, dibayangkan, dan dikenali oleh pengamatnya. Kota memerlukan karakter, bentuk, struktur kota yang jelas, elemen fisik kota yang juga berfungsi sebagai identitas kota untuk menciptakan citra kota yang kuat.

Pembentukan peta mental dan rekognisi
Arti rekognisi  menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah  hal atau keadaan yg diakui; pengakuan; (2) pengenalan; (3) penghargaan. Rekognisi sebagai bagian upaya pemahaman citra kota bertujuan untuk dapat mengetahui dimana manusia berada, apa yang tengah terjadi, dan untuk mengenali obyek umum yang ada di sekitarnya kerja (Sudrajat, 1984 dalam Purwanto 2001).
            Salah satu cara untuk mengidentifikasi citra kota adalah melalui peta mental, yaitu dengan mendeskripsikan bagian atau tempat yang paling mudah dikenali atau memiliki ciri khas tersendiri. Setiap orang memiliki peta mental yang berbeda-beda. Faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah sebagai berikut: (Wulandari, 2009)
a)  gaya hidup seseorang yang mempengaruhi peta mental yang dimilikinya. Pengaruhnya terhadap tempat-tempat yang pernah diketahui atau didatanginya
b)  keakraban dengan lingkungan. Jika seseorang mengenal lingkungan sekitarnya dengan baik, maka akan semakin luas dan semakin rinci peta mentalnya
c)  keakraban sosial. Semakin banyak seseorang bergaul dan mengunjungi tempat-tempat baru yang dikunjunginya maka orang tersebut akan semakin mengenal wilayah-wilayah di luar lingkungannya
           
                       
Kevin Lynch menggunakan peta mental sebagai salah satu teknik untuk mengidentifikasi elemen-elemen perkotaan pada tiga kota di Amerika. Peta mental adalah visualisasi peta di lingkungan tertentu oleh responden. Peta mental diharapkan mampu menangkap elemen-elemen dominan di lingkungan tersebut. Kemampuan tiap orang dalam mengidentifikasi elemen fisik di lingkungannya berlainan dan dipengaruhi oleh banyak factor. Keberlainan ini terdapat elemen-elemn yang sama dan menjadi kesepakatan public inilah yang dianggap elemen terkuat dari lingkungan tersebut. (Damayanti, 2011)

Pemahaman citra kota
(Purwanto, 2011)  sebagai upaya pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan kesejahteraan hidup manusia Mempunyai empat tujuan utama, yaitu:
1.    Rekognisi, untuk mengetahui dimana manusia berada, apa yang tengah terjadi, dan untuk mengenali obyek umum yang ada di sekitarnya
2.    Prediksi untuk dapat meramalkan apa yang mungkin atau akan terjadi
3.    Evaluasi, untuk dapat menilai kualitas, kondisi, situasi, dan prospek keluaran
4.    Tindakan, untuk dapat menyusun alternatif tindakan dan memutuskan apa yang akan atau harus dilakukan.

3.    METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia.
Penggunaan metode deskriptif dilakukan dengan pertimbangan adanya kemampuan spesifik tiap individu untuk memahami sebuah kota melalui bangunan atau gedung yang merepresentasikan identitas atau citra kota.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan alat survey berupa kuesioner yang didesain untuk menggali pengenalan atau rekognisi responden terhadap sebuah kota melalui bangunan yang terdapat didalam kota tersebut. Kota-kota yang dijadikan studi kasus penelitian yaitu Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Surakarta dengan pertimbangan bahwa kota tersebut merupakan kota besar di pulau Jawa sehingga banyak dikenal dan dikunjungi serta banyak memiliki bangunan cagar budaya.
Responden yang dipilih merupakan anggota Ikatan Arsitektur Indonesia yang memiliki kompetensi atau keilmuan terkait nilai arsitektural sebuah bangunan di sebuah wilayah tertentu. Jumlah responden sebanyak 23 orang yang berasal dari daerah: Jakarta, Bandung, Batam, Pontianak, Lampung, Medan, Kupang, Manado, Yogyakarta, Bengkulu, Bali, Malang, dan Palembang.
Analisis data dilakukan dengan metode memilah data menurut kota kasus, kemudian kategorisasi, dilanjutkan dengan mengkode bangunan sesuai jawaban responden, dan kemudian dan memvisualisasikan dalam bentuk diagram batang dan menginterpretasi hasil kedalam kalimat deskriptif menggunakan literatur pustaka.

4.    HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil informan penelitian ini merupakan para anggota Ikatan Arsitektur Indonesia. Dari hasil jawaban responden (lihat tabel 1) diketahui bahwa sebagian besar responden lebih cepat menangkap citra  kota Jakarta dibandingkan Yogyakarta, Surabaya, dan Surakarta. Responden lebih dapat menjawab bangunan atau gedung yang merepresentasikan citra kota Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa Jakarta sebagai ibukota negara memiliki banyak bangunan yang mampu diingat oleh sebagian besar responden. Pembangunan kota Jakarta yang modernistik dapat dilihat sebagai latar historis perkembangan kota tersebut di era awal kemerdekaan. Presiden Sukarno memprioritaskan  kota-kota di Jawa sebagai simbol kuat dari negara yang modern, tak terkecuali Jakarta (Zahnd:2008). Soekarno memiliki visi menjadikan Jakarta dengan pembangunan berbagai proyek nasional untuk meningkatkan citra kota Jakarta setara dengan kota-kota lain di dunia. Tak heran di awal-awal kemerdekaan, banyak dijumpai monumen atau tugu dan bangunan penanda kota yang modern.
Pernyataan ini didukung oleh data sedikitnya jawaban responden yang salah (16%) dalam menyebutkan bangunan atau gedung di kota Jakarta (lihat tabel 2)


Kota berikutnya yang memiliki bangunan yang dapat merepresentasikan citra kota menurut hasil penelitian adalah Yogyakarta. Fenomena ini menjelaskan keberadaan kota Yogyakarta sebagai kota budaya dan kota pariwisata, sedikit banyak dipengaruhi oleh keberadaan arsitektur bangunan yang ada di dalam kota.
Responden paling sedikit mengenal landmark kota Surakarta, hal ini terlihat dari sedikitnya jawaban untuk bangunan yang diketahui di kota ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal ini adalah responden kemungkinan belum pernah berkunjung ke kota Surakarta, responden belum mengetahui riwayat keberadaan bangunan, dan sedikitnya informasi terkait kota ini dibandingkan ketiga kota lainnya.
Hasil penelitian untuk kota Jakarta, terdapat 14 responden (paling banyak) menyebutkan Tugu Monas sebagai salah satu landmark pengusung citra kota Jakarta. (Sihombing : 2004)  menyebutkan bahwa tugu atau monumen merupakan representasi berdirinya wilayah baru dalam masyarakat Jawa. Tugu atau monumen adalah simbol berdirinya pemerintahan negara Indonesia yang semula merupakan jajahan kolonial. Dari segi analisa landmark kawasan, Monas memenuhi syarat sebagai bangunan monumental yang diklasifikasikan bangunan monumental tunggal karena unsur dominasi vertikal yang tegas (Supriyadi : 2004)
Urutan berikutnya, responden menyebutkan Menara BNI, bandara Soekarno Hatta, Gedung DPR-MPR, masjid Istiqlal, istana Negara, Hotel Indonesia, Museum Fatahillah, dan lain-lain (lihat tabel 3). Dari beberapa bangunan landmark yang disebutkan responden menunjukkan bahwa sebagian besar mewakili modernitas jamannya.

Untuk kota Yogyakarta, sebanyak 18 orang responden menjawab bangunan atau gedung yang menjadi landmark kota adalah keraton Yogyakarta, disusul Malioboro (7 responden), benteng Vredeburg (5 responden), Gedung Kantor Pos Besar (4 responden), dan sisanya menjawab lain-lain (lihat tabel 4). Ini menunjukkan bahwa untuk landmark kota Yogyakarta, bangunan atau gedung terkuat yang muncul di memori responden adalah landmark yang mengacu pada bangunan yang memiliki nilai-nilai budaya/tradisi dan sejarah. Keraton Yogyakarta dianggap memiliki peran penting untuk membentuk citra kota Yogyakarta. Kawasan Malioboro sebagai salahsatu landmark kota Yogyakarta meskipun signifikan namun tidak relevan sesuai konteks pertanyaan yang diajukan kepada respnden.

Sedangkan untuk kota Surabaya, sebagian besar responden menyebutkan kantor gubernur Grahadi (6 responden), hotel Majapahit (6 responden), Tugu Pahlawan (4 responden), Tunjungan Plaza (3 responden), Patung Sura dan Baya (3 responden), Pasar Turi (2 responden), Kawasan Jembatan Merah (2 responden), dan sisanya menjawab yang lain-lain. (lihat gambar X)
Dari hasil ini ini menunjukkan bahwa untuk kota Surabaya, bangunan atau gedung yang membentuk landmark yang ada di peta mental respnden adalah bangunan atau gedung yang mempunyai aspek nilai historis. Hal ini tidak mengherankan dikarenakan kota Surabaya yang berjuluk kota Pahlawan banyak memiliki bangunan peninggalan kolonial. Bangunan bernuansa kolonial ini juga yang membentuk citra kota Surabaya sebagai kota Pahlawan. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Rully Damayanti (2011) yang menyebutkan Tunjungan Plaza, Kebun Binatang Surabaya, dan Pakuwon Trade Centre yang mewakili fasilitas publik sebagai landmark kota Surabaya.
Keberadaan Grahadi sebagai landmark kota disebabkan karena fungsi bangunan sebagai  pusat pemerintahan dan rumah dinas pemimpin pemerintahan di Jawa Timur. Hotel Majapahit (dahulu bernama hotel Oranye pada jaman Belanda, dan bernama hotel Yamato pada jaman Jepang) merupakan salah satu monumen penting di kota Surabaya. Hotel ini dijadikan simbol kota dan termasuk kedalam 163 benda caagar budaya yang dilindungi. Peristiwa insiden perobekan bendera Belanda di hotel Majapahit ini menjadi bagian dari rujukan sejarah nasional hingga kini.
Beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia, kotakota di Indonesia berlomba memnangun monumen, tugu, dan patung untuk menghormati jasa-jasa para pahlawan. Tak terkecuali di Surabaya pun demikian, Tugu pahlawan didirikan pasca proklamasi. Tugu Pahlawan memiliki arti penting bagi arek-arek Surabaya. Pendirian tugu ini digagas oleh Doel Arnowo (1950-1952) walikota pertama Surabaya. Tugu Pahlawan ini merupakan tugu pertama yang dibangun pasca proklamasi yang didirikan di bekas gedung raad van justisie (jaman Belanda) atau bekas gedung Kempetai (jaman Jepang).Tugu ini melambangkan perjuangan arek-arek Suarabaya dalam pertempuran 10 November 1945. (Husein, 2010)
       
Untuk beberapa jawaban yang diberikan oleh responden, ada beberapa landmark kota Surabaya yang tidak relevan dengan pertanyaan yang diajukan. Misalnya responden menjawab Tugu Pahlawan, Patung Sura dan Baya, Kawasan Jembatan Merah, Tugu Perjuangan, Jembatan Suramadu, dan Darmo. Ada sekitar 41% responden yang menjawab salah, dan 59% yang menjawab benar. Hal ini menunjukkan bahwa responden kurang teliti dalam membaca petunjuk pertanyaan yang diminta, yakni landmark yang ditanyakan khusus bangunan atau gedung.

Sedangkan untuk kota Surakarta (lihat gambar  5), bangunan landmark yang menjadi citra kota adalah Keraton (9 responden), Gedung BI Solo (3 responden), Masjid Agung Solo, Balai Kota, Pasar Gede (Masing-masing 2 responden), Stasiun Kereta Balapan, Hotel Novotel, Taman Sriwedari, Museum, dan Stasiun Jebres (masing-masing 1 responden). Ini menunjukkan bahwa bangunan atau gedung yang menjadi landmark kota Surakarta adalah bangunan yang memiliki nilai budaya/tradisi dan historis. Dari jawaban responden diketahui bahwa kota Surakarta dan kota Yogyakarta memiliki persamaan landmark Keraton yang menjadi citra kedua kota tersebut. Selain itu responden memiliki keterbatasan dalam memberikan jawaban untuk kota Surakarta, hal ini dietahui dari sedikitnya jawaban yang mereka berikan. Meskipun begitu, jawaban yang tidak sesuai konteks lebih minim dibandingkan kota-kota lain. Untuk jawaban yang tidak relevan contohnya adalah Taman Sriwedari, dan museum yang tidak spesifik disebutkan.  


5.    KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.    Bangunan atau gedung yang menjadi landmark dan pembentuk citra kota memiliki perbedaan di tiap-tiap kota sesuai dengan tipologi kota dan branding city yang diusung. Misalnya kota Surabaya sebagai kota Pahlawan  maka bangunan atau gedung yang di recall dalam mental responden adalah bangunan yang memiliki nilai-nilai sejarah dan historis bernuansa kolonial. Sedangkan Jakarta yang identik dengan kota metropolitan dan ibukota negara maka bangunan atau gedung yang di recall oleh sebagian besar responden adalah bangunan-bangunan modern. Untuk kota Yogyakarta dan Surakarta, landmark yang paing banyak di recall oleh responden adalah bangunan yang memiliki nilai-nilai tradisi dan budaya yang diwakili oleh bangunan keraton.
2.    Bangunan bangunan yang memiliki frekuensi tinggi didalam kognisi pelaku perkotaan perlu untuk dipertahankan keberadaannya dengan cara mengklasifikasinya sebagai bangunan cagar budaya. Penentuan bangunan cagar budaya ini menunjukkan kebijakan partisipatif tidak hanya dari penguasa kota semata. Sehingga citra kota yang terbentuk pada saat ini akan sama atau bertahan pada kemudian hari di masa depan.


6.    UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kami ucapkan kepada anggota Ikatan Arsitektur Indonesia yang telah berkenan sebagai responden penelitian, penulis kedua Yudha P.Heston, dan Bapak Kepala Balai Sosekling bidang Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum.

7.    DAFTAR PUSTAKA

1.      Zahnd, Markus. 2008. Model Baru Perancangan Kota Yang Kontekstual. Yogyakarta: Kanisius
2.      Husein, Sarkawi B. 2010. Negara Di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya 1930-1960). Jakarta: LIPI Press


Jurnal

3.      Astuti, Nanda Ratna. 2011. Identifikasi Peran Pusaka Perkotaan Dalam Pembentukan Citra Kota Surakarta. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB  V1N1
4.      Purwanto, Edi. 2001. Pendekatan Pemahaman Citra Lingkungan Perkotaan (melalui kemampuan peta mental pengamat). Dimensi Teknik Arsitektur Vol.29 No 1. Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknis Sipil dan Perencanaaan Universitas Kristen Petra
5.      Sihombing, Anthony, 2004. The Transformation of Kampung Kota : Symbiosis of Kampung and Kota (A case study From Jakarta). Department of Architecure University of Indonesia
6.      Supriyadi, Bambang. 2004. Tugu Monumen Nasional Sebagai Landmark Kawasan Silang Monas. Jurnal Jurusan Arsitektur Undip

Internet:
7.      Wulandari, Sri. 2009. Peta Mental Kota Palu. Dalam http://www.academia.edu/9906440/Peta_Mental_Kota_Palu

------------





Sabtu, 09 Mei 2015

Buku Perubahan Iklim di Perkotaan

Versi Cetak
dapat melalui
1. http://diandracreative.com/book-116-perubahan_iklim_di_perkotaan.html
2. http://www.kawanbuku.com/buku-3564-perubahan_iklim_di_perkotaan.html
3. pesan melalui: pracastino@gmail.com, untuk jogja dan sekitarnya bebas ongkos kirim, di luar jogja ditambah ongkos kirim Rp. 5000
Versi PDF
dapat melakukan pemesanan melalui: pracastino@gmail.com

Selasa, 24 Februari 2015

SOFTWARE PENGUKURAN TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM BIDANG PERMUKIMAN

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Buku Modul
Versi lengkap dapat menghubungi alamat yang tertera pada laman website


Peneliti: Dessy F, Yudha PH, Nur Alvira, Dwi Herniti


KATA PENGANTAR


Pada tahun anggaran 2013 Balai Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Permukiman melaksanakan kegiatan merumuskan model pengukuran kerentanan masyarakat terkait dampak perubahan iklim di daerah rentan air minum dan sanitasi. Hasil kegiatan tersebut adalah menghasilkan rumusan penghitungan tingkat kerentanan masyarakat menghadapi perubahan iklim. Guna mempermudah dalam proses pengukuran maka di buat suatu Sofware. Panduan ini disusun untuk memberikan arahan kepada pengguna (instansi di tingkat pusat maupun daerah) mengenai bagaimana cara menggunakan software ini.

BAB I PENDAHULUAN


1.1.      Latar Belakang

Perubahan iklim menurut DNPI dalam Final Report 2010, sudah terjadi dan ditandai dengan cuaca ekstrim, meningkatnya permukaan air laut dan suhu udara, pergeseran musim dan perubahan intensitas curah hujan. Perubahan iklim terjadi secara global dan menimbulkan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung.Dampak perubahan iklim terhadap kemampuan siklus hidrologi suatu wilayah, akan menentukan ketersediaan air untuk berbagai kebutuhan manusia. Perubahan ini dapat mengakibatkan dua keadaan ekstrem yaitu peningkatan kondisi kekeringan yang mengurangi ketersediaan air tanah secara alami, dan juga terjadinya intensitas hujan yang tinggi. Perubahan iklim berpengaruh pada kehidupan manusia, khususnya pada masyarakat kurang mampu yang penghidupannya tergantung pada sumber daya alam.
Besarnya dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim membutuhkan langkah antisipatif yang efektif melalui upaya adaptasi. Upaya ini dilakukan guna mengurangi dampak  dan beradaptasi terhadap perubahan iklim di lingkungan dan di masyarakat. Upaya tersebut diimplementasikan dalam pengarusutamaan strategi adaptasi ke dalam kebijakan tiap sektor di tingkat pusat dan daerah, melalui program dan kegiatan yang tanggap terhadap perubahan iklim.
Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC, 2001), merumuskan kerentanan terhadap perubahan iklim di pengaruhi oleh 3 faktor yaitu: paparan, kapasitas adaptasi dan sensitivitas. Mengacu dari hal tersebut, Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Permukiman, Puslitbang Sosekling, Balitbang, Kementerian PU, menyusun konsep pedoman tingkat kerentanan masyarakat menghadapi perubahan iklim dalam bidang permukiman. Untuk mempermudah proses pengukuran, maka tim peneliti membuat  software pengukuran tingkat kerentanan.

1.2.      Manfaat

Mengukur tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim bidang permukiman.

BAB II PANDUAN PENGGUNAAN APLIKASI


Pada BAB II ini akan di jelaskan tentang cara penggunaan/pengoperasian instrumen Pengukuran tingkat kerentanan masyarakat menghadapi perubahan iklimterbagi atas 2 (dua) pengguna utama yaitu :
1.    Responden (Individu/Keluarga Masyarat, Tokoh Masyarakat, yaitu : pengguna yang akan mengisi data kuisioner yang akan dipandu oleh petugas lapangan.
2.    Administrator, yaitu petugas yang bertanggung jawab dalam melakukan pengolahan dan penyajian data.

2.1.      Cara Pengoperasian Aplikasi

Tahapan awal dalam mengoperasikan aplikasi ini adalah dengan menjalankan file usbwebserver.exe, sesaat kemudian akan muncul tampilan gambar 1.



2.3.1.     Laporan

Menu Laporan merupakan menu pilihan yang digunakan untuk hasil dari Indeks Kapasitas Adaptasi Masyarakat  Daerah Rentan Air Minum terkait Dampak Perubahan Iklim. Seperti contoh tampilan gambar 21.

INSTRUMEN PERHITUNGAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN AKIBAT KONVERSI LAHAN

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

buku modul
versi lengkap dapat menghubungi alamat yang tertera pada website

Tim Peneliti
Yudha Pracastino Heston
Dimas Hastama Nugraha
Iwan Suharyanto
Monica Sindy Heryuka
Pinjung Nawangsari
Okqianto Johar K
Triana
Saeful Bahri
Antin Juliati
Maryadi




2014


©  Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Permukiman
Puslitbang Sosekling

Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum


1.  Latar Belakang Penelitian
P
roporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% yang diamanatkan undang-undang merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan fakta sebaliknya, keberadaan RTH jauh dari proporsi ideal, kekuatan pasar yang dominan merubah fungsi lahan sehingga keberadaan RTH semakin terpinggirkan bahkan diabaikan fungsi dan manfaatnya. Siahaan (2010) menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya penurunan kuantitas ruang publik, terutama RTH pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970-an menjadi 10% pada saat ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa ruang terbuka hijau yang ada sebagian besar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan dan kawasan permukiman baru.
Kebijakan tata ruang yang diharapkan dapat mengakomodasi seakan tidak berdaya menahan mekanisme pasar. Hal ini dibuktikan dengan arus urbanisasi yang cepat mengakibatkan terjadinya densifikasi penduduk dan permukiman yang cepat dan tidak terkendali di bagian kota. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan ruang meningkat untuk mengakomodasi kepentingannya. Semakin meningkatnya permintaan akan ruang khususnya untuk permukiman dan lahan terbangun berdampak kepada semakin merosotnya kualitas lingkungan. Rencana Tata Ruang yang telah dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di perkotaan sehingga keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) semakin terancam dan kota semakin tidak nyaman untuk beraktivitas(Dwihadmojo,2011). Kebutuhan akan lahan yang terus meningkat menjadikan ruang terbuka hijau menjadi sasaran luberan pembangunan fisik kota. Dapat juga dikatakan bahwa tidak jarang RTH dianggap sebagai lahan kurang produktif sehingga diubah menjadi bangunan komersil lainnya.
Penelitian ini akan membuat suatu alat untuk mengukur dampak SOSEKLING (Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan) yang muncul dari adanya pembangunan RTH maupun pengurangan luas RTH (konversi). Alat ini diharapkan menjadi simulator sederhana sehingga memungkinkan selalu digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan dalam pembangunan sarana perkotaan. Ketersediaan instrumen yang sederhana ini diharapkan dapat membantu Ditjen Penataan Ruang dan Pemerintah Kota/ Kabupaten/ Provinsi dalam menghitung besaran nilai sosial ekonomi dan lingkungan akibat konversi lahan di perkotaan terkait keberadaan RTH untuk mewujudkan kota layak huni. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Malang (Jawa Timur), Kota Surabaya (Jawa Timur), dan Kota Yogyakarta (DIY).
2. Tinjauan Pustaka: Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dari Keberadaan Ruang Terbuka Hijau
K
eberadaan RTH di suatu kawasan perkotaan yang ada akan menghasilkan berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Regional Public Health Information Paper March 2010 menyebutkan aspek social yang muncul dari adanya RTH antara lain:
1.    .places for people to meet and interact, thus increasing social cohesion and social inclusion.
2.      education and lifelong learning.
3.      Well- designed spaces can pro mote a sense of place and be a source of community pride, helping to reduce crime and the fear of crime.
4.      physical activity : active and healthy lifestyles.
Hellen (2003) menjelaskan bahwa manfaat dan peluang akan adanya ruang terbuka dapat digunakan seseorang secara harian, mingguan atau tahunan sesuai karakter RTH tersebut. Berikut beberapa jenis aktivitas sosial yang dapat muncul:
1.    Children’s Play
2.    Passive Recreation
3.    Active Recreation
4.    Community focus
5.    Cultural focus
6.    Open spaces as educational resources
Selain itu, Cattel (2006) menyebutkan pula adanya beberapa jenis kelompok aktivitas yang terjadi pada ruang terbuka yaitu:
1.    Casual social encounters in public space:
2.    Organised activity in public space
3.    Spaces of no encounter

Berdasarkan beberapa pemahaman di atas, dalam penelitian ini dirumuskan 3 hal utama yang mewakili aspek sosial dalam penggunaan ruang yaitu:Jenis Aktivitas, Pelaku Aktivitas, Skala Aktivitas
Angka Penyalahgunaan, dan Kesehatan

Manfaat ekonomi dari RTH dibahas di dalam Literature review oleh Deakin University yang menyimpukan bahwa:
1.    Taman dapat juga menjadi wisara alam yang memberikan kontribusi secara signifikan pada pendapatan regional.
2.    Taman juga dapat membuka peluang pekerjaan
3.    Penghijauan kota- kota yang ada dapat mendorong adanya investasi bisnis baru dan wisatawan
4.    Elemen alam melalui RTH dapat meningkatkan nilai harga real estate disekitarnya
Di samping itu, adanya green space dapat mendorong kegiatan urban agriculture yang dapat meningkatkan local food production and supply. Terdapat 3 hal keuntungan yang didapatkan dari adanya RTH berdasarkan aspek ekonomi (Hellen,2003):
1.    The impact on property values
Nilai tanah atau properti berdekatan dengan taman (RTH) lebih tinggi daripada tanah atau properti yang letaknya jauh dari taman (RTH)
2.    Employment opportunities
Adanya tenaga kerja sebagai Gardeners dan park rangers
3.    Crop production
Membuka peluang adanya food production di tengah kota sehingga dapat berkontribusi dalam local food production.

Mather (1986) menyatakan bahwa secara sederhana konsep nilai ekonomi lahan mengacu pada nilai bersih dari return yang diperoleh dari penggunaan lahan pada suatu periode waktu. Hal ini setara dengan pendapatan bersih yang merupakan sisa dari pendapatan kotor (gross income) dikurangi biaya produksi. Pendapatan kotor tergantung pada volume produksi dan harga per unit produk. Menurut Barlowe (1986) nilai ekonomi lahan dipengaruhi oleh kelas lahan (grade of  land). Nilai ekonomi lahan dari setiap kelas lahan tergantung pada hubungan antara harga dan biaya. Dengan semakin tinggi harga atau semakin rendah biaya, nilai ekonomi lahan meningkat.
Pada beberapa kurun dasawarsa terakhir, meningkatnya permintaan lahan untuk tempat pemukiman, industri wisata, dan di perkotaan mengakibatkan perubahan cepat terhadap ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau berangsur-angsur menjadi pemukiman, industri atau usaha lain yang berorientasi komersil. Dalam hal ini konversi terjadi karena perbedaan nilai ekonomi lahan, yang mengakibatkan sulit dicegahnya para pemilik lahan untuk mengkonversi lahanya ke penggunaan lain.
TEV (Total Economic Value) diidefinisikan merupakan  penjumlahan  dari  nilai  ekonomi berbasis pemanfaatan atau penggunaan (use value) dan nilai ekonomi berbasis bukan pemanfaatan atau penggunaan (nonuse value). Use Value (UV) terdiri dari nilai-nilai penggunaan langgsung (Direct Use Value/DUV), nilai-nilai penggunaan tidak  langsung direct Use Value/IUV), dan nilai pilihan (optionValue/OV). Untuk penelitian ini, nilai ekonomi yang digunakan untuk menjelaskan dampak ekonomi RTH adalah Nilai Guna (Use Value)  dengan rincian sebagai berikut :
a.  Nilai guna langsung (direct use) merupakan nilai yang diperoleh individu dari pemanfaatan langsung sumberdaya alam tempat individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan.
b.Nilai guna tidak langsung (indirect use) merupakan nilai yang didapat atau dirasakan secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan.

Banyak ahli ekologi menyatakan nilai ekonomi total belum mencakup semua nilai ekonomi karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya lebih besar dari nilai fungsi secara tunggal.
Sehubungan dengan lingkungan, RTH masih memiliki fungsi yang beragam diantaranya adalah sebagai berikut (Joga, 2011):
*      Konservasi Tanah dan Air
*      Ameliorasi Iklim
*      Pengendali Pencemaran
*      Habitat Satwa dan Konservasi Plasma Nutfah
*      Sarana Kesehatan dan Olah Raga
*      Saran Rekreasi dan Wisata
*      Sarana Pendidikan dan Penyuluhan
*      Area Evakuasi Bencana
*      Pengendali Tata Ruang Kota
*      Estetika

Dari beberapa fungsi tersebut, dapat dikelompoknya menjadi 3 fungsi besar yaitu:
1. Fungsi Lansekap
2. Fungsi Pelestarian Lingkungan
3. Fungsi Estetika

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, penelitian ini menyimpulkan bahwa dampak lingkungan terhadap adanya suatu fungsi ruang dapat ditunjukkan oleh 3 hal utama yaitu:Kualitas Air Perkotaan, Kualitas Udara Perkotaan, dan Indeks Keanekaragaman Hayati

Instrumen Dampak Sosial
Interface untuk dampak social adalah sebagai berikut:
<>
NO
INDIKATOR
<>
HASIL STATISTIK
% INDEKS
PARAMETER
1
Jenis Aktivitas
Nilai tertinggi frekuensi responden tertinggi pada masing-masing indikator per kota (min 30 dan maksimal ~ )
(X statistik/Total Jumlah Responden per Kota)*100%
0-34% =      Rendah
35%-66% = Sedang
67%-100%=  Tinggi
2
Pelaku aktivitas
<>
<>
<>
3
Angka Penyalahgunaan
<>
<>
<>
4
Tingkat Keamanan
<>
<>
<>
5
Tingkat Kenyamanan
<>
<>
<>
6
Tingkat Kesenangan
<>
<>
<>
7
Aktivitas Olahraga
<>
<>
<>
8
Pengaruh Psikologis
<>
<>
<>
INDEKS DAMPAK SOSIAL
<>
<>
<>


<>
No
Nilai Ekonomi
Variabel
(tuliskan nama kota anda)
Tahun Sebelum
Tahun Sesudah
1
Nilai Guna Langsung
Nilai Penyerapan Tenaga Kerja Pengelola RTH
<>
<>
2
Nila Guna Tidak Langsung
Nilai Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Informal
<>
<>
Nilai Jual Tanah
<>
<>
Total Economic Value (Rp/th)
<>
<>
selisih per tahun
<>
% TEV
<< selisih per tahun/ tahun sebelum>>


PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA PROYEK THE DEVELOPMENT AND UPGRADING OF THE STATE UNIVERSITY OF JAKARTA (PHASE 2) CIVIL WORKS (Studi Kasus Pekerjaan Pemasangan Dinding Bata Ringan)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------...